Mataram, 9/11 (ANTARA) - World Wildlife Fund Indonesia wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat meminta masyarakat mengkritisi penyimpangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah sehingga regulasi tersebut efektif dalam menjaga kelestarian lingkungan.
"Masyarakat juga bisa mengajukan gugatan jika ada penyimpangan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) karena dalam regulasi itu sudah diatur mengenai sanksi pidana bagi pihak yang melakukan penyimpangan," kata Koordinator World Wildlife Fund (WWF) Indonesia wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Ridha Hakim, di Mataram, Jumat.
Menurut dia, penyimpangan Perda RTRW hampir terjadi di semua daerah di Indonesia, termasuk di NTB.
Salah satu kabupaten/kota di NTB, yang mencolok penyimpangan Perda RTRW adalah Kota Mataram. Ada sekitar 26 persen penyimpangan yang terjadi sebelum regulasi itu direvisi dan disahkan oleh anggota DPRD Kota Mataram pada 2011.
Berbagai penyimpangan yang terjadi seperti adanya pembangunan berbagai infrastruktur di sempadan sungai dan pinggir pantai, serta daerah resapan air.
"Sekarang sudah ada Perda tentang RTRW yang baru disahkan DPRD Kota Mataram. Tapi pada intinya tetap tidak boleh ada pembangunan fisik dalam bentuk apa pun di sempadan sungai dan sempadan pantai. Ini berlaku secara nasional. Sekarang tinggal implementasinya seperti apa. Masyarakat harus ikut mengawasi," ujarnya.
Ridha juga menegaskan, Pemerintah Kota Mataram hingga saat ini belum menjabarkan Perda RTRW yang sudah disahkan pada 2011 menjadi Peraturan Wali Kota (Perwal).
Perwal tersebut harus segera terbentuk karena menyangkut berbagai prosedur, termasuk perizinan pembangunan fisik yang diperlukan oleh masyarakat terutama kalangan investor.
"Sudah satu tahun Perda RTRW disahkan, tapi hingga saat ini belum ada Perwal. Padahal segala bentuk perizinan yang bersentuhan dengan lingkungan ada di regulasi itu," ujarnya.
Ridha juga mengkritisi upaya Pemkot Mataram yang menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) di beberapa titik seluas 30 persen dari total luas wilayah karena dinilai belum bisa memecahkan masalah resapan air.
RTH yang sudah tersedia tidak bisa menggantikan daerah resapan air yang sudah berubah fungsi karena adanya penyimpangan Perda RTRW dalam bentuk pembangunan fisik.
Daerah resapan air yang sudah berubah fungsi seperti Kecamatan Mataram dan Ampenan. Kedua wilayah itu sebelumnya adalah daerah persawahan, namun berubah menjadi pemukiman, pertokoan dan perkantoran.
"Dua kecamatan itu sering tergenang air ketika musim hujan. Itu sebagai dampak hilangnya daerah resapan air. Ada satu lagi kecamatan yang terancam genangan air, yakni Kecamatan Cakranegara, tapi belum separah Ampenan dan Mataram," ujarnya.
(*)
"Masyarakat juga bisa mengajukan gugatan jika ada penyimpangan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) karena dalam regulasi itu sudah diatur mengenai sanksi pidana bagi pihak yang melakukan penyimpangan," kata Koordinator World Wildlife Fund (WWF) Indonesia wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Ridha Hakim, di Mataram, Jumat.
Menurut dia, penyimpangan Perda RTRW hampir terjadi di semua daerah di Indonesia, termasuk di NTB.
Salah satu kabupaten/kota di NTB, yang mencolok penyimpangan Perda RTRW adalah Kota Mataram. Ada sekitar 26 persen penyimpangan yang terjadi sebelum regulasi itu direvisi dan disahkan oleh anggota DPRD Kota Mataram pada 2011.
Berbagai penyimpangan yang terjadi seperti adanya pembangunan berbagai infrastruktur di sempadan sungai dan pinggir pantai, serta daerah resapan air.
"Sekarang sudah ada Perda tentang RTRW yang baru disahkan DPRD Kota Mataram. Tapi pada intinya tetap tidak boleh ada pembangunan fisik dalam bentuk apa pun di sempadan sungai dan sempadan pantai. Ini berlaku secara nasional. Sekarang tinggal implementasinya seperti apa. Masyarakat harus ikut mengawasi," ujarnya.
Ridha juga menegaskan, Pemerintah Kota Mataram hingga saat ini belum menjabarkan Perda RTRW yang sudah disahkan pada 2011 menjadi Peraturan Wali Kota (Perwal).
Perwal tersebut harus segera terbentuk karena menyangkut berbagai prosedur, termasuk perizinan pembangunan fisik yang diperlukan oleh masyarakat terutama kalangan investor.
"Sudah satu tahun Perda RTRW disahkan, tapi hingga saat ini belum ada Perwal. Padahal segala bentuk perizinan yang bersentuhan dengan lingkungan ada di regulasi itu," ujarnya.
Ridha juga mengkritisi upaya Pemkot Mataram yang menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) di beberapa titik seluas 30 persen dari total luas wilayah karena dinilai belum bisa memecahkan masalah resapan air.
RTH yang sudah tersedia tidak bisa menggantikan daerah resapan air yang sudah berubah fungsi karena adanya penyimpangan Perda RTRW dalam bentuk pembangunan fisik.
Daerah resapan air yang sudah berubah fungsi seperti Kecamatan Mataram dan Ampenan. Kedua wilayah itu sebelumnya adalah daerah persawahan, namun berubah menjadi pemukiman, pertokoan dan perkantoran.
"Dua kecamatan itu sering tergenang air ketika musim hujan. Itu sebagai dampak hilangnya daerah resapan air. Ada satu lagi kecamatan yang terancam genangan air, yakni Kecamatan Cakranegara, tapi belum separah Ampenan dan Mataram," ujarnya.
(*)