Mataram (ANTARA) - Jaksa penuntut umum menghadirkan tiga orang anggota kepolisian yang masuk daftar korban pencatutan nama untuk perkara dugaan korupsi kredit fiktif Bank Perkreditan Rakyat Nusa Tenggara Barat Cabang Batukliang.
Tiga anggota kepolisian yang hadir memberikan kesaksian untuk sidang lanjutan dengan terdakwa Agus Fanahesa dan Jauhari di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Kamis, adalah Marselinus, Putu Dirgantara, dan Radit.
Jaksa penuntut umum di hadapan majelis hakim yang dipimpin I Ketut Somanasa menjelaskan tiga anggota kepolisian yang memberikan keterangan sebagai saksi ini berdinas di Direktorat Samapta Kepolisian Daerah NTB.
"Iya, saya masih berdinas di Samapta," kata Marselinus memberikan keterangan secara bersama-sama dengan dua rekannya, Putu Dirgantara, dan Radit.
Ketika hakim menanyakan dampak dari adanya perkara ini, Marselinus bersama dua rekannya mengaku rugi. "Rugi saya," ujarnya singkat.
Marselinus pun menceritakan dirinya mengetahui persoalan ini berawal dari adanya pengumuman saat apel pasukan di Direktorat Samapta Polda NTB.
"Waktu itu, kami dikumpulkan, diumumkan ada masalah kredit macet di BPR," ujarnya.
Marselinus dengan dua rekannya, Putu Dirgantara dan Radit, mengaku bingung dengan pengumuman tersebut. "Kami tidak pernah ajukan kredit di BPR, kenapa kami ikut dikumpulkan," katanya.
Marselinus baru mengetahui dirinya menjadi korban pencatutan nama di BPR saat mengajukan pinjaman ke Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Pihak bank menolak karena nama Marselinus teridentifikasi masuk dalam daftar poin lima di BI Checking yang artinya ada tunggakan kredit belum diselesaikan dalam kurun waktu lebih dari 180 hari.
"Saat itu saya benar-benar tahu setelah pengajuan pinjaman Rp100 juta saya ditolak karena ada tunggakan kredit," ujarnya.
Jaksa penuntut umum dalam dakwaannya terhadap kedua terdakwa menyebut perkara kredit fiktif pada BPR NTB Cabang Batukliang ini muncul dari adanya tunggakan pembayaran.
Tunggakan tersebut terungkap akibat adanya pencatutan nama 199 anggota Ditsamapta Polda NTB dengan kerugian Rp2,38 miliar.
Jaksa pun menguraikan dalang dari perkara kredit fiktif ini adalah mantan Perwira Administrasi Urusan Keuangan Direktorat Sabhara Polda NTB I Made Sudarmaya.
Sudarmaya yang kini diketahui bertugas di Polres Bima Kota itu disebut dalam dakwaan sebagai pihak yang menikmati dari pinjaman Rp2,38 miliar. Nilai pinjaman tersebut tercatat dalam pengajuan kredit periode 2014 hingga 2017.
Dalam perkara ini pun, Suhartono, salah seorang penasihat hukum dari terdakwa Jauhari, kembali meminta majelis hakim menghadirkan Sudarmaya dalam persidangan dan melakukan konfrontasi dengan keterangan para saksi.
"Kami meminta kepada majelis hakim untuk menghadirkan Sudarmaya. Kami ingin fakta dalam persidangan ini terungkap jelas," kata Suhartono.
Namun, hakim menanggapi hal tersebut dengan menyatakan bahwa sidang tetap berlanjut sesuai dengan dakwaan jaksa. Hakim lebih menyoroti terkait kerugian negara yang muncul dalam perkara tersebut.
Ketua Majelis Hakim Somanasa menjanjikan pihak yang akan bertanggung jawab dalam munculnya kerugian negara akan masuk dalam pertimbangan putusan.
"Nanti kami pertimbangkan siapa yang pantas menanggung uang pengganti kerugian negara," ucapnya.
Dalam perkara ini, terdakwa Jauhari berperan sebagai Account Officer pada BPR NTB Cabang Batukliang. Jauhari menjadi terdakwa bersama Agus Fanahesa yang menjabat sebagai Kepala Pemasaran BPR Cabang Batukliang.
Dalam dakwaan, mereka didakwa dengan pasal 2 ayat 1 dan atau pasal 3 juncto pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sidang korupsi BPR NTB hadirkan saksi polisi korban pencatutan nama
Tiga anggota kepolisian yang hadir memberikan kesaksian untuk sidang lanjutan dengan terdakwa Agus Fanahesa dan Jauhari di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Kamis, adalah Marselinus, Putu Dirgantara, dan Radit.
Jaksa penuntut umum di hadapan majelis hakim yang dipimpin I Ketut Somanasa menjelaskan tiga anggota kepolisian yang memberikan keterangan sebagai saksi ini berdinas di Direktorat Samapta Kepolisian Daerah NTB.
"Iya, saya masih berdinas di Samapta," kata Marselinus memberikan keterangan secara bersama-sama dengan dua rekannya, Putu Dirgantara, dan Radit.
Ketika hakim menanyakan dampak dari adanya perkara ini, Marselinus bersama dua rekannya mengaku rugi. "Rugi saya," ujarnya singkat.
Marselinus pun menceritakan dirinya mengetahui persoalan ini berawal dari adanya pengumuman saat apel pasukan di Direktorat Samapta Polda NTB.
"Waktu itu, kami dikumpulkan, diumumkan ada masalah kredit macet di BPR," ujarnya.
Marselinus dengan dua rekannya, Putu Dirgantara dan Radit, mengaku bingung dengan pengumuman tersebut. "Kami tidak pernah ajukan kredit di BPR, kenapa kami ikut dikumpulkan," katanya.
Marselinus baru mengetahui dirinya menjadi korban pencatutan nama di BPR saat mengajukan pinjaman ke Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Pihak bank menolak karena nama Marselinus teridentifikasi masuk dalam daftar poin lima di BI Checking yang artinya ada tunggakan kredit belum diselesaikan dalam kurun waktu lebih dari 180 hari.
"Saat itu saya benar-benar tahu setelah pengajuan pinjaman Rp100 juta saya ditolak karena ada tunggakan kredit," ujarnya.
Jaksa penuntut umum dalam dakwaannya terhadap kedua terdakwa menyebut perkara kredit fiktif pada BPR NTB Cabang Batukliang ini muncul dari adanya tunggakan pembayaran.
Tunggakan tersebut terungkap akibat adanya pencatutan nama 199 anggota Ditsamapta Polda NTB dengan kerugian Rp2,38 miliar.
Jaksa pun menguraikan dalang dari perkara kredit fiktif ini adalah mantan Perwira Administrasi Urusan Keuangan Direktorat Sabhara Polda NTB I Made Sudarmaya.
Sudarmaya yang kini diketahui bertugas di Polres Bima Kota itu disebut dalam dakwaan sebagai pihak yang menikmati dari pinjaman Rp2,38 miliar. Nilai pinjaman tersebut tercatat dalam pengajuan kredit periode 2014 hingga 2017.
Dalam perkara ini pun, Suhartono, salah seorang penasihat hukum dari terdakwa Jauhari, kembali meminta majelis hakim menghadirkan Sudarmaya dalam persidangan dan melakukan konfrontasi dengan keterangan para saksi.
"Kami meminta kepada majelis hakim untuk menghadirkan Sudarmaya. Kami ingin fakta dalam persidangan ini terungkap jelas," kata Suhartono.
Namun, hakim menanggapi hal tersebut dengan menyatakan bahwa sidang tetap berlanjut sesuai dengan dakwaan jaksa. Hakim lebih menyoroti terkait kerugian negara yang muncul dalam perkara tersebut.
Ketua Majelis Hakim Somanasa menjanjikan pihak yang akan bertanggung jawab dalam munculnya kerugian negara akan masuk dalam pertimbangan putusan.
"Nanti kami pertimbangkan siapa yang pantas menanggung uang pengganti kerugian negara," ucapnya.
Dalam perkara ini, terdakwa Jauhari berperan sebagai Account Officer pada BPR NTB Cabang Batukliang. Jauhari menjadi terdakwa bersama Agus Fanahesa yang menjabat sebagai Kepala Pemasaran BPR Cabang Batukliang.
Dalam dakwaan, mereka didakwa dengan pasal 2 ayat 1 dan atau pasal 3 juncto pasal 18 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sidang korupsi BPR NTB hadirkan saksi polisi korban pencatutan nama