Mataram (ANTARA) - Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) menerima hasil audit kerugian negara kasus dugaan korupsi pengadaan Alat Bantu Belajar Mengajar (ABBM) di Poltekkes Mataram.
Kepala Bidang Humas (Kabidhumas) Polda NTB Komisaris Besar (Kombes) Polisi Artanto di Mataram, Senin, mengatakan hasil audit tersebut diterima secara resmi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB.
"Iya, hasil audit sudah diterima penyidik krimsus (kriminal khusus)," kata Artanto.
Terkait dengan nominal kerugian, dia mengaku belum menerima informasi lebih lanjut dari penyidik. Namun, adanya hasil audit tersebut dipastikan Artanto sudah ditindaklanjuti penyidik.
"Jadi, untuk selanjutnya akan dilaksanakan pemeriksaan ahli atas hasil audit tersebut," ujarnya.
Pengadaan ABBM ini bersumber dari APBN Tahun 2017 yang disalurkan melalui Kementerian Kesehatan RI dengan anggaran Rp19 miliar.
Pembelian barang ABBM dilakukan melalui E-Katalog. Namun ada yang secara langsung melalui sistem tender yang dimenangkan tujuh perusahaan penyedia dengan melibatkan 11 distributor.
Salah satu item yang dibeli adalah boneka manekin. Alat tersebut digunakan untuk menunjang praktik di jurusan perawat, bidan, gizi, dan analis kesehatan.
Namun, barang yang bersumber dari pengadaan tersebut diduga sebagian tidak bisa dimanfaatkan sehingga berstatus mangkrak. Alasan pihak kampus tidak bisa menggunakan karena tidak sesuai dengan kebutuhan kurikulum belajar.
Dari kasus ini sebelumnya muncul temuan dari Inspektorat Jenderal Kemenkes RI senilai Rp4 miliar. Angka tersebut masih bersifat umum karena tidak hanya muncul dari Poltekkes Mataram saja, melainkan ada dari Poltekkes Banda Aceh dan Tasikmalaya, Jawa Barat.
Penyidik pun pernah meminta salinan dari temuan Itjen Kemenkes RI untuk kebutuhan audit kerugian negara. Namun, itjen menolak permintaan tersebut sehingga penyidik menelusuri kerugian dengan menggandeng BPKP.
Dalam penanganan yang cukup lama berjalan di tahap penyidikan ini, pihak penyidik belum juga mengungkap peran tersangka. Salah satu kendala perihal alat bukti penguat dari ahli terkait kerugian negara.
Kesan lamban dalam penanganan dari kasus ini pun sempat mendapat sorotan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebagai bentuk atensi, komisi antirasuah secara rutin melakukan koordinasi dan supervisi (korsup) terkait penanganan kasus tersebut.
Terakhir pada awal September 2022, pihak KPK menggelar korsup dengan mengajak penyidik dan lembaga auditor BPKP untuk mencari solusi dari permasalahan yang menghambat perkembangan kasus tersebut.
Kepala Bidang Humas (Kabidhumas) Polda NTB Komisaris Besar (Kombes) Polisi Artanto di Mataram, Senin, mengatakan hasil audit tersebut diterima secara resmi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan NTB.
"Iya, hasil audit sudah diterima penyidik krimsus (kriminal khusus)," kata Artanto.
Terkait dengan nominal kerugian, dia mengaku belum menerima informasi lebih lanjut dari penyidik. Namun, adanya hasil audit tersebut dipastikan Artanto sudah ditindaklanjuti penyidik.
"Jadi, untuk selanjutnya akan dilaksanakan pemeriksaan ahli atas hasil audit tersebut," ujarnya.
Pengadaan ABBM ini bersumber dari APBN Tahun 2017 yang disalurkan melalui Kementerian Kesehatan RI dengan anggaran Rp19 miliar.
Pembelian barang ABBM dilakukan melalui E-Katalog. Namun ada yang secara langsung melalui sistem tender yang dimenangkan tujuh perusahaan penyedia dengan melibatkan 11 distributor.
Salah satu item yang dibeli adalah boneka manekin. Alat tersebut digunakan untuk menunjang praktik di jurusan perawat, bidan, gizi, dan analis kesehatan.
Namun, barang yang bersumber dari pengadaan tersebut diduga sebagian tidak bisa dimanfaatkan sehingga berstatus mangkrak. Alasan pihak kampus tidak bisa menggunakan karena tidak sesuai dengan kebutuhan kurikulum belajar.
Dari kasus ini sebelumnya muncul temuan dari Inspektorat Jenderal Kemenkes RI senilai Rp4 miliar. Angka tersebut masih bersifat umum karena tidak hanya muncul dari Poltekkes Mataram saja, melainkan ada dari Poltekkes Banda Aceh dan Tasikmalaya, Jawa Barat.
Penyidik pun pernah meminta salinan dari temuan Itjen Kemenkes RI untuk kebutuhan audit kerugian negara. Namun, itjen menolak permintaan tersebut sehingga penyidik menelusuri kerugian dengan menggandeng BPKP.
Dalam penanganan yang cukup lama berjalan di tahap penyidikan ini, pihak penyidik belum juga mengungkap peran tersangka. Salah satu kendala perihal alat bukti penguat dari ahli terkait kerugian negara.
Kesan lamban dalam penanganan dari kasus ini pun sempat mendapat sorotan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebagai bentuk atensi, komisi antirasuah secara rutin melakukan koordinasi dan supervisi (korsup) terkait penanganan kasus tersebut.
Terakhir pada awal September 2022, pihak KPK menggelar korsup dengan mengajak penyidik dan lembaga auditor BPKP untuk mencari solusi dari permasalahan yang menghambat perkembangan kasus tersebut.