Lamongan (ANTARA) - Mendikbud Mohammad Nuh tidak akan memberikan sanksi bagi universitas yang menolak surat edaran Ditjen Dikti tentang kewajiban publikasi artikel di jurnal ilmiah bagi sarjana (S-1, S-2, dan S-3), karena mereka umumnya belum paham.
"Kalau ada (universitas) yang menolak (jurnal ilmiah) ya nggak apa-apa, kita tidak akan memberikan sanksi, tapi kita akan jelaskan dulu, karena mereka belum paham saja," katanya di sela-sela seminar dalam rangka Kongres I Ikatan Sarjana NU (ISNU) di Unisda, Lamongan, Jatim, Sabtu.
Menurut dia, surat edaran tentang kewajiban publikasi artikel di jurnal ilmiah itu sebenarnya bukan dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah karya ilmiah secara kuantitas dan mengabaikan kualitas, namun surat edaran itu lebih dimaksudkan pada pertanggungjawaban universitas pada masyarakat.
"Output universitas itu ada dua yakni orang dan karya ilmiah, karena itu jurnal ilmiah itu merupakan bentuk pertanggungjawaban universitas kepada masyarakat, sekaligus akan mengangkat nama universitas itu bila karya ilmiah yang dituliskan dipublikasikan pada jurnal `online`," katanya.
Ia meminta masyarakat untuk tidak mengecilkan kiprah sarjana strata-1 (S1), karena mereka sudah menulis skripsi, sehingga mereka tinggal mengubah skripsi yang dibuat menjadi makalah/paper dalam 3-4 halaman untuk diunggah pada jurnal "online" di kampusnya.
"Reviewer skripsi yang akan dipublikasikan melalui jurnal online itu juga tidak perlu orang baru, melainkan cukup 3-4 dosen penguji skripsi. Jadi, kalau skripsi-nya dinyatakan memenuhi syarat, maka syarat menulis karya ilmiah pun terpenuhi," katanya.
Selain itu, katanya, artikel yang ditulis dan dipublikasikan akan mendorong penulisnya untuk serius dan hasilnya pun berkualitas, karena penulisnya tidak ingin malu di hadapan temannya dan orang lain yang membaca artikelnya secara "online".
"Publikasi karya ilmiah itu juga akan mewujudkan terjadinya dialektika ilmiah, karena artikel mana yang belum pernah ditulis dan artikel yang sudah pernah ditulis, akan menjadi bahan pembicaraan guna menghindari pengulangan dan mempercepat perkembangan iptek," katanya.
Alasan lain yang juga penting adalah publikasi karya ilmiah akan dapat mengangkat nama universitas yang bersangkutan, sehingga peringkat universitas yang sering mempublikasikan karya ilmiah pun akan cepat naik.
"Masak sarjana, kok tidak bisa menulis," katanya di hadapan peserta Kongres I ISNU di Lamongan yang dibuka Wakil Ketua Umum PBNU Dr (HC) As`ad S Ali dan dihadiri Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Mahfud MD, Ketua DPR RI Marzuki Alie, dan anggota BPK RI Ali Masykur Moesa MA, serta 600-an peserta dari seluruh Indonesia.
(*)
"Kalau ada (universitas) yang menolak (jurnal ilmiah) ya nggak apa-apa, kita tidak akan memberikan sanksi, tapi kita akan jelaskan dulu, karena mereka belum paham saja," katanya di sela-sela seminar dalam rangka Kongres I Ikatan Sarjana NU (ISNU) di Unisda, Lamongan, Jatim, Sabtu.
Menurut dia, surat edaran tentang kewajiban publikasi artikel di jurnal ilmiah itu sebenarnya bukan dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah karya ilmiah secara kuantitas dan mengabaikan kualitas, namun surat edaran itu lebih dimaksudkan pada pertanggungjawaban universitas pada masyarakat.
"Output universitas itu ada dua yakni orang dan karya ilmiah, karena itu jurnal ilmiah itu merupakan bentuk pertanggungjawaban universitas kepada masyarakat, sekaligus akan mengangkat nama universitas itu bila karya ilmiah yang dituliskan dipublikasikan pada jurnal `online`," katanya.
Ia meminta masyarakat untuk tidak mengecilkan kiprah sarjana strata-1 (S1), karena mereka sudah menulis skripsi, sehingga mereka tinggal mengubah skripsi yang dibuat menjadi makalah/paper dalam 3-4 halaman untuk diunggah pada jurnal "online" di kampusnya.
"Reviewer skripsi yang akan dipublikasikan melalui jurnal online itu juga tidak perlu orang baru, melainkan cukup 3-4 dosen penguji skripsi. Jadi, kalau skripsi-nya dinyatakan memenuhi syarat, maka syarat menulis karya ilmiah pun terpenuhi," katanya.
Selain itu, katanya, artikel yang ditulis dan dipublikasikan akan mendorong penulisnya untuk serius dan hasilnya pun berkualitas, karena penulisnya tidak ingin malu di hadapan temannya dan orang lain yang membaca artikelnya secara "online".
"Publikasi karya ilmiah itu juga akan mewujudkan terjadinya dialektika ilmiah, karena artikel mana yang belum pernah ditulis dan artikel yang sudah pernah ditulis, akan menjadi bahan pembicaraan guna menghindari pengulangan dan mempercepat perkembangan iptek," katanya.
Alasan lain yang juga penting adalah publikasi karya ilmiah akan dapat mengangkat nama universitas yang bersangkutan, sehingga peringkat universitas yang sering mempublikasikan karya ilmiah pun akan cepat naik.
"Masak sarjana, kok tidak bisa menulis," katanya di hadapan peserta Kongres I ISNU di Lamongan yang dibuka Wakil Ketua Umum PBNU Dr (HC) As`ad S Ali dan dihadiri Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Mahfud MD, Ketua DPR RI Marzuki Alie, dan anggota BPK RI Ali Masykur Moesa MA, serta 600-an peserta dari seluruh Indonesia.
(*)