Mataram (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat memberi atensi terhadap penanganan kasus oknum polisi berinisial IMS yang diduga terlibat korupsi kredit fiktif Rp2,38 miliar pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusa Tenggara Barat Cabang Batukliang.
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Lombok Tengah Bratha Hariputra yang ditemui di Kantor Kejati NTB, Mataram, Selasa, membenarkan adanya atensi terhadap penanganan kasus tersebut.
"Iya, penanganan perkara ini masuk atensi Kejati NTB. Jadi, setiap perkembangan, dilaporkan ke Kejati NTB, Kejagung juga," kata Bratha.
Dia pun menjelaskan kedatangan dirinya bersama tim pidsus ke Kejati NTB untuk mengoordinasikan penanganan kasus-kasus korupsi, khususnya kasus kredit fiktif BPR yang melibatkan oknum polisi.
"Tadi kami mencocokkan data saja terkait perkara yang ditangani Kejari Lombok Tengah, termasuk perkara kredit fiktif ini. Perkembangan penanganan sudah kami sampaikan juga," ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa koordinasi ini merupakan tindak lanjut hasil gelar perkara di Kejari Lombok Tengah yang telah menetapkan penanganan kasus IMS masuk ke tahap penyidikan.
Hal itu pun telah dituangkan pihak kejaksaan dalam tuntutan milik dua terdakwa dari karyawan BPR NTB Cabang Batukliang, yakni Agus Fanahesa dan Johari yang turut terlibat di kasus ini.
Dalam tuntutan, jaksa menyatakan keterlibatan kedua terdakwa di perkara korupsi kredit fiktif ini terungkap akibat adanya tunggakan pembayaran.
Tunggakan tersebut muncul akibat adanya pencatutan nama 199 anggota Ditsamapta Polda NTB dengan nilai pinjaman Rp2,38 miliar. Nominal tersebut tercatat dalam pengajuan kredit periode 2014-2017.
Jaksa pun menguraikan tunggakan itu muncul akibat ulah IMS yang memanfaatkan kerja sama Polda NTB dengan BPR NTB Cabang Batukliang. Saat itu, IMS menduduki jabatan sebagai Perwira Administrasi Urusan Keuangan Direktorat Sabhara Polda NTB.
IMS yang kini diketahui bertugas di Polres Bima Kota disebut dalam dakwaan sebagai pihak yang menikmati dari pinjaman Rp2,38 miliar.
Karena itu, dalam uraian tuntutan Agus Fanahesa dan Johari, jaksa turut meminta majelis hakim memutuskan agar seluruh barang bukti dikembalikan ke pihak Kejari Lombok Tengah untuk digunakan dalam proses penyidikan IMS.
Jaksa penuntut umum dalam tuntutan turut membebankan IMS sebagai saksi di perkara Agus Fanahesa dan Johari untuk membayar uang pengganti kerugian negara Rp2,38 miliar.
Sedangkan, untuk Johari yang berperan sebagai "Account Officer" pada BPR NTB Cabang Batukliang dan Agus Fanahesa yang menjabat sebagai Kepala Pemasaran BPR Cabang Batukliang, jaksa telah menetapkan tuntutan agar hakim menjatuhkan pidana hukuman 2,5 tahun penjara dengan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan kepada kedua terdakwa.
Jaksa turut membebankan kedua terdakwa untuk membayar uang pengganti kerugian negara dengan masing-masing besaran Rp2 juta untuk Agus Fanahesa dan Rp1 juta untuk Johari dengan subsider masing-masing 1 bulan kurungan.
Jaksa menyatakan perbuatan kedua terdakwa yang berstatus sebagai karyawan BPR tersebut terbukti melanggar dakwaan subsider, Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Lombok Tengah Bratha Hariputra yang ditemui di Kantor Kejati NTB, Mataram, Selasa, membenarkan adanya atensi terhadap penanganan kasus tersebut.
"Iya, penanganan perkara ini masuk atensi Kejati NTB. Jadi, setiap perkembangan, dilaporkan ke Kejati NTB, Kejagung juga," kata Bratha.
Dia pun menjelaskan kedatangan dirinya bersama tim pidsus ke Kejati NTB untuk mengoordinasikan penanganan kasus-kasus korupsi, khususnya kasus kredit fiktif BPR yang melibatkan oknum polisi.
"Tadi kami mencocokkan data saja terkait perkara yang ditangani Kejari Lombok Tengah, termasuk perkara kredit fiktif ini. Perkembangan penanganan sudah kami sampaikan juga," ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa koordinasi ini merupakan tindak lanjut hasil gelar perkara di Kejari Lombok Tengah yang telah menetapkan penanganan kasus IMS masuk ke tahap penyidikan.
Hal itu pun telah dituangkan pihak kejaksaan dalam tuntutan milik dua terdakwa dari karyawan BPR NTB Cabang Batukliang, yakni Agus Fanahesa dan Johari yang turut terlibat di kasus ini.
Dalam tuntutan, jaksa menyatakan keterlibatan kedua terdakwa di perkara korupsi kredit fiktif ini terungkap akibat adanya tunggakan pembayaran.
Tunggakan tersebut muncul akibat adanya pencatutan nama 199 anggota Ditsamapta Polda NTB dengan nilai pinjaman Rp2,38 miliar. Nominal tersebut tercatat dalam pengajuan kredit periode 2014-2017.
Jaksa pun menguraikan tunggakan itu muncul akibat ulah IMS yang memanfaatkan kerja sama Polda NTB dengan BPR NTB Cabang Batukliang. Saat itu, IMS menduduki jabatan sebagai Perwira Administrasi Urusan Keuangan Direktorat Sabhara Polda NTB.
IMS yang kini diketahui bertugas di Polres Bima Kota disebut dalam dakwaan sebagai pihak yang menikmati dari pinjaman Rp2,38 miliar.
Karena itu, dalam uraian tuntutan Agus Fanahesa dan Johari, jaksa turut meminta majelis hakim memutuskan agar seluruh barang bukti dikembalikan ke pihak Kejari Lombok Tengah untuk digunakan dalam proses penyidikan IMS.
Jaksa penuntut umum dalam tuntutan turut membebankan IMS sebagai saksi di perkara Agus Fanahesa dan Johari untuk membayar uang pengganti kerugian negara Rp2,38 miliar.
Sedangkan, untuk Johari yang berperan sebagai "Account Officer" pada BPR NTB Cabang Batukliang dan Agus Fanahesa yang menjabat sebagai Kepala Pemasaran BPR Cabang Batukliang, jaksa telah menetapkan tuntutan agar hakim menjatuhkan pidana hukuman 2,5 tahun penjara dengan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan kepada kedua terdakwa.
Jaksa turut membebankan kedua terdakwa untuk membayar uang pengganti kerugian negara dengan masing-masing besaran Rp2 juta untuk Agus Fanahesa dan Rp1 juta untuk Johari dengan subsider masing-masing 1 bulan kurungan.
Jaksa menyatakan perbuatan kedua terdakwa yang berstatus sebagai karyawan BPR tersebut terbukti melanggar dakwaan subsider, Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.