Jakarta (ANTARA) - Pakar Sosiolinguistik Prof Fathur Rokhman mengatakan Bahasa Inggris harus ditempatkan pada pembelajaran muatan lokal, bersanding dengan bahasa daerah karena memang bukan pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan dasar.
"Sekolah mengembangkan pembelajaran Bahasa Inggris secara bervariasi ada yang dimulai dari kelas tinggi (4,5,6), bahkan ada sekolah (SD) yang memulai dari kelas rendah (1,2,3)," kata Fathur Rokhman kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.
Menurut Pembantu Rektor Bidang Pengembangan dan Kerja sama Universitas Negeri Semarang (Unnes) tersebut, dalam konteks global yaitu seiring meningkatnya perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dan komunikasi internasional, maka perkembangan pembelajaran Bahasa Inggris mulai dari sekolah dasar sangat diperlukan.
Namun, kata dia, tidak menyisihkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan Bahasa Daerah sebagai kekayaan lokal. Pembelajaran Bahasa Inggris dapat ditempatkan pada muatan lokal dan kegiatan ekstrakuler dimulai dari kelas tinggi.
Ia mengatakan paradigma pembelajaran Bahasa Inggris selama ini di sekolah dasar keliru. Pembelajaran Bahasa Inggris selama ini berorientasi pada gramatikal dan hafal kosakata bukan pada kompetensi komunikatif tingkat dasar.
"Metode pembelajaran yang digunakan bisa metode kontekstual dengan variasi belajar menyenangkan yang bisa dikembangkan secara kreatif oleh guru. Pembelajaran Bahasa Inggris juga tetap memberikan motivasi belajar secara menyenangkan dan mengembangkan ruang kreatif siswa," ujar Guru Besar Universitas Negeri Semarang (Unnes) tersebut.
Sebelumnya, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan, Musliar Kasim mengatakan pelajaran Bahasa Inggris tidak wajib untuk siswa Sekolah Dasar (SD).
"Jadi bukan dihapus, karena di SD memang tidak ada pelajaran Bahasa Inggris," kata Musliar di Jakarta, Rabu.
Ia menambahkan, pelajaran Bahasa Inggris baru akan dimulai pada sekolah menengah pertama (SMP).
Namun, kata dia, pemerintah tidak menghalangi sekolah-sekolah dasar yang ingin menambahkan Bahasa Inggris sebagai materi belajar.
(*)
"Sekolah mengembangkan pembelajaran Bahasa Inggris secara bervariasi ada yang dimulai dari kelas tinggi (4,5,6), bahkan ada sekolah (SD) yang memulai dari kelas rendah (1,2,3)," kata Fathur Rokhman kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.
Menurut Pembantu Rektor Bidang Pengembangan dan Kerja sama Universitas Negeri Semarang (Unnes) tersebut, dalam konteks global yaitu seiring meningkatnya perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dan komunikasi internasional, maka perkembangan pembelajaran Bahasa Inggris mulai dari sekolah dasar sangat diperlukan.
Namun, kata dia, tidak menyisihkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan Bahasa Daerah sebagai kekayaan lokal. Pembelajaran Bahasa Inggris dapat ditempatkan pada muatan lokal dan kegiatan ekstrakuler dimulai dari kelas tinggi.
Ia mengatakan paradigma pembelajaran Bahasa Inggris selama ini di sekolah dasar keliru. Pembelajaran Bahasa Inggris selama ini berorientasi pada gramatikal dan hafal kosakata bukan pada kompetensi komunikatif tingkat dasar.
"Metode pembelajaran yang digunakan bisa metode kontekstual dengan variasi belajar menyenangkan yang bisa dikembangkan secara kreatif oleh guru. Pembelajaran Bahasa Inggris juga tetap memberikan motivasi belajar secara menyenangkan dan mengembangkan ruang kreatif siswa," ujar Guru Besar Universitas Negeri Semarang (Unnes) tersebut.
Sebelumnya, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan, Musliar Kasim mengatakan pelajaran Bahasa Inggris tidak wajib untuk siswa Sekolah Dasar (SD).
"Jadi bukan dihapus, karena di SD memang tidak ada pelajaran Bahasa Inggris," kata Musliar di Jakarta, Rabu.
Ia menambahkan, pelajaran Bahasa Inggris baru akan dimulai pada sekolah menengah pertama (SMP).
Namun, kata dia, pemerintah tidak menghalangi sekolah-sekolah dasar yang ingin menambahkan Bahasa Inggris sebagai materi belajar.
(*)