Mataram, 26/7 (ANTARA) - Produsen tahu dan tempe di Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menghendaki Badan Urusan Logistik (Bulog) menangani pengadaan kedelai agar tidak dimonopoli pengusaha tertentu yang menyebabkan harga komoditas itu dinaikkan semaunya.
"Kalau bisa Bulog tangani pengadaan kedelai ini sehingga produsen tahu dan tempe bisa memperoleh bahan baku dengan harga terjangkau," kata Ketua Kelompok Produsen Tahu-Tempe Beriuk Pacu, Kelurahan Kekalik Jaya, Kota Mataram H M Nur Iman, di Mataram, Kamis.
Harapan itu disampaikan kepada Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi NTB H Lalu Imam Maliki, yang meninjau aktivitas produsen tahu-tempe di kelurahan tersebut.
Menurut dia, harga kedelai di tingkat pedagang besar mengalami kenaikan dari Rp6.000 menjadi Rp7.800 per kilogram (kg). Harga itu berlaku bagi produsen yang membeli dengan dana tunai.
Sementara produsen tahu dan tempe yang membeli dengan cara membayar setelah produknya laku, harus rela membeli dengan harga Rp8.000/kg.
Nur Iman mengatakan, kenaikan harga bahan baku tersebut sangat membebani anggotanya yang rata-rata masih tergolong industri kecil karena tidak bisa mendapatkan keuntungan.
Selain dihadapkan pada persoalan bahan baku yang naik, produsen tahu-tempe juga dihadapkan pada persoalan kenaikan harga bahan penolong seperti kulit kacang yang dijadikan bahan bakar. Harga bahan penolong itu naik dari Rp6.000 menjadi Rp8.000 per karung (isi 50 kg).
"Belum dihitung biaya tenaga kerja, biaya bahan penolong lainnya, seperti garam, biaya transportasi ke pasar. Kalau dihitung-hitung rugi. Idealnya harga kedelai harus berada paling tinggi sekitar Rp6.900/kg. Itu pun untungnya masih sedikit," ujarnya.
Ia mengatakan, hampir semua anggotanya membeli kedelai dari salah seorang pengusaha besar di wilayah Ampenan, Kota Mataram.
Pihaknya tidak bisa melakukan pembelian langsung dari petani dan melakukan penyimpanan di gudang untuk kebutuhan selama satu tahun karena terkendala modal.
Koperasi Beriuk Pacu yang dikelola para produsen tahu dan tempe di wilayahnya, kata Nur Iman, juga belum bisa difungsikan secara maksimal untuk menanggulangi masalah penyediaan bahan baku dalam skala besar dan harga yang relatif lebih murah.
"Makanya paling enak, Bulog yang tangani masalah kedelai ini. Kalau harga kedelai tidak turun hingga Rp6.000. Produsen tahu-tempe tidak akan bisa memberi makan keluarganya," katanya.
Kepala Disperindag NTB H Lalu Imam Maliki, juga mendukung keinginan produsen tahu-tempe agar Bulog menangani pengadaan kedelai untuk kebutuhan masyarakat banyak.
Menurut dia, Bulog bisa menjaga kondisi stok kedelai dengan menyerap produksi petani pada saat musim panen raya seperti yang dilakukan pada saat pengadaan beras dan gabah.
"Paling bagus memang kembalikan fungsi Bulog untuk menjaga ketersediaan kebutuhan pokok," ujarnya.
Maliki juga menegaskan, pihaknya tidak bisa ikut campur masalah harga kedelai karena yang menentukan adalah mekanisme pasar. Disperindag hanya bisa berupaya menjaga ketersediaan barang agar tidak mengalami kelangkaan.
Ia juga menilai, pola subsidi kedelai bagi produsen tahu dan tempe yang pernah dilakukan pada 2009 tidak memungkinkan untuk diterapkan lagi karena dikhawatirkan akan salah sasaran.
"Upaya yang paling efektif adalah Bulog yang menangani masalah kedelai. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu juga sudah punya standar operasional prosedur (SOP) dalam hal pengadaan kebutuhan pokok," katanya. (*)
"Kalau bisa Bulog tangani pengadaan kedelai ini sehingga produsen tahu dan tempe bisa memperoleh bahan baku dengan harga terjangkau," kata Ketua Kelompok Produsen Tahu-Tempe Beriuk Pacu, Kelurahan Kekalik Jaya, Kota Mataram H M Nur Iman, di Mataram, Kamis.
Harapan itu disampaikan kepada Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi NTB H Lalu Imam Maliki, yang meninjau aktivitas produsen tahu-tempe di kelurahan tersebut.
Menurut dia, harga kedelai di tingkat pedagang besar mengalami kenaikan dari Rp6.000 menjadi Rp7.800 per kilogram (kg). Harga itu berlaku bagi produsen yang membeli dengan dana tunai.
Sementara produsen tahu dan tempe yang membeli dengan cara membayar setelah produknya laku, harus rela membeli dengan harga Rp8.000/kg.
Nur Iman mengatakan, kenaikan harga bahan baku tersebut sangat membebani anggotanya yang rata-rata masih tergolong industri kecil karena tidak bisa mendapatkan keuntungan.
Selain dihadapkan pada persoalan bahan baku yang naik, produsen tahu-tempe juga dihadapkan pada persoalan kenaikan harga bahan penolong seperti kulit kacang yang dijadikan bahan bakar. Harga bahan penolong itu naik dari Rp6.000 menjadi Rp8.000 per karung (isi 50 kg).
"Belum dihitung biaya tenaga kerja, biaya bahan penolong lainnya, seperti garam, biaya transportasi ke pasar. Kalau dihitung-hitung rugi. Idealnya harga kedelai harus berada paling tinggi sekitar Rp6.900/kg. Itu pun untungnya masih sedikit," ujarnya.
Ia mengatakan, hampir semua anggotanya membeli kedelai dari salah seorang pengusaha besar di wilayah Ampenan, Kota Mataram.
Pihaknya tidak bisa melakukan pembelian langsung dari petani dan melakukan penyimpanan di gudang untuk kebutuhan selama satu tahun karena terkendala modal.
Koperasi Beriuk Pacu yang dikelola para produsen tahu dan tempe di wilayahnya, kata Nur Iman, juga belum bisa difungsikan secara maksimal untuk menanggulangi masalah penyediaan bahan baku dalam skala besar dan harga yang relatif lebih murah.
"Makanya paling enak, Bulog yang tangani masalah kedelai ini. Kalau harga kedelai tidak turun hingga Rp6.000. Produsen tahu-tempe tidak akan bisa memberi makan keluarganya," katanya.
Kepala Disperindag NTB H Lalu Imam Maliki, juga mendukung keinginan produsen tahu-tempe agar Bulog menangani pengadaan kedelai untuk kebutuhan masyarakat banyak.
Menurut dia, Bulog bisa menjaga kondisi stok kedelai dengan menyerap produksi petani pada saat musim panen raya seperti yang dilakukan pada saat pengadaan beras dan gabah.
"Paling bagus memang kembalikan fungsi Bulog untuk menjaga ketersediaan kebutuhan pokok," ujarnya.
Maliki juga menegaskan, pihaknya tidak bisa ikut campur masalah harga kedelai karena yang menentukan adalah mekanisme pasar. Disperindag hanya bisa berupaya menjaga ketersediaan barang agar tidak mengalami kelangkaan.
Ia juga menilai, pola subsidi kedelai bagi produsen tahu dan tempe yang pernah dilakukan pada 2009 tidak memungkinkan untuk diterapkan lagi karena dikhawatirkan akan salah sasaran.
"Upaya yang paling efektif adalah Bulog yang menangani masalah kedelai. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu juga sudah punya standar operasional prosedur (SOP) dalam hal pengadaan kebutuhan pokok," katanya. (*)