Mataram, 22/2 (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat mengagendakan sosialisasi secara berkelanjutan peraturan daerah yang mengatur tentang pengelolaan tambang mineral dan batubara, yang telah ditetapkan DPRD pada 20 Februari 2012, agar diketahui dan dipahami semua pihak terkait.
"Sosialisasi itu dipandang penting karena regulasi baru bidang pertambangan di tingkat daerah itu harus diketahui dan dipahami semua pihak terkait," kata Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Eko Bambang Sutedjo, di Mataram, Rabu.
Hanya saja, kata Eko, sosialisasi perda pengelolaan tambang mineral dan batubara (minerba) itu akan lebih efektif dan efisien, jika peraturan daerah (perda) tersebut telah mendapat pengesahan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Kini, tim Pemprov NTB yang dimotori Kepala Biro Hukum Setda NTB tengah mempersiapkan rencana konsultasi sekaligus meminta pengesahan Mendagri atas perda pengelolaan tambang minerba itu.
"Proses pengesahan perda di Kementerian Dalam Negeri butuh waktu sekitar tiga bulan, sehingga sosialisasi itu akan digelar Juni atau Juli mendatang. Mudah-mudahan semuanya berjalan lancar," ujarnya.
DPRD NTB menetapkan rancangan peraturan daerah (raperda) menjadi perda yang mengatur tentang pengelolaan tambang minerba, setelah berkali-kali melakukan penyempurnaan.
Penetapan perda pengelolaan tambang minerba itu, dicapai pada rapat paripurna DPRD NTB, di Mataram, Senin (20/2), setelah mendengar pandangan akhir Panitia Khusus (Pansus) Pengelolaan Tambang Minerba DPRD NTB.
Pansus itu menyampaikan pandangan akhirnya setelah melaksanakan studi komparatif di Provinsi Sumatera Utara, yang dilanjutkan dengan konsultasi akhir di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), di Jakarta, 12-15 Februari 2012.
Perda pengelolaan tambang minerba itu berisi 16 bab, 60 pasal dan 132 ayat, yang diharapkan mampu mengakomodasi 19 kewenangan pemerintah provinsi dan menjawab 12 isu strategis.
Kewenangan pemerintah provinsi di bidang pertambangan sesuai Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, antara lain pembinaan dan pengawasan, pengaduan masyarakat, pengaturan jasa usaha lokal dan ketentuan lainnya seperti tata cara penutupan tambang.
Dalam undang undang minerba itu, pemerintah provinsi juga berperan dalam pengusahaan pertambangan minerba yakni pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), pemberian UIP, dan pengaturan seluruh kegiatan pengelolaan pertambangan.
Wewenang itu dapat berupa kegiatan penyelidikan, pengelolaan dan pengusahaannya dengan cakupan kegiatan usaha pertambangan mulai dari penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
Sementara isu-isu strategis di bidang pertambangan minerba yang patut disikapi pemerintah provinsi antara lain, optimalisasi potensi usaha penambangan lokal, penyelesaian konflik tambang, dan keterbukaan informasi publik atau jaminan transparansi.
Perda tersebut antara lain mengatur tentang pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan kepala daerah, namun dikehendaki pencabutannya oleh masyarakat banyak.
Pasal lainnya, mempertegas soal wilayah usaha pertambangan pada setiap tahapan kegiatan, yang sekarang masih dirasakan multitafsir sehingga memicu aksi-aksi massa yang berujung tindakan anarkis.
Batas wilayah pertambangan pada setiap tahapan kegiatan harus jelas. Tahapan eksplorasi, misalnya, yang boleh mencakup wilayah mana saja agar tidak melibatkan lokasi permukiman dalam areal wilayah tambang pada tahapan itu.
Demikian pula pada tahapan eksploitasi, harus jelas definisi wilayah usaha pertambangannya pada tahapan itu, agar menutup ruang protes pihak-pihak tertentu.
Perda tersebut juga mengatur kewenangan pemerintah provinsi dalam pengawasan lingkungan tambang dan keberlanjutan usaha penambangan, dan kewenangan pemerintah provinsi dalam pemberdayaan warga miskin di lingkar tambang, dan kewenangan pengawasan dana tanggungjawab sosial perusahaan tambang. (*)
"Sosialisasi itu dipandang penting karena regulasi baru bidang pertambangan di tingkat daerah itu harus diketahui dan dipahami semua pihak terkait," kata Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Eko Bambang Sutedjo, di Mataram, Rabu.
Hanya saja, kata Eko, sosialisasi perda pengelolaan tambang mineral dan batubara (minerba) itu akan lebih efektif dan efisien, jika peraturan daerah (perda) tersebut telah mendapat pengesahan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Kini, tim Pemprov NTB yang dimotori Kepala Biro Hukum Setda NTB tengah mempersiapkan rencana konsultasi sekaligus meminta pengesahan Mendagri atas perda pengelolaan tambang minerba itu.
"Proses pengesahan perda di Kementerian Dalam Negeri butuh waktu sekitar tiga bulan, sehingga sosialisasi itu akan digelar Juni atau Juli mendatang. Mudah-mudahan semuanya berjalan lancar," ujarnya.
DPRD NTB menetapkan rancangan peraturan daerah (raperda) menjadi perda yang mengatur tentang pengelolaan tambang minerba, setelah berkali-kali melakukan penyempurnaan.
Penetapan perda pengelolaan tambang minerba itu, dicapai pada rapat paripurna DPRD NTB, di Mataram, Senin (20/2), setelah mendengar pandangan akhir Panitia Khusus (Pansus) Pengelolaan Tambang Minerba DPRD NTB.
Pansus itu menyampaikan pandangan akhirnya setelah melaksanakan studi komparatif di Provinsi Sumatera Utara, yang dilanjutkan dengan konsultasi akhir di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), di Jakarta, 12-15 Februari 2012.
Perda pengelolaan tambang minerba itu berisi 16 bab, 60 pasal dan 132 ayat, yang diharapkan mampu mengakomodasi 19 kewenangan pemerintah provinsi dan menjawab 12 isu strategis.
Kewenangan pemerintah provinsi di bidang pertambangan sesuai Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, antara lain pembinaan dan pengawasan, pengaduan masyarakat, pengaturan jasa usaha lokal dan ketentuan lainnya seperti tata cara penutupan tambang.
Dalam undang undang minerba itu, pemerintah provinsi juga berperan dalam pengusahaan pertambangan minerba yakni pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), pemberian UIP, dan pengaturan seluruh kegiatan pengelolaan pertambangan.
Wewenang itu dapat berupa kegiatan penyelidikan, pengelolaan dan pengusahaannya dengan cakupan kegiatan usaha pertambangan mulai dari penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
Sementara isu-isu strategis di bidang pertambangan minerba yang patut disikapi pemerintah provinsi antara lain, optimalisasi potensi usaha penambangan lokal, penyelesaian konflik tambang, dan keterbukaan informasi publik atau jaminan transparansi.
Perda tersebut antara lain mengatur tentang pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan kepala daerah, namun dikehendaki pencabutannya oleh masyarakat banyak.
Pasal lainnya, mempertegas soal wilayah usaha pertambangan pada setiap tahapan kegiatan, yang sekarang masih dirasakan multitafsir sehingga memicu aksi-aksi massa yang berujung tindakan anarkis.
Batas wilayah pertambangan pada setiap tahapan kegiatan harus jelas. Tahapan eksplorasi, misalnya, yang boleh mencakup wilayah mana saja agar tidak melibatkan lokasi permukiman dalam areal wilayah tambang pada tahapan itu.
Demikian pula pada tahapan eksploitasi, harus jelas definisi wilayah usaha pertambangannya pada tahapan itu, agar menutup ruang protes pihak-pihak tertentu.
Perda tersebut juga mengatur kewenangan pemerintah provinsi dalam pengawasan lingkungan tambang dan keberlanjutan usaha penambangan, dan kewenangan pemerintah provinsi dalam pemberdayaan warga miskin di lingkar tambang, dan kewenangan pengawasan dana tanggungjawab sosial perusahaan tambang. (*)