Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyesalkan terjadinya kekerasan seksual terhadap lima anak di sebuah Sekolah Dasar (SD) Trenggalek, Jawa Timur yang dilakukan oleh guru.
"Kami menyesalkan peristiwa kekerasan seksual tersebut terjadi dan luput dari pengawasan sekolah,” kata Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar dalam keterangan di Jakarta, Jumat (3/2).
KemenPPPA akan memastikan para korban mendapatkan pendampingan dan pemulihan dari psikolog. "Hal ini menjadi perhatian kami agar pemulihan korban dari dampak psikis berkepanjangan dapat segera ditangani secara komprehensif," kata Nahar.
Nahar mengatakan KemenPPPA telah koordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Jawa Timur dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Trenggalek terkait penanganan kondisi korban.
Dalam kasus ini, ada lima pelajar SD berusia 10 - 12 tahun yang menjadi korban pencabulan yang dilakukan guru. Pencabulan terjadi beberapa kali di ruang guru dan perpustakaan sekolah dengan alasan merapikan buku di perpustakaan dengan upah Rp5.000 hingga Rp10.000. "Saat peristiwa terjadi pelaku mengunci ruangan, mengancam korban agar tidak melapor, dan bahkan diancam dengan pisau yang menyebabkan korban sangat ketakutan," kata Nahar.
Baca juga: Menteri PPPA apresiasi aparat hukum beri keadilan korban kekerasan seksual
Baca juga: Menteri PPPA apresiasi penanganan kasus kekerasan seksual
Akibat peristiwa tersebut, lanjut Nahar, para korban mengalami perubahan perilaku seperti ketakutan, konsentrasi belajar yang terganggu, nafsu makan menurun, bahkan ironisnya ada korban yang mulai terpengaruh secara seksual.
Nahar menambahkan pelaku dapat dipidana dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 82 ayat (1), (2), (4) dan (6) dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara.
Selain pidana penjara, pelaku dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Nahar mengatakan korban juga berhak mendapatkan ganti kerugian dan biaya perawatan medis dan/atau psikologi atas tindak pidana yang dialaminya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana.
"Kami menyesalkan peristiwa kekerasan seksual tersebut terjadi dan luput dari pengawasan sekolah,” kata Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar dalam keterangan di Jakarta, Jumat (3/2).
KemenPPPA akan memastikan para korban mendapatkan pendampingan dan pemulihan dari psikolog. "Hal ini menjadi perhatian kami agar pemulihan korban dari dampak psikis berkepanjangan dapat segera ditangani secara komprehensif," kata Nahar.
Nahar mengatakan KemenPPPA telah koordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Jawa Timur dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Trenggalek terkait penanganan kondisi korban.
Dalam kasus ini, ada lima pelajar SD berusia 10 - 12 tahun yang menjadi korban pencabulan yang dilakukan guru. Pencabulan terjadi beberapa kali di ruang guru dan perpustakaan sekolah dengan alasan merapikan buku di perpustakaan dengan upah Rp5.000 hingga Rp10.000. "Saat peristiwa terjadi pelaku mengunci ruangan, mengancam korban agar tidak melapor, dan bahkan diancam dengan pisau yang menyebabkan korban sangat ketakutan," kata Nahar.
Baca juga: Menteri PPPA apresiasi aparat hukum beri keadilan korban kekerasan seksual
Baca juga: Menteri PPPA apresiasi penanganan kasus kekerasan seksual
Akibat peristiwa tersebut, lanjut Nahar, para korban mengalami perubahan perilaku seperti ketakutan, konsentrasi belajar yang terganggu, nafsu makan menurun, bahkan ironisnya ada korban yang mulai terpengaruh secara seksual.
Nahar menambahkan pelaku dapat dipidana dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 82 ayat (1), (2), (4) dan (6) dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara.
Selain pidana penjara, pelaku dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Nahar mengatakan korban juga berhak mendapatkan ganti kerugian dan biaya perawatan medis dan/atau psikologi atas tindak pidana yang dialaminya sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana.