Sumbawa (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nusa Tenggara Barat telah menyelesaikan penggabungan 12 bank perkreditan rakyat (BPR) menjadi tiga lembaga perbankan sesuai dengan keinginan para pemegang sahamnya.
"Proses penggabungan semua BPR itu telah selesai dan sekarang sudah beroperasi dengan nama baru," kata Kepala OJK NTB Rico Rinaldy, dalam pertemuan dengan para wartawan di Pulau Moyo, Kabupaten Sumbawa, Jumat.
Ia menyebutkan sebanyak 12 BPR yang melakukan penggabungan (merger), yakni PT BPR Kabalong Abdi Swadaya yang digabung dengan PT BPR Samas dan berganti nama menjadi PT BPR Kabalong Abdi Swadaya.
Selanjutnya, PT BPR Dana Master Surya dengan PT BPR Tanjung Abdi Swadaya, kemudian berganti nama menjadi PT BPR Master Lotara.
Rico menambahkan merger BPR paling besar dilakukan oleh delapan BPR milik pemerintah daerah di NTB, yakni PD BPR NTB Sumbawa, PD BPR NTB Lombok Tengah, PD BPR NTB Lombok Barat, PD BPR NTB Lombok Timur, PD BPR NTB Bima, PD BPR NTB Dompu, PD BPR NTB Sumbawa, PD BPR NTB Sumbawa Barat, dan PD BPR NTB Mataram.
"Delapan BPR tersebut digabung menjadi satu dengan nama PD BPR NTB Mataram sesuai keputusan pemerintah daerah di NTB, selaku pemegang saham," ujarnya.
Menurut dia, tuntasnya penggabungan sebanyak 12 BPR tersebut merupakan suatu kemajuan yang positif bagi industri perbankan di NTB, setelah lima tahun diproses.
Hal yang positif, lanjut Rico, adalah BPR NTB Mataram setelah merger berpotensi menjadi BPR dengan aset terbesar karena modalnya mencapai Rp250 miiar.
Bahkan, pemegang saham mentargetkan menjadi BPR Syariah. Namun jalan menuju syariah masih panjang karena harus berubah dari perusahaan daerah menjadi perseroan terbatas.
"Kalau dikonversi menjadi BPR syariah tentu ada tahapan yang harus dilewati, harus menjadi PT terlebih dahulu, kemudian syarat-syarat administrasi dan potensi pasarnya seperti apa," ucapnya.
Dalam kesempatan itu, Rico juga menyebutkan nilai aset BPR di NTB hingga April 2022 mencapai Rp2,69 triliun atau tumbuh sebesar 8,43 persen secara tahunan.
Selain itu, penyaluran kredit BPR di NTB, mencapai Rp2,04 triliun hingga April 2022. Angka tersebut tumbuh sebesar 7,29 persen dengan jumlah kreditur sebanyak 69.259 nasabah. Dana pihak ketiga berada di angka Rp1,9 triliun, atau tumbuh sebesar 17,06 persen.
"Pertumbuhan DPK BPR di NTB, lebih tinggi dari pertumbuhan di tingkat nasional yang tumbuh sebesar 11,35 persen. Ini menunjukkan kinerjanya masih tergolong sehat dan bagus, walaupun kredit bermasalahnya mencapai 9,73 persen dan masih bisa dikendalikan," kata Rico.
"Proses penggabungan semua BPR itu telah selesai dan sekarang sudah beroperasi dengan nama baru," kata Kepala OJK NTB Rico Rinaldy, dalam pertemuan dengan para wartawan di Pulau Moyo, Kabupaten Sumbawa, Jumat.
Ia menyebutkan sebanyak 12 BPR yang melakukan penggabungan (merger), yakni PT BPR Kabalong Abdi Swadaya yang digabung dengan PT BPR Samas dan berganti nama menjadi PT BPR Kabalong Abdi Swadaya.
Selanjutnya, PT BPR Dana Master Surya dengan PT BPR Tanjung Abdi Swadaya, kemudian berganti nama menjadi PT BPR Master Lotara.
Rico menambahkan merger BPR paling besar dilakukan oleh delapan BPR milik pemerintah daerah di NTB, yakni PD BPR NTB Sumbawa, PD BPR NTB Lombok Tengah, PD BPR NTB Lombok Barat, PD BPR NTB Lombok Timur, PD BPR NTB Bima, PD BPR NTB Dompu, PD BPR NTB Sumbawa, PD BPR NTB Sumbawa Barat, dan PD BPR NTB Mataram.
"Delapan BPR tersebut digabung menjadi satu dengan nama PD BPR NTB Mataram sesuai keputusan pemerintah daerah di NTB, selaku pemegang saham," ujarnya.
Menurut dia, tuntasnya penggabungan sebanyak 12 BPR tersebut merupakan suatu kemajuan yang positif bagi industri perbankan di NTB, setelah lima tahun diproses.
Hal yang positif, lanjut Rico, adalah BPR NTB Mataram setelah merger berpotensi menjadi BPR dengan aset terbesar karena modalnya mencapai Rp250 miiar.
Bahkan, pemegang saham mentargetkan menjadi BPR Syariah. Namun jalan menuju syariah masih panjang karena harus berubah dari perusahaan daerah menjadi perseroan terbatas.
"Kalau dikonversi menjadi BPR syariah tentu ada tahapan yang harus dilewati, harus menjadi PT terlebih dahulu, kemudian syarat-syarat administrasi dan potensi pasarnya seperti apa," ucapnya.
Dalam kesempatan itu, Rico juga menyebutkan nilai aset BPR di NTB hingga April 2022 mencapai Rp2,69 triliun atau tumbuh sebesar 8,43 persen secara tahunan.
Selain itu, penyaluran kredit BPR di NTB, mencapai Rp2,04 triliun hingga April 2022. Angka tersebut tumbuh sebesar 7,29 persen dengan jumlah kreditur sebanyak 69.259 nasabah. Dana pihak ketiga berada di angka Rp1,9 triliun, atau tumbuh sebesar 17,06 persen.
"Pertumbuhan DPK BPR di NTB, lebih tinggi dari pertumbuhan di tingkat nasional yang tumbuh sebesar 11,35 persen. Ini menunjukkan kinerjanya masih tergolong sehat dan bagus, walaupun kredit bermasalahnya mencapai 9,73 persen dan masih bisa dikendalikan," kata Rico.