Mataram, 27/6 (ANTARA) - Yayasan Indonesia Mengajar menyatakan prihatin dengan kondisi warga di pelosok desa Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang banyak tidak memiliki akte kelahiran karena biaya mahal.
"Biaya akta kelahiran cukup mahal karena warga di pelosok desa harus mengeluarkan biaya transportasi relatif besar untuk mencapai pusat pemerintahan di kota hanya untuk mengurus akte kelahiran. Belum lagi biaya persidangan di pengadilan," kata salah seorang tenaga pendidik dari Yayasan Indonesia Mengajar, Shally Pristine, ST, di Mataram, Rabu.
Shally Pristine, ST, alumni Institute Teknologi Bandung, adalah satu dari sembilan tenaga pengajar dari Yayasan Indonesia Mengajar Jakarta yang ditugaskan memberikan pendampingan dan pembelajaran bagi masyarakat di daerah pelosok Kabupaten Bima.
Kesembilan tenaga pendidik yang mengabdikan dirinya di sejumlah pelosok desa di Kabupaten Bima sejak 2011 hingga pertengahan 2012, itu berada di Mataram untuk memaparkan berbagai kegiatan yang telah dilakukannya, di hadapan para pejabat Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Provinsi NTB.
Delapan orang tim lainnya dari Yayasan Indonesia Mengajar Jakarta adalah Beryl Masdiary SI Kom, dari Universitas Budi Luhur, Marisya Yoga Pratama S.PSi dari Universitas Negeri Semarang, Ratu Fauzana S.I.Kom dari Universitas Padjajaran.
Tim lainnya adalah Maulita Putri Ekasari S. Farm. Apt, dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Mutia Amsuri Nasution S.Sos, dari Universitas Indonesia, Gatot Suarma, SE, dari Universitas Andalas Padang, Muhammad Habibullah, SE, dari Universitas Brawijaya Malang, Bagus Handoko, S.IP, dari UGM.
Pristine mengatakan, tidak adanya akta kelahiran juga menjadi kendala bagi salah seorang siswa yang terpilih sebagai penerima beasiswa dari sebuah lembaga di Bogor, untuk berangkat menghadiri acara serah terima beasiswa tersebut.
Siswa dari Langgudu yang sudah tidak memiliki ayah itu mampu bersaing dengan ratusan siswa se-NTB, termasuk dari sekolah di Kota Mataram, dalam memperebutkan beasiswa pendidikan itu.
"Dia satu-satunya wakil NTB yang berhasil lolos seleksi. Makanya kami berjuang membantu agar dia mendapatkan akte kelahiran. Sekarang sedang diurus oleh rekan-rekan kami yang menjadi mitra ketika kami masih melaksanakan kegiatan," ujarnya.
Ia mengatakan, akte kelahiran merupakan salah satu rekomendasi yang disampaikan kepada Pemkab Bima, agar kalangan siswa tidak menghadapi masalah di kemudian hari.
Rekomendasi lainnya adalah penggunaan Bahasa Indonesia di area sekolah yang masih minim, perlakukan anak berkebutuhan khusus yang perlu dibenahi dan minimnya akses informasi.
Pristine mengatakan, pihaknya juga merekomendasikan masalah distribusi guru yang belum merata di pelosok desa dan perlunya pelatihan guru untuk pengembangan profesi guru serta pemenuhan guru di pelosok desa.
"Yang paling memprihatinkan adalah penguasaan pelajaran bahasa Inggris yang buruk karena guru mata pelajaran itu berasal dari guru muatan lokal. Padahal potensi anak-anak untuk menguasai bahasa asing itu cukup bagus. Saya berharap pemerintah daerah memperhatikan hal itu," ujarnya. (*)
"Biaya akta kelahiran cukup mahal karena warga di pelosok desa harus mengeluarkan biaya transportasi relatif besar untuk mencapai pusat pemerintahan di kota hanya untuk mengurus akte kelahiran. Belum lagi biaya persidangan di pengadilan," kata salah seorang tenaga pendidik dari Yayasan Indonesia Mengajar, Shally Pristine, ST, di Mataram, Rabu.
Shally Pristine, ST, alumni Institute Teknologi Bandung, adalah satu dari sembilan tenaga pengajar dari Yayasan Indonesia Mengajar Jakarta yang ditugaskan memberikan pendampingan dan pembelajaran bagi masyarakat di daerah pelosok Kabupaten Bima.
Kesembilan tenaga pendidik yang mengabdikan dirinya di sejumlah pelosok desa di Kabupaten Bima sejak 2011 hingga pertengahan 2012, itu berada di Mataram untuk memaparkan berbagai kegiatan yang telah dilakukannya, di hadapan para pejabat Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Provinsi NTB.
Delapan orang tim lainnya dari Yayasan Indonesia Mengajar Jakarta adalah Beryl Masdiary SI Kom, dari Universitas Budi Luhur, Marisya Yoga Pratama S.PSi dari Universitas Negeri Semarang, Ratu Fauzana S.I.Kom dari Universitas Padjajaran.
Tim lainnya adalah Maulita Putri Ekasari S. Farm. Apt, dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Mutia Amsuri Nasution S.Sos, dari Universitas Indonesia, Gatot Suarma, SE, dari Universitas Andalas Padang, Muhammad Habibullah, SE, dari Universitas Brawijaya Malang, Bagus Handoko, S.IP, dari UGM.
Pristine mengatakan, tidak adanya akta kelahiran juga menjadi kendala bagi salah seorang siswa yang terpilih sebagai penerima beasiswa dari sebuah lembaga di Bogor, untuk berangkat menghadiri acara serah terima beasiswa tersebut.
Siswa dari Langgudu yang sudah tidak memiliki ayah itu mampu bersaing dengan ratusan siswa se-NTB, termasuk dari sekolah di Kota Mataram, dalam memperebutkan beasiswa pendidikan itu.
"Dia satu-satunya wakil NTB yang berhasil lolos seleksi. Makanya kami berjuang membantu agar dia mendapatkan akte kelahiran. Sekarang sedang diurus oleh rekan-rekan kami yang menjadi mitra ketika kami masih melaksanakan kegiatan," ujarnya.
Ia mengatakan, akte kelahiran merupakan salah satu rekomendasi yang disampaikan kepada Pemkab Bima, agar kalangan siswa tidak menghadapi masalah di kemudian hari.
Rekomendasi lainnya adalah penggunaan Bahasa Indonesia di area sekolah yang masih minim, perlakukan anak berkebutuhan khusus yang perlu dibenahi dan minimnya akses informasi.
Pristine mengatakan, pihaknya juga merekomendasikan masalah distribusi guru yang belum merata di pelosok desa dan perlunya pelatihan guru untuk pengembangan profesi guru serta pemenuhan guru di pelosok desa.
"Yang paling memprihatinkan adalah penguasaan pelajaran bahasa Inggris yang buruk karena guru mata pelajaran itu berasal dari guru muatan lokal. Padahal potensi anak-anak untuk menguasai bahasa asing itu cukup bagus. Saya berharap pemerintah daerah memperhatikan hal itu," ujarnya. (*)