Mataram (Antara Mataram) - Pemerintah tengah menginventarisasi berbagai masalah yang berkaitan dengan perbatasan negara, di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB), untuk dirumuskan solusinya yang mengarah kepada pengelolaan wilayah untuk kesejahteraan masyarakat.
"Inventarisasi masalah-masalah di perbatasan negara di wilayah NTB itu diawali dengan pertemuan sosialisasi yang digelar Kamis (31/10)," kata Kepala Biro Administrasi Pemerintahan Setda NTB H Lalu Sajim Sastrawan, di Mataram, Jumat.
Ia mengatakan, pertemuan sosialisasi pengelolaan batas wilayah laut dan udara itu digagas oleh Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia, dan dihadiri pejabat terkait dari pemerintah pusat.
Dari wilayah NTB, selain pejabat terkait dari Pemerintah Provinsi NTB, juga pejabat dari daerah otonom yang wilayahnya berhadapan dengan negara tetangga yakni Australia, seperti Kabupaten Lombok Barat, Dompu, dan Sumbawa.
"Sebagian wilayah NTB berhadapan dengan Australia meskipin dipisahkan oleh laut lepas, sehingga juga menjadi sasaran program pengelolaan kawasan perbatasan," ujarnya.
Sajim mengatakan, sejumlah wilayah di NTB sering dijadikan daerah transit imigran gelap yang hendak mencari suaka politik di Australia.
Masalah lainnya yang berkaitan dengan kawasan perbatasan yakni, "illegal logging" atau penyelundupan kayu dari wilayah NTB ke Australia.
NTB juga memiliki pulau di garis terdepan wilayah NKRI yakni Pulau Sepatang yang dulunya bernama Pulau Sophia Louisa, pulau karang yang terletak di Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat.
Karena itu, diperlukan penataan kawasan perbatasan kemudian dikelola untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
"Memang dulunya kawasan perbatasan dianggap wilayah terluar/belakang NKRI, kini dikategorikan sebagai kawasan terdepan NKRI sehingga butuh perhatian serius, dan diperlukan program pemberdayaan masyarakat," ujarnya.
Sajim menambahkan, selama ini masalah perbatasan selalu menjadi isu nasional, tidak hanya karena menyangkut masalah kedaulatan, namun juga masalah kesejahteraan, karena kondisi perbatasan biasanya sangat tertinggal, sehingga diperlukan kesamaan persepsi bahwa kawasan perbatasan merupakan beranda depan dari rumah besar bernama NKRI.
Perhatian terhadap beranda terdepan NKRI itu, tentunya tidak sekedar mempercantik fasilitas saja, namun sumber daya manusianya juga dibangun agar memiliki "sense of belonging" terhadap negara.
"Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia mempunyai tugas untuk menyatukan semua wilayahnya, termasuk menyelesaikan permasalahan batas negara wilayah laut dan udara," ujarnya.
Misalnya, upaya nyata agar nelayan Indonesia tidak ditangkap negara tetangga karena melanggar batas wilayah.
Demikian pula jika kapal-kapal asing memasuki wilayah NKRI secara illegal, yang juga harus ditindak sebagai upaya mempertahankan kedaulatan.
"Tentu hasil inventarisasi masalah perbatasan itu akan dirangkum oleh Badan Nasional Pengelola Perbatasan, dalam fungsinya sebagai regulator dan koordinator, guna memperjelas `blue print` atau `grand design` pembangunan kawasan perbatasan," ujarnya.
Selain itu, harmonisasi antara kebijakan pusat dengan daerah pun perlu ditingkatkan sehingga pemerintah pusat, pemerintahn provinsi, maupun kabupaten/kota mengetahui secara jelas porsinya masing-masing. (*)
"Inventarisasi masalah-masalah di perbatasan negara di wilayah NTB itu diawali dengan pertemuan sosialisasi yang digelar Kamis (31/10)," kata Kepala Biro Administrasi Pemerintahan Setda NTB H Lalu Sajim Sastrawan, di Mataram, Jumat.
Ia mengatakan, pertemuan sosialisasi pengelolaan batas wilayah laut dan udara itu digagas oleh Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia, dan dihadiri pejabat terkait dari pemerintah pusat.
Dari wilayah NTB, selain pejabat terkait dari Pemerintah Provinsi NTB, juga pejabat dari daerah otonom yang wilayahnya berhadapan dengan negara tetangga yakni Australia, seperti Kabupaten Lombok Barat, Dompu, dan Sumbawa.
"Sebagian wilayah NTB berhadapan dengan Australia meskipin dipisahkan oleh laut lepas, sehingga juga menjadi sasaran program pengelolaan kawasan perbatasan," ujarnya.
Sajim mengatakan, sejumlah wilayah di NTB sering dijadikan daerah transit imigran gelap yang hendak mencari suaka politik di Australia.
Masalah lainnya yang berkaitan dengan kawasan perbatasan yakni, "illegal logging" atau penyelundupan kayu dari wilayah NTB ke Australia.
NTB juga memiliki pulau di garis terdepan wilayah NKRI yakni Pulau Sepatang yang dulunya bernama Pulau Sophia Louisa, pulau karang yang terletak di Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat.
Karena itu, diperlukan penataan kawasan perbatasan kemudian dikelola untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
"Memang dulunya kawasan perbatasan dianggap wilayah terluar/belakang NKRI, kini dikategorikan sebagai kawasan terdepan NKRI sehingga butuh perhatian serius, dan diperlukan program pemberdayaan masyarakat," ujarnya.
Sajim menambahkan, selama ini masalah perbatasan selalu menjadi isu nasional, tidak hanya karena menyangkut masalah kedaulatan, namun juga masalah kesejahteraan, karena kondisi perbatasan biasanya sangat tertinggal, sehingga diperlukan kesamaan persepsi bahwa kawasan perbatasan merupakan beranda depan dari rumah besar bernama NKRI.
Perhatian terhadap beranda terdepan NKRI itu, tentunya tidak sekedar mempercantik fasilitas saja, namun sumber daya manusianya juga dibangun agar memiliki "sense of belonging" terhadap negara.
"Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia mempunyai tugas untuk menyatukan semua wilayahnya, termasuk menyelesaikan permasalahan batas negara wilayah laut dan udara," ujarnya.
Misalnya, upaya nyata agar nelayan Indonesia tidak ditangkap negara tetangga karena melanggar batas wilayah.
Demikian pula jika kapal-kapal asing memasuki wilayah NKRI secara illegal, yang juga harus ditindak sebagai upaya mempertahankan kedaulatan.
"Tentu hasil inventarisasi masalah perbatasan itu akan dirangkum oleh Badan Nasional Pengelola Perbatasan, dalam fungsinya sebagai regulator dan koordinator, guna memperjelas `blue print` atau `grand design` pembangunan kawasan perbatasan," ujarnya.
Selain itu, harmonisasi antara kebijakan pusat dengan daerah pun perlu ditingkatkan sehingga pemerintah pusat, pemerintahn provinsi, maupun kabupaten/kota mengetahui secara jelas porsinya masing-masing. (*)