Mataram (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memantau Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat dalam menangani kasus dugaan korupsi yang telah menetapkan Wakil Bupati Lombok Utara, berinisial DKF sebagai salah seorang tersangka dalam pengerjaan proyek fisik rumah sakit.

"Soal itu (kasus rumah sakit) kita terus monitor perkembangannya," kata Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK Budi Waluya di Mataram, Rabu.

Dia menegaskan hal itu usai melakukan kegiatan koordinasi dan supervisi penanganan kasus korupsi di lingkup kerja Kejaksaan di NTB.

Kegiatan dilaksanakan di Gedung Kejati NTB, Kota Mataram. Seluruh pejabat kabupaten/kota di bidang pidana khusus hadir. Tak terkecuali Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati NTB Gunawan Wibisono beserta seluruh penyidiknya.

Kasus korupsi proyek di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lombok Utara itu turut dipaparkan Kejaksaan dalam laporannya kepada KPK. Laporan penanganannya disampaikan bersama 29 kasus korupsi lain yang kini sedang berjalan pada tahap penyidikan.

Perihal kasus korupsi yang melibatkan wakil bupati aktif tersebut, Budi mendengar paparan dari Kejaksaan bahwa progres penanganannya sudah berjalan dengan benar.

"Memang kami tidak masuk secara teknis progres kasusnya seperti apa, tidak detail, tetapi dari hasil koordinasi tadi, kami melihat progres penanganan tetap jalan, tidak ada kendala berat," ujarnya.

Juru Bicara Kejati NTB Supardin mewakili Aspidsus Kejati NTB Gunawan Wibisono menyampaikan bahwa progres kasus korupsi yang menyeret Wabup Lombok Utara sebagai tersangka ini masih terus berjalan.

Perihal agenda pemeriksaan DKF yang belum dilaksanakan Kejaksaan terhitung sejak penetapannya sebagai tersangka pada 23 September 2021, Supardin memastikan hal tersebut akan terlaksana sesuai agenda penyidikan.

"Jadi tinggal tunggu waktu saja," kata Supardin.

Proyek dengan item pekerjaan berupa penambahan ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Lombok Utara ini dikerjakan PT Batara Guru Group. Proyeknya dikerjakan dengan nilai Rp5,1 miliar pada tahun anggaran 2019.

Dugaan korupsinya muncul usai pemerintah memutus kontrak proyek di tengah pengerjaan. Hal tersebut dikuatkan dengan adanya kerugian negara yang nilainya sekitar Rp742,75 juta.

Modus korupsinya berkaitan dengan pekerjaan proyek yang tetap dinyatakan selesai meskipun masih ada dugaan kekurangan volume pekerjaan.

Untuk proyek ini, Kejati NTB menetapkan Wabup Lombok Utara DKF ketika mengemban jabatan sebagai staf ahli dari konsultan pengawas CV Indo Mulya Consultant.

DKF menjadi tersangka bersama pimpinan CV Indo Mulya Consultant, berinisial LFH, Direktur RSUD Lombok Utara berinisial SH, pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek berinisial HZ, dan kuasa Direktur PT Batara Guru Group, MF.

Pewarta : Dhimas Budi Pratama
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024