Mataram (ANTARA) - Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Provinsi Nusa Tenggara Barat belum berupaya keras menagih tunggakan kredit usaha tani senilai Rp98 miliar yang sudah berjalan selama belasan tahun.
"Kami terus berupaya menagih pengembalian kredit usaha tani (KUT) baik yang ada di petani, kelompok tani dan lembaga swadaya masyarakat (LSM)," kata Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) H M Rusdi, di Mataram.
Menurut dia, tunggakan KUT tersebut sudah berjalan selama belasan tahun sejak digulirkan pada 1995/1996 sampai 1999/2000, namun hingga saat ini para petani, pengurus koperasi tani dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) belum mengembalikan.
Rusdi tidak bisa memastikan apakah tunggakan KUT tersebut akan kembali seluruhnya mengingat yang mengakses kredit tersebut sebagian besar adalah koperasi tani yang didirikan secara mendadak tanpa persiapan yang matang.
"Selain di individu petani, KUT itu juga mengendap di koperasi tani. Koperasi itu banyak bermunculan karena mengetahui akan ada bantuan," ujarnya.
Ia mengatakan, pihaknya berupaya agar tunggakan KUT yang di petani secara individu bisa dihapuskan mengingat kondisi ekonomi keluarga petani jauh dari layak.
Selain itu, para petani tidak bisa mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) serta kredit lainnya di bank karena terbentur aturan perbankan yang tidak boleh mengucurkan pinjaman kepada debitur yang masih terlilit tunggakan KUT.
Sementara KUT yang belum dikembalikan oleh pengurus koperasi tani dan LSM, kata Rusdi, tetap harus ditagih karena tidak menutup kemungkinan kredit tersebut dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk kepentingannya sendiri.
"Kami mengusulkan agar tunggakan KUT di petani secara perorangan itu yang dihapus. Kalau yang mengendap di oknum pengurus koperasi tani dan LSM itu yang harus ditindak, jangan dihapus," katanya.
Program KUT yang dicairkan antara 1995/1996 sampai 1999/2000 itu bertujuan mendukung intensifikasi pertanian, membantu permodalan petani agar dapat meningkatkan produksi dan pendapatan, mendidik petani berperilaku menabung, mendorong petani bergabung dalam kelompok tani dan koperasi serta membantu pengembangan usaha koperasi.
Dengan adanya KUT diharapkan sektor pertanian mempunyai fungsi sebagai "multiplier effect" seperti mendorong peningkatan pendapatan dan perluasan kerja serta mendorong perkembangan sektor-sektor lain yang kemudian bersama-sama meningkatkan intensitas kegiatan ekonomi wilayah.
Namun bantuan pemerintah itu belum berjalan optimal. Tunggakan KUT masih banyak dan tidak hanya terjadi di NTB, tetapi di seluruh Indonesia. (*)
"Kami terus berupaya menagih pengembalian kredit usaha tani (KUT) baik yang ada di petani, kelompok tani dan lembaga swadaya masyarakat (LSM)," kata Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) H M Rusdi, di Mataram.
Menurut dia, tunggakan KUT tersebut sudah berjalan selama belasan tahun sejak digulirkan pada 1995/1996 sampai 1999/2000, namun hingga saat ini para petani, pengurus koperasi tani dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) belum mengembalikan.
Rusdi tidak bisa memastikan apakah tunggakan KUT tersebut akan kembali seluruhnya mengingat yang mengakses kredit tersebut sebagian besar adalah koperasi tani yang didirikan secara mendadak tanpa persiapan yang matang.
"Selain di individu petani, KUT itu juga mengendap di koperasi tani. Koperasi itu banyak bermunculan karena mengetahui akan ada bantuan," ujarnya.
Ia mengatakan, pihaknya berupaya agar tunggakan KUT yang di petani secara individu bisa dihapuskan mengingat kondisi ekonomi keluarga petani jauh dari layak.
Selain itu, para petani tidak bisa mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) serta kredit lainnya di bank karena terbentur aturan perbankan yang tidak boleh mengucurkan pinjaman kepada debitur yang masih terlilit tunggakan KUT.
Sementara KUT yang belum dikembalikan oleh pengurus koperasi tani dan LSM, kata Rusdi, tetap harus ditagih karena tidak menutup kemungkinan kredit tersebut dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk kepentingannya sendiri.
"Kami mengusulkan agar tunggakan KUT di petani secara perorangan itu yang dihapus. Kalau yang mengendap di oknum pengurus koperasi tani dan LSM itu yang harus ditindak, jangan dihapus," katanya.
Program KUT yang dicairkan antara 1995/1996 sampai 1999/2000 itu bertujuan mendukung intensifikasi pertanian, membantu permodalan petani agar dapat meningkatkan produksi dan pendapatan, mendidik petani berperilaku menabung, mendorong petani bergabung dalam kelompok tani dan koperasi serta membantu pengembangan usaha koperasi.
Dengan adanya KUT diharapkan sektor pertanian mempunyai fungsi sebagai "multiplier effect" seperti mendorong peningkatan pendapatan dan perluasan kerja serta mendorong perkembangan sektor-sektor lain yang kemudian bersama-sama meningkatkan intensitas kegiatan ekonomi wilayah.
Namun bantuan pemerintah itu belum berjalan optimal. Tunggakan KUT masih banyak dan tidak hanya terjadi di NTB, tetapi di seluruh Indonesia. (*)