Mataram (Antara Mataram) - Badan Pertanahan Nasional (BPN) menghentikan sertifikasi tanah yang sempat menuai konflik berkepanjangan antara masyarakat di pulau kecil (gili) Trawangan dengan investor PT Wahana Alam Hayati (WAH), karena diminta oleh Komnas HAM.

"Kami sampaikan Pak Gubernur, bahwa ada surat dari Komnas HAM yang berisi permintaan penghentian sertifikasi tanah itu, karena perlu diverifikasi," kata Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi NTB Hasmi Hanafie, dalam rapat koordinasi (rakor) Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD) Provinsi NTB bersama pimpinan instansi vertikal, di Mataram, Jumat.

Rakor itu yang dipimpin Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi itu, membahas berbagai masalah aktual yang rentan berdampak gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).

Rakor itu dihadiri pimpinan TNI dan Polri, kejaksaan, dan pimpinan instansi vertikal lainnya, serta pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait di jajaran pemerintah provinsi.

Hasmi mengatakan, terdapat lahan seluas sembilan hektare yang dikuasai oleh PT Wahana Alam Hayati (WAH) dengan status Hak Guna Usaha (HGU).

Karena lahan itu tidak dikelola atau dibiarkan terlantar, maka 72 kepala keluarga (KK) warga setempat masuk ke dalam wilayah HGU PT WAH sehingga timbul konflik berkepanjangan.

Pemerintah Kabupaten Lombok Utara telah berupaya memediasi para pihak dan meminta tiga hektare lahan PT WAH untuk diserahkan guna ditempati 72 KK itu.

Konflik tanah PT WAH sudah alam diselesaikan menggunakan prinsip "win-win solution" yang difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Utara.

BPN pun menyelesaikan masalah tersebut dengan memperhatikan prinsip "win-win solustion" tersebut.

"Persoalannya sekarang yakni, kesepakatan yang diberikan kepada 72 orang yang berhak mendapatkan bidang tanah, sedang dalam proses sertifikasi, tapi ada surat dari Komnas HAM yang berisi permintaan penghentian sertifikasi karena perlu diverifikasi antara Komnas HAM dan Pemkab Lombok Utara," ujarnya.

Menurut Hasmi, permintaan penghentian dari Komnas HAM itu merupakan salah satu penghambat penyelesaian sengketa yang diakhiri dengan proses sertifikasi tanah milik masyarakat itu.

Padahal, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah, menegaskan bahwa penyelesaian yang menyangkut sengketa merupakan kewenangan pemerintah daerah.

"Jadi terhambat prosesnya, padahal kasusnya sudah lama dan sudah ada solusi yang diakhiri dengan proses sertifikasi tanah untuk 72 orang warga itu. Kini, tertunda lagi, itu yang perlu kami sampaikan Pak Gubernur," ujarnya. (*)

Pewarta : Oleh Anwar Maga
Editor : Anwar Maga
Copyright © ANTARA 2024