Mataram, 27/4 (ANTARA) - Sejumlah pedagang kaki lima mengaku stres setelah menerima surat pemberitahuan tentang larangan mendirikan lapak untuk berjualan di sekitar lingkungan satuan kerja perangkat daerah karena tidak memiliki usaha lain.
"Bukan lagi resah. Kami stres dengan surat larangan berjualan yang saya terima dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat (NTB)," kata Khalik, salah seorang Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berjualan di samping Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri (Bakesbangpoldagri) NTB, di Mataram, Rabu.
Ia dan dua orang PKL perempuan berstatus janda yang berjualan di sekitar Kantor Bakesbangpoldagri NTB dan Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) NTB, tidak habis pikir dengan kebijakan Pemprov NTB melakukan penertiban terhadap rakyat kecil yang berusaha dengan cara halal.
Khalik yang sudah berjualan bakso selama tiga tahun di sekitar Kantor Bakesbangpoldagri NTB mengaku diberikan tenggang waktu hingga Senin, 2 Mei 2011, oleh Pemerintah Provinsi NTB untuk membongkar lapaknya, kalau tidak aparat Polisi Pamong Praja (Pol PP) akan melakukan pembongkaran paksa.
"Saya dan dua orang ibu yang menjual nasi campur di sekitar lingkungan ini diberikan waktu satu minggu untuk membereskan lapak tempat berjualan. Saya sudah coba memohon ke Kepala Bakesbangpoldagri untuk diberikan solusi. Memang tetap diizinkan berjualan tapi lapaknya harus dibongkar pasang. Tetapi kami belum tahu apakah Pol PP akan tetap melarang atau tidak," ujarnya.
Ia mengaku akan tetap bertahan berjualan meskipun dengan risiko nantinya akan terkena penertiban. Upaya untuk bertahan dilakukan karena tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dilakukan.
"Saya tetap akan berjualan karena dari sinilah saya bisa memberi makan keluarga dan membiayai sekolah anak saya. Saya berharap kepada gubernur sekiranya berpikir arif dan bijaksana. Janganlah kami digusur, kalau memang dinilai kurang enak dipandang, paling tidak kami ditata agar rapi," ujar Khalik dengan mata merah seakan mau meneteskan air mata.
Sri, PKL lainnya yang berjualan di depan Kantor Dinas Pekerjaan Umum (PU) NTB, mengaku akan pindah lokasi karena dua lapak milik rekan di sebelahnya sudah dibongkar aparat Pol PP pada Rabu (27/4).
"Tempat ini saya sewa. Tapi karena Pol PP tadi minta pada Sabtu (30/4) lapak saya sudah harus dibongkar, terpaksa saya cari tempat lain, dengan risiko mungkin dagangan saya tidak selaris di tempat ini," keluhnya.
Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) Kota Mataram, M. Nuh Rahmat, menyesalkan kebijakan Pemprov NTB menertibkan PKL hanya karena ingin menyukseskan program Visit Lombok Sumbawa (VLS) 2012 dan Adipura Kota Mataram.
"Percuma saja pemerintah mewujudkan VLS dan meraih piala Adipura kalau rakyatnya miskin. Kebijakan penggusuran PKL juga tidak selaras dengan upaya menurunkan angka kemiskinan sebesar dua persen per tahun dan penurunan angka pengangguran serta penciptaan 100 ribu wirausaha baru yang dicanangkan Pemprov NTB kalau rakyat kecil yang berusaha tertindas," ujarnya.
Menurut dia, PKL ikut berperan membangun roda perekonomian daerah serta mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran dengan merekrut tenaga kerja.
Para PKL tersebut juga rata-rata melakukan usahanya secara mandiri dan tidak begitu tergantung dengan bantuan dari pemerintah maupun dari lembaga perbankan karena memang sulit menembus syarat yang diberikan bank.
Jika PKL digusur, menurut Rahmat, berpotensi menimbulkan gejolak sosial karena masyarakat menjadi pengangguran, akibat kebijakan yang salah dari pemerintah.
"Hitung saja, kalau masing-masing PKL rata-rata memiliki satu orang istri dan dua orang anak, berarti sudah empat orang yang dia kasi makan. Belum lagi tenaga kerja yang dipekerjakan. Kalau ratusan PKL digusur, hitung saja berapa jiwa yang tidak bisa makan dan menganggur," ujarnya. (*)
"Bukan lagi resah. Kami stres dengan surat larangan berjualan yang saya terima dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat (NTB)," kata Khalik, salah seorang Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berjualan di samping Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri (Bakesbangpoldagri) NTB, di Mataram, Rabu.
Ia dan dua orang PKL perempuan berstatus janda yang berjualan di sekitar Kantor Bakesbangpoldagri NTB dan Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) NTB, tidak habis pikir dengan kebijakan Pemprov NTB melakukan penertiban terhadap rakyat kecil yang berusaha dengan cara halal.
Khalik yang sudah berjualan bakso selama tiga tahun di sekitar Kantor Bakesbangpoldagri NTB mengaku diberikan tenggang waktu hingga Senin, 2 Mei 2011, oleh Pemerintah Provinsi NTB untuk membongkar lapaknya, kalau tidak aparat Polisi Pamong Praja (Pol PP) akan melakukan pembongkaran paksa.
"Saya dan dua orang ibu yang menjual nasi campur di sekitar lingkungan ini diberikan waktu satu minggu untuk membereskan lapak tempat berjualan. Saya sudah coba memohon ke Kepala Bakesbangpoldagri untuk diberikan solusi. Memang tetap diizinkan berjualan tapi lapaknya harus dibongkar pasang. Tetapi kami belum tahu apakah Pol PP akan tetap melarang atau tidak," ujarnya.
Ia mengaku akan tetap bertahan berjualan meskipun dengan risiko nantinya akan terkena penertiban. Upaya untuk bertahan dilakukan karena tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dilakukan.
"Saya tetap akan berjualan karena dari sinilah saya bisa memberi makan keluarga dan membiayai sekolah anak saya. Saya berharap kepada gubernur sekiranya berpikir arif dan bijaksana. Janganlah kami digusur, kalau memang dinilai kurang enak dipandang, paling tidak kami ditata agar rapi," ujar Khalik dengan mata merah seakan mau meneteskan air mata.
Sri, PKL lainnya yang berjualan di depan Kantor Dinas Pekerjaan Umum (PU) NTB, mengaku akan pindah lokasi karena dua lapak milik rekan di sebelahnya sudah dibongkar aparat Pol PP pada Rabu (27/4).
"Tempat ini saya sewa. Tapi karena Pol PP tadi minta pada Sabtu (30/4) lapak saya sudah harus dibongkar, terpaksa saya cari tempat lain, dengan risiko mungkin dagangan saya tidak selaris di tempat ini," keluhnya.
Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) Kota Mataram, M. Nuh Rahmat, menyesalkan kebijakan Pemprov NTB menertibkan PKL hanya karena ingin menyukseskan program Visit Lombok Sumbawa (VLS) 2012 dan Adipura Kota Mataram.
"Percuma saja pemerintah mewujudkan VLS dan meraih piala Adipura kalau rakyatnya miskin. Kebijakan penggusuran PKL juga tidak selaras dengan upaya menurunkan angka kemiskinan sebesar dua persen per tahun dan penurunan angka pengangguran serta penciptaan 100 ribu wirausaha baru yang dicanangkan Pemprov NTB kalau rakyat kecil yang berusaha tertindas," ujarnya.
Menurut dia, PKL ikut berperan membangun roda perekonomian daerah serta mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran dengan merekrut tenaga kerja.
Para PKL tersebut juga rata-rata melakukan usahanya secara mandiri dan tidak begitu tergantung dengan bantuan dari pemerintah maupun dari lembaga perbankan karena memang sulit menembus syarat yang diberikan bank.
Jika PKL digusur, menurut Rahmat, berpotensi menimbulkan gejolak sosial karena masyarakat menjadi pengangguran, akibat kebijakan yang salah dari pemerintah.
"Hitung saja, kalau masing-masing PKL rata-rata memiliki satu orang istri dan dua orang anak, berarti sudah empat orang yang dia kasi makan. Belum lagi tenaga kerja yang dipekerjakan. Kalau ratusan PKL digusur, hitung saja berapa jiwa yang tidak bisa makan dan menganggur," ujarnya. (*)