Mataram (ANTARA) - Mantan Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura (PTPH) Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat M. Tayeb didakwa korupsi Rp5,1 miliar dalam program penyaluran bantuan sarana produksi (saprodi) dan cetak sawah baru tahun anggaran 2016.
Perbuatan yang menyatakan M. Tayeb melakukan tindak pidana korupsi tersebut terungkap dalam sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Senin.
"Terdakwa dalam perkara ini tidak menjalankan tugas sebagai pejabat pembuat komitmen sesuai dengan petunjuk pelaksana kegiatan sehingga muncul kerugian Rp5,1 miliar dari total anggaran Rp14,4 miliar," kata Sigit mewakili jaksa penuntut umum membacakan dakwaan M. Tayeb di hadapan majelis hakim yang diketuai Putu Gde Hariadi.
Dalam dakwaan, jaksa mendakwa M. Tayeb dengan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Dengan ini terdakwa M. Tayeb sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan tindak pidana korupsi yang memperkaya diri sendiri atau orang lain," ujarnya.
Jaksa menyatakan M. Tayeb secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dengan dua orang lainnya, yakni Muhammad, mantan Kepala Bidang Rehabilitasi Pengembangan Lahan dan Perlindungan Tanaman Dinas PTPH Kabupaten Bima, dan Nur Mayangsari, Kepala Seksi (Kasi) Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (RPL) Dinas PTPH Kabupaten Bima nonaktif.
Dalam perkara ini, Muhammad dan Nur Mayangsari turut berstatus terdakwa yang menjalani sidang perdana bersama M. Tayeb.
Sehingga dalam dakwaan, jaksa turut mengungkap peran dua terdakwa lain dengan lebih dahulu menjelaskan bahwa anggaran penyaluran Rp14,4 miliar tersebut berasal dari Kementerian Pertanian RI untuk membantu meningkatkan produksi pangan di Kabupaten Bima.
Tercatat ada 241 kelompok tani (poktan) di Kabupaten Bima masuk dalam daftar penerima bantuan dengan rincian Rp8,9 miliar untuk 158 poktan yang mengelola sawah seluas 4.447 hektare dan Rp5,5 miliar untuk 83 poktan dengan luas sawah 2.780 hektare.
"Penyaluran anggaran dilakukan secara langsung ke rekening perbankan masing-masing poktan," ucap dia.
Pencairan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama sebesar Rp10,3 miliar, 70 persen dari total anggaran Rp14,4 miliar, dan 30 persen pada tahap kedua dengan nilai Rp4,1 miliar.
Ketika anggaran tersebut telah masuk ke rekening pribadi poktan, lanjut dia, M. Tayeb sebagai pejabat pembuat komitmen mengeluarkan perintah untuk melakukan penarikan tunai kepada poktan. Uang tersebut diminta untuk dikumpulkan kembali di Dinas PTPH Kabupaten Bima.
"Pengumpulan anggaran yang seharusnya dikelola mandiri oleh masing-masing poktan itu ditarik kembali atas perintah terdakwa M. Tayeb. Penarikan tidak dibuktikan dengan adanya nota penyerahan," kata Sigit.
Penunjukan CV Mitra Agro Santosa sebagai penyedia saprodi juga berada di bawah perintah M. Tayeb. Barang-barang yang dibeli dari perusahaan tersebut antara lain, benih padi, pupuk, dan pestisida.
"Namun, ada beberapa item barang yang tidak bisa disediakan CV Mitra Agro Santosa sehingga ada yang dibeli dari perusahaan penyedia lokal," katanya.
Setelah uang terkumpul dari poktan, atas perintah M. Tayeb, Muhammad bersama Nur Mayangsari melakukan pembayaran ke CV Mitra Agro Santosa yang beralamat di Jombang, Jawa Timur.
Nur Mayangsari sebagai bawahan Muhammad juga mendapatkan perintah membuat dua nota pesanan saprodi untuk CV Mitra Agro Santosa dengan rincian nota pertama sejumlah Rp8,9 miliar dan untuk pesanan kedua Rp1,7 miliar.
Jaksa pun menilai pemesanan saprodi tersebut tidak sesuai dengan luas sawah poktan yang terdaftar dalam petunjuk pelaksanaan. Sehingga terdapat kekurangan yang kini muncul sebagai nilai kerugian negara sebesar Rp5,1 miliar.
Usai dakwaan dibacakan, tiga terdakwa melalui penasihat hukum masing-masing menyatakan untuk mengajukan eksepsi.
Hakim mendengar hal tersebut kemudian menutup sidang dengan menyatakan sidang ditunda hingga Senin (6/2), dengan agenda pembacaan eksepsi dari masing-masing terdakwa.
Perbuatan yang menyatakan M. Tayeb melakukan tindak pidana korupsi tersebut terungkap dalam sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Mataram, Senin.
"Terdakwa dalam perkara ini tidak menjalankan tugas sebagai pejabat pembuat komitmen sesuai dengan petunjuk pelaksana kegiatan sehingga muncul kerugian Rp5,1 miliar dari total anggaran Rp14,4 miliar," kata Sigit mewakili jaksa penuntut umum membacakan dakwaan M. Tayeb di hadapan majelis hakim yang diketuai Putu Gde Hariadi.
Dalam dakwaan, jaksa mendakwa M. Tayeb dengan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Dengan ini terdakwa M. Tayeb sebagai orang yang melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan tindak pidana korupsi yang memperkaya diri sendiri atau orang lain," ujarnya.
Jaksa menyatakan M. Tayeb secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dengan dua orang lainnya, yakni Muhammad, mantan Kepala Bidang Rehabilitasi Pengembangan Lahan dan Perlindungan Tanaman Dinas PTPH Kabupaten Bima, dan Nur Mayangsari, Kepala Seksi (Kasi) Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (RPL) Dinas PTPH Kabupaten Bima nonaktif.
Dalam perkara ini, Muhammad dan Nur Mayangsari turut berstatus terdakwa yang menjalani sidang perdana bersama M. Tayeb.
Sehingga dalam dakwaan, jaksa turut mengungkap peran dua terdakwa lain dengan lebih dahulu menjelaskan bahwa anggaran penyaluran Rp14,4 miliar tersebut berasal dari Kementerian Pertanian RI untuk membantu meningkatkan produksi pangan di Kabupaten Bima.
Tercatat ada 241 kelompok tani (poktan) di Kabupaten Bima masuk dalam daftar penerima bantuan dengan rincian Rp8,9 miliar untuk 158 poktan yang mengelola sawah seluas 4.447 hektare dan Rp5,5 miliar untuk 83 poktan dengan luas sawah 2.780 hektare.
"Penyaluran anggaran dilakukan secara langsung ke rekening perbankan masing-masing poktan," ucap dia.
Pencairan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama sebesar Rp10,3 miliar, 70 persen dari total anggaran Rp14,4 miliar, dan 30 persen pada tahap kedua dengan nilai Rp4,1 miliar.
Ketika anggaran tersebut telah masuk ke rekening pribadi poktan, lanjut dia, M. Tayeb sebagai pejabat pembuat komitmen mengeluarkan perintah untuk melakukan penarikan tunai kepada poktan. Uang tersebut diminta untuk dikumpulkan kembali di Dinas PTPH Kabupaten Bima.
"Pengumpulan anggaran yang seharusnya dikelola mandiri oleh masing-masing poktan itu ditarik kembali atas perintah terdakwa M. Tayeb. Penarikan tidak dibuktikan dengan adanya nota penyerahan," kata Sigit.
Penunjukan CV Mitra Agro Santosa sebagai penyedia saprodi juga berada di bawah perintah M. Tayeb. Barang-barang yang dibeli dari perusahaan tersebut antara lain, benih padi, pupuk, dan pestisida.
"Namun, ada beberapa item barang yang tidak bisa disediakan CV Mitra Agro Santosa sehingga ada yang dibeli dari perusahaan penyedia lokal," katanya.
Setelah uang terkumpul dari poktan, atas perintah M. Tayeb, Muhammad bersama Nur Mayangsari melakukan pembayaran ke CV Mitra Agro Santosa yang beralamat di Jombang, Jawa Timur.
Nur Mayangsari sebagai bawahan Muhammad juga mendapatkan perintah membuat dua nota pesanan saprodi untuk CV Mitra Agro Santosa dengan rincian nota pertama sejumlah Rp8,9 miliar dan untuk pesanan kedua Rp1,7 miliar.
Jaksa pun menilai pemesanan saprodi tersebut tidak sesuai dengan luas sawah poktan yang terdaftar dalam petunjuk pelaksanaan. Sehingga terdapat kekurangan yang kini muncul sebagai nilai kerugian negara sebesar Rp5,1 miliar.
Usai dakwaan dibacakan, tiga terdakwa melalui penasihat hukum masing-masing menyatakan untuk mengajukan eksepsi.
Hakim mendengar hal tersebut kemudian menutup sidang dengan menyatakan sidang ditunda hingga Senin (6/2), dengan agenda pembacaan eksepsi dari masing-masing terdakwa.