Jakarta (ANTARA) - Badan Kesehatan Dunia (WHO) meminta pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pemberian ASI eksklusif untuk meningkatkan capaian secara global maupun nasional dalam mencegah terjadinya kekerdilan pada anak (stunting) di Tanah Air.

“Praktik menyusui yang optimal adalah kunci untuk menurunkan stunting di bawah usia lima tahun, demi mencapai target global dan nasional untuk mengurangi kekerdilan pada anak hingga 40 persen,” kata Perwakilan WHO Dr N. Paranietharan dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin.

Inisiasi menyusu dini (IMD) dan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan, harus ditingkatkan, karena dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi saluran cerna dan kandungan gizi yang diperlukan untuk mencegah stunting.
 

Sayangnya, pemberian ASI selama pandemi COVID-19 di Indonesia justru menurun. Riskesdas tahun 2021 menyebut hanya 52,5 persen atau setengah dari 2,3 juta bayi berusia kurang dari enam bulan mendapat ASI eksklusif. Angka itu menurun 12 persen dari angka di tahun 2019. Sedangkan IMD menjadi 48,6 persen, turun dari capaian pada tahun 2019, yakni 58,2 persen.

Padahal, pemberian ASI dapat melindungi anak dari penyakit, seperti diare dan pneumonia, meningkatkan kecerdasan dan menurunkan risiko anak terkena obesitas. Sedangkan pemberian ASI yang ditingkatkan, mampu menyelamatkan lebih dari 820.000 anak per tahun, dan peningkatan kasus kanker payudara sampai dengan 20.000 kasus per tahun.

Pelaksana tugas Perwakilan UNICEF, Robert Gass menuturkan dari survei nasional 2021 yang dilakukan bersama Kementerian Kesehatan menunjukkan, kurang dari 50 persen ibu dan pengasuh anak di bawah dua tahun menerima layanan konseling menyusui selama pandemi. Sayangnya, diperparah dengan tingginya pelanggaran terhadap kode internasional pemasaran produk ASI.

“Di tengah pandemi global, para pemangku kepentingan harus mempertahankan perlindungan, promosi, dan dukungan untuk menyusui," ujar Gass. Ia meminta agar praktik ibu menyusui didukung optimal dan memperluas investasi yang dibutuhkan untuk mempromosikan pemberian ASI, termasuk memastikan ketersediaan layanan konseling menyusui untuk semua ibu dan pengasuh bagi anak berusia di bawah dua tahun, baik secara daring atau luring.

 

Baca juga: UNICEF sebut kasus campak naik 400 persen di Aftika pada 2022
Baca juga: UNICEF : Perlu intervensi hadapi "learning loss"

Kemudian, memperbarui dan memperluas implementasi 10 langkah menuju keberhasilan menyusui di seluruh bagian sistem kesehatan yang menyediakan layanan persalinan dan memperkuat implementasi, pemantauan kepatuhan terhadap kode internasional pemasaran produk pengganti ASI.

Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo mengonfirmasi ASI eksklusif harus terus diperjuangkan karena masih banyak pola pengasuhan yang salah beredar di masyarakat Ada pendapat bahwa begitu lahir, bayi dapat segera diberikan makanan yang bertekstur halus seperti pisang atau kelapa muda kerok, sebagai pengganti ASI eksklusif. Kasus itu, sering ditemukan akibat air susu ibu yang tidak keluar.
Pemberian makanan pendamping ASI sebelum waktunya itu, juga terjadi karena adanya pemahaman yang salah terkait bayi menangis, karena tidak cocok dengan ASI ibu atau makanan lain yang diberikan.

Menurut Hasto, pemberian ASI eksklusif harus dioptimalkan selama enam bulan. Sebab, saat menyusui secara kulit ke kulit, sedotan bayi akan mengeluarkan hormon oksitosin dan prolaktin pada otak ibu “Tidak serta merta memakai susu perah itu menggantikan susu yang langsung. Itu tidak bisa, pemahaman seperti ini penting dan harus disosialisasikan,” ujar Hasto.



 


Pewarta : Hreeloita Dharma Shanti
Editor : I Komang Suparta
Copyright © ANTARA 2024