Jakarta (ANTARA) - Director & Chief Investment Officer PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Ezra Nazula mengingatkan untuk mewaspadai risiko yang ada pada pasar obligasi Indonesia sepanjang tahun 2023. Dalam webinar bertajuk “2023 Market Outlook : Seeds of Opportunity” secara daring di Jakarta, Selasa, ia menjelaskan ketidakpastian yang ada di pasar global akibat berlanjutnya perang Rusia dan Ukraina bisa memberikan dampak terhadap pasar obligasi Indonesia.
Kemudian, juga perlu mewaspadai kebijakan The Federal Reserve dan bank sentral dunia lainnya yang berpotensi kembali hawkish apabila data ekonomi masih kuat di atas konsensus. Selain itu, tekanan politik yang berpotensi timbul di dalam negeri menjelang Pemilu tahun 2024.
“Kami memperkirakan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun bisa kembali ke kisaran 6,50 persen hingga 6,75 persen,” ujar Ezra. Dia juga memaparkan tiga katalis utama pasar obligasi Indonesia selama tahun 2023, diantaranya, pertama, membaiknya indikator makro ekonomi seperti defisit fiskal di bawah target pemerintah sebesar 3 persen bisa mendukung kenaikan rating Indonesia.
Kedua, menguatnya permintaan domestik, terutama dari investor perbankan, asuransi, dana pensiun, dan investor ritel diperkirakan masih akan kuat untuk menopang pasar. Ketiga, skenario dibukanya kembali ekonomi China diperkirakan akan membantu meningkatkan sentimen positif ke pasar global.
Dia menjelaskan pasar obligasi Indonesia mencatatkan kinerja positif 3,5 persen pada tahun 2022, artinya lebih baik dibandingkan pasar lain di kawasan Asia, seperti Hong Kong (-8,6 persen), Filipina (-6,0 persen), Singapura (-5,1 persen), dan Thailand (-4,0 persen).
Baca juga: Harga emas terdongkrak 1,10 dolar
Baca juga: Indeks Wall Street ditutup jatuh di tengah meningkatnya hasil obligasi
Dia mengatakan kurva imbal hasil pasar obligasi Indonesia menunjukkan pola bearish flattening selama tahun 2022, yang mana obligasi dengan tenor paling pendek (2 tahun) mengalami kenaikan imbal hasil paling signifikan sebesar 181 basis poin (bps). “Sedangkan, obligasi dengan tenor paling panjang (30 tahun) mengalami kenaikan imbal hasil paling kecil 46 bps,” ujar Ezra.
Apabila dilihat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir dari tahun 2012 hingga 2022, pasar obligasi Indonesia mencatatkan kinerja kumulatif sebesar 8,03 persen per tahun. Dia mengatakan kepemilikan asing pada pasar obligasi Indonesia telah menyusut, dari semula 19,05 persen atau Rp 891,3 triliun pada akhir 2021 menjadi 14,36 persen atau Rp 762,2 triliun pada akhir 2022.
“Rendahnya kepemilikan asing di pasar obligasi diharapkan dapat mengurangi volatilitas akibat aksi jual investor asing,” ujar Ezra.
Kemudian, juga perlu mewaspadai kebijakan The Federal Reserve dan bank sentral dunia lainnya yang berpotensi kembali hawkish apabila data ekonomi masih kuat di atas konsensus. Selain itu, tekanan politik yang berpotensi timbul di dalam negeri menjelang Pemilu tahun 2024.
“Kami memperkirakan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun bisa kembali ke kisaran 6,50 persen hingga 6,75 persen,” ujar Ezra. Dia juga memaparkan tiga katalis utama pasar obligasi Indonesia selama tahun 2023, diantaranya, pertama, membaiknya indikator makro ekonomi seperti defisit fiskal di bawah target pemerintah sebesar 3 persen bisa mendukung kenaikan rating Indonesia.
Kedua, menguatnya permintaan domestik, terutama dari investor perbankan, asuransi, dana pensiun, dan investor ritel diperkirakan masih akan kuat untuk menopang pasar. Ketiga, skenario dibukanya kembali ekonomi China diperkirakan akan membantu meningkatkan sentimen positif ke pasar global.
Dia menjelaskan pasar obligasi Indonesia mencatatkan kinerja positif 3,5 persen pada tahun 2022, artinya lebih baik dibandingkan pasar lain di kawasan Asia, seperti Hong Kong (-8,6 persen), Filipina (-6,0 persen), Singapura (-5,1 persen), dan Thailand (-4,0 persen).
Baca juga: Harga emas terdongkrak 1,10 dolar
Baca juga: Indeks Wall Street ditutup jatuh di tengah meningkatnya hasil obligasi
Dia mengatakan kurva imbal hasil pasar obligasi Indonesia menunjukkan pola bearish flattening selama tahun 2022, yang mana obligasi dengan tenor paling pendek (2 tahun) mengalami kenaikan imbal hasil paling signifikan sebesar 181 basis poin (bps). “Sedangkan, obligasi dengan tenor paling panjang (30 tahun) mengalami kenaikan imbal hasil paling kecil 46 bps,” ujar Ezra.
Apabila dilihat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir dari tahun 2012 hingga 2022, pasar obligasi Indonesia mencatatkan kinerja kumulatif sebesar 8,03 persen per tahun. Dia mengatakan kepemilikan asing pada pasar obligasi Indonesia telah menyusut, dari semula 19,05 persen atau Rp 891,3 triliun pada akhir 2021 menjadi 14,36 persen atau Rp 762,2 triliun pada akhir 2022.
“Rendahnya kepemilikan asing di pasar obligasi diharapkan dapat mengurangi volatilitas akibat aksi jual investor asing,” ujar Ezra.