Mataram, 13/4 (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat kesulitan mencegah penyebaran virus HIV/AIDS melalui Tenaga Kerja Indonesia karena belum ada regulasi yang mewajibkan buruh migran itu melakukan pemeriksaan medis saat kembali ke kampung halamannya.
"Memang sulit mencegah penyebaran virus HIV/AIDS melalui TKI, mereka tidak diperiksa saat pulang kampung. Siapa yang tahu kalau mereka membawa virus itu dari negara tempat bekerja," kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) H Moh Ismail, di Mataram, Jumat.
Ia mengatakan, permasalahan tersebut telah dikoordinasikan dengan Kementerian Kesehatan agar ada upaya nyata untuk mempercepat penerbitan regulasi yang mengatur keharusan pemeriksaan medis bagi TKI yang pulang kampung.
Pemerintah Provinsi NTB menghendaki para TKI yang pulang kampung wajib menjalani pemeriksaan Voluntary Counselling and Testing (VCT) sesaat setelah turun dari pesawat, namun harus didukung regulasi khusus yang mengatur mekanisme dan pemeriksaan medis itu, agar tidak mencuat masalah baru.
Permasalahan regulasi pengawasan HIV/AIDS di kalangan eks TKI itu juga sudah pernah dibahas dalam lokakarya penanggulangan HIV/AIDS yang difasilitasi Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Hotel Jayakarta, kawasan wisata Senggigi, Kabupaten Lombok Barat, NTB, 27 Oktober 2011.
Umumnya peserta lokakarya itu menyetujui penggodokan regulasi pengawasan HIV/AIDS di kalangan eks TKI itu.
Saat itu, penyelenggara lokakarya menyatakan akan membawa usulan penggodokan regulasi pengawasan AIDS di kalangan eks TkI itu dalam lokakarya serupa di Jawa Timur, kemudian dilanjutkan ke tingkat nasional.
NTB dan Jawa Timur merupakan dua provinsi di Indonesia yang paling banyak mengirim TKI ke berbagai negara.
Setiap tahun NTB mengirim TKI sebanyak 45 ribu hingga 80 ribu orang, terbanyak ke Malaysia, dan negara lainnya di Asia Pacifik seperti Singapura, Taiwan, Hongkong, dan negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Yordania. Sebagian besar TKI asal NTB bekerja di sektor informal.
Namun, hingga kini usulan penggodokan regulasi pengawasan HIV/AIDS di kalangan eks TKI itu belum juga menjadi bagian dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas), sehingga belum akan ada penerapan aturan tersebut dalam waktu dekat ini.
"Ini masalah memang, dari aspek medis kami pun selalu mempertanyakan hal ini kepada pejabat terkait di Kementerian Kesehatan, namun belum juga ada jawaban yang terarah sesuai harapan berbagai pihak di NTB," ujarnya.
Jika telah ada regulasi nasional, maka pemerintah daerah akan segera menindaklanjutinya dengan aturan pelaksanaan di daerah, baik dalam bentuk peraturan daerah (perda) maupun peraturan gubernur (pergub).
Versi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi NTB, para eks TKI baik laki-laki maupun perempuan atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang terindikasi mengidap HIV/AIDS sudah tergolong banyak yakni 33 orang, terdiri dari 23 orang pengidap HIV dan 10 orang pengidap AIDS (data posisi Agustus 2011).
Total pengidap HIV/AIDS di wilayah NTB sampai akhir Agustus 2011, terdata sebanyak 494 orang, terdiri dari 261 orang penderita HIV dan 233 orang penderita AIDS.
Dari total penderita HIV/AIDS itu, kelompok umur 25-29 tahun yang terbanyak yakni sebanyak 148 orang, kemudian usia 30-34 tahun sebanyak 117 orang dan usia 20-24 tahun sebanyak 92 orang, usia 40-44 tahun terindikasi sebanyak 33 orang, usia diatas 50 tahun sebanyak 12 orang dan usia 45-49 tahun sebanyak enam orang.
Pengidap HIV/AIDS yang berusia 15-19 tahun terdata sebanyak enam orang, yang berusia 10-14 tahun satu orang, dan 21 orang penderita lainnya merupakan balita dan anak-anak. Dua penderita AIDS lainnya tidak diketahui usianya.
Para pengidap HIV/AIDS itu terbanyak berdomisili di Kota Mataram, ibukota Provinsi NTB yakni sebanyak 194 orang, kemudian Lombok Timur 91 orang, Kabupaten Lombok Barat 83 orang, Lombok Tengah 51 orang, Sumbawa Barat 29 orang, Kabupaten Bima 12 orang, Sumbawa 10 orang, Kota Bima sembilan orang, dan Dompu yang terkecil yakni sebanyak lima orang.
Data itu belum termasuk pengidap HIV/AIDS di kalangan eks TKI yang belum memeriksakan diri di berbagai klinik VCT yang disediakan di sejumlah rumah sakit di Pulau Lombok dan Sumbawa.
Para eks TKI itu merupakan kelompok masyarakat yang rentan tertular virus HIV/AIDS karena bekerja di luar negeri selama bertahun-tahun. (*)