Lombok Barat, NTB (Antara Mataram) - Pelaku usaha pariwisata di kawasan Senggigi, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) mengeluhkan bau menyengat dari sampah-sampah yang berserakan di jalan dan pantai.
"Semua pelaku usaha di Senggigi sudah membayar retribusi sampah, namun pengangkutannya mungkin yang tidak lancar sehingga bau sampah masih tercium, dan ini sangat mengganggu kenyamanan wisatawan," kata Manager Paragon Agus Wira, di Senggigi, Lombok Barat, Senin.
Paragon merupakan salah satu usaha di bidang pariwisata yang banyak dikunjungi wisatawan manacegara maupun nusantara.
Agus mengatakan, permasalahan sampah di kawasan pariwisata Senggigi itu patut mendapat perhatian pemerintah daerah setempat, karena Senggigi merupakan salah satu kawasan wisata andalan di wilayah NTB.
Petugas kebersihan perlu didorong agar lebih giat lagi mengangkut atau menyingkirkan tumpukan sampah di depan bangunan di wilayah Senggigi.
"Kalau ada keterbatasan tenaga petugas kebersihan, maka dapat disiasati dengan memperbanyak kotak sampah agar sampah tidak berserakan hingga menimbulkan bau menyengat," ujarnya.
Agus dan pelaku usaha parwiisata lainnya di kawasan Senggigi mengkhawatirkan dampak bau sampah itu dapat menurunkan minat wisatawan yang berkunjung ke salah satu objek wisata andalan di Pulau Lombok itu.
Terkait permasalahan sampah di wilayah NTB, Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi NTB Dwi Sugiyanto mengatakan, pihaknya akan membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Balai Pengelolaan Sampah Regional, guna mempercepat penanganan sampah di daerah perkotaan dan kawasan sekitarnya.
Usulan pembentukan UPTD Balai Pengelolaan Sampah Regional itu mengacu kepada Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Undang-Undang tersebut mengatur hak dan kewajiban pemerintah dan masyarakat, garis besar pengelolaan sampah, hubungan pemerintah dengan masyarakat dan badan.
Berdaarkan Pasal 3 UU Nomor 18 Tahun 2008, pengelolaan sampah diselenggarakan berdasarkan asas tanggung jawab, asas berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi.
Kewenangan pemerintahan kabupaten/kota dalam pengelolaan sampah diatur dalam pasal 9 yakni menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi, dan menyelenggarakan pengelolaan sampah skala kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pemerintah juga berkewenangan melakukan pembinaan dan pengawasan kinerja pengelolaan sampah yang dilaksanakan oleh pihak lain, dan menetapkan lokasi tempat penampungan sementara, tempat pengolahan sampah terpadu, dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah.
Selain itu, melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap enam bulan selama 20 tahun terhadap tempat pemrosesan akhir sampah dengan sistem pembuangan terbuka yang telah ditutup dan menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat pengelolaan sampah sesuai dengan kewenangannya.
"Agar pengelolaan sampah di wilayah NTB, terutama di daerah perkotaan lebih efektif dan efisien, maka Pemerintah Provinsi NTB berkewenangan membentuk lembaga teknis pengelolaan sampah regional," ujarnya.
Regional yang dimaksud yakni mencakup lebih dari satu daerah otonom, sehingga ditangani pemerintah provinsi.
Karena itu, UPTD Balai Pengelolaan Sampah Regional yang akan dibentuk Pemprov NTB itu akan menangani permasalahan sampah di Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat, dan Kota Bima dan Kabupaten Bima.
"Karena lintas daerah otonom makanya provinsi yang tangani melalui UPTD Balai Pengelolaan Sampah Regional itu," ujarnya.
Selain itu, kata Dwi, keberadaan UPTD Balai Pengelolaan Sampah Regional itu akan mempermudah penyerapan dana pusat, sebagaimana aliran dana pusat sebesar Rp26 miliar untuk pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Gapuk, di Desa Suka Makmur Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat.
TPA Gapuk mulai dibangun sejak 1994, dengan luas areal yang digunakan mencapai 8,6 ha. Tingkat pelayanan sampah untuk Kota Mataram rata-rata baru mencapai 42 persen dari timbunan sampah 1.070 meter kubik/hari. Selain dari Kota Mataram sampah juga berasal dari Kabupaten Lombok Barat.
Berdasarkan ketentuan pasal 24 UU Nomor 18 Tahun 2008, pemerintah dan pemerintah daerah wajib membiayai penyelenggaraan pengelolaan sampah, yang bersumber dari APBN dan APBD.
"Semua pelaku usaha di Senggigi sudah membayar retribusi sampah, namun pengangkutannya mungkin yang tidak lancar sehingga bau sampah masih tercium, dan ini sangat mengganggu kenyamanan wisatawan," kata Manager Paragon Agus Wira, di Senggigi, Lombok Barat, Senin.
Paragon merupakan salah satu usaha di bidang pariwisata yang banyak dikunjungi wisatawan manacegara maupun nusantara.
Agus mengatakan, permasalahan sampah di kawasan pariwisata Senggigi itu patut mendapat perhatian pemerintah daerah setempat, karena Senggigi merupakan salah satu kawasan wisata andalan di wilayah NTB.
Petugas kebersihan perlu didorong agar lebih giat lagi mengangkut atau menyingkirkan tumpukan sampah di depan bangunan di wilayah Senggigi.
"Kalau ada keterbatasan tenaga petugas kebersihan, maka dapat disiasati dengan memperbanyak kotak sampah agar sampah tidak berserakan hingga menimbulkan bau menyengat," ujarnya.
Agus dan pelaku usaha parwiisata lainnya di kawasan Senggigi mengkhawatirkan dampak bau sampah itu dapat menurunkan minat wisatawan yang berkunjung ke salah satu objek wisata andalan di Pulau Lombok itu.
Terkait permasalahan sampah di wilayah NTB, Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi NTB Dwi Sugiyanto mengatakan, pihaknya akan membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Balai Pengelolaan Sampah Regional, guna mempercepat penanganan sampah di daerah perkotaan dan kawasan sekitarnya.
Usulan pembentukan UPTD Balai Pengelolaan Sampah Regional itu mengacu kepada Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Undang-Undang tersebut mengatur hak dan kewajiban pemerintah dan masyarakat, garis besar pengelolaan sampah, hubungan pemerintah dengan masyarakat dan badan.
Berdaarkan Pasal 3 UU Nomor 18 Tahun 2008, pengelolaan sampah diselenggarakan berdasarkan asas tanggung jawab, asas berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi.
Kewenangan pemerintahan kabupaten/kota dalam pengelolaan sampah diatur dalam pasal 9 yakni menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi, dan menyelenggarakan pengelolaan sampah skala kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pemerintah juga berkewenangan melakukan pembinaan dan pengawasan kinerja pengelolaan sampah yang dilaksanakan oleh pihak lain, dan menetapkan lokasi tempat penampungan sementara, tempat pengolahan sampah terpadu, dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah.
Selain itu, melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap enam bulan selama 20 tahun terhadap tempat pemrosesan akhir sampah dengan sistem pembuangan terbuka yang telah ditutup dan menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat pengelolaan sampah sesuai dengan kewenangannya.
"Agar pengelolaan sampah di wilayah NTB, terutama di daerah perkotaan lebih efektif dan efisien, maka Pemerintah Provinsi NTB berkewenangan membentuk lembaga teknis pengelolaan sampah regional," ujarnya.
Regional yang dimaksud yakni mencakup lebih dari satu daerah otonom, sehingga ditangani pemerintah provinsi.
Karena itu, UPTD Balai Pengelolaan Sampah Regional yang akan dibentuk Pemprov NTB itu akan menangani permasalahan sampah di Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat, dan Kota Bima dan Kabupaten Bima.
"Karena lintas daerah otonom makanya provinsi yang tangani melalui UPTD Balai Pengelolaan Sampah Regional itu," ujarnya.
Selain itu, kata Dwi, keberadaan UPTD Balai Pengelolaan Sampah Regional itu akan mempermudah penyerapan dana pusat, sebagaimana aliran dana pusat sebesar Rp26 miliar untuk pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Gapuk, di Desa Suka Makmur Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat.
TPA Gapuk mulai dibangun sejak 1994, dengan luas areal yang digunakan mencapai 8,6 ha. Tingkat pelayanan sampah untuk Kota Mataram rata-rata baru mencapai 42 persen dari timbunan sampah 1.070 meter kubik/hari. Selain dari Kota Mataram sampah juga berasal dari Kabupaten Lombok Barat.
Berdasarkan ketentuan pasal 24 UU Nomor 18 Tahun 2008, pemerintah dan pemerintah daerah wajib membiayai penyelenggaraan pengelolaan sampah, yang bersumber dari APBN dan APBD.