Pengamat: Pemerintah harus berani hentikan pembayaran obligasi rekap BLBI

id pemerintah,obligasi,BLBI,pengamat,ppn,Hardjuno Wiwoho

Pengamat: Pemerintah harus berani hentikan pembayaran obligasi rekap BLBI

Pengamat hukum dan aktivis antikorupsi Hardjuno Wiwoho. ANTARA/Dokumen pribadi/am.

Surabaya (ANTARA) - Pengamat hukum dan pembangunan, Hardjuno Wiwoho mengeririk keras rencana pemerintah mengambil langkah kontroversial berupa pengurangan subsidi energi dan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) menjadi 12 persen di tengah proyeksi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang mencapai Rp600 triliun.

Menurutnya, salah satu opsi menyelamatkan APBN adalah menghentikan pembayaran obligasi rekapitaliasi yang selama ini membebani anggaran negara.

Hardjuno menegaskan bahwa pembayaran obligasi rekap BLBI kepada bank-bank besar yang kini terbukti sudah meraih keuntungan signifikan merupakan kebijakan yang tidak lagi relevan dan justru merugikan rakyat.

“Setiap tahun, Rp50-70 triliun dari APBN dialokasikan untuk membayar obligasi rekap ini. Sementara itu, rakyat diminta untuk menanggung kenaikan PPn dan subsidi energi dipangkas. Di mana keberpihakan pemerintah?” tegas Hardjuno saat dihubungi di Surabaya, Minggu (1/12).

Baca juga: Pengamat Hukum pertanyakan RUU Perampasan Aset tak masuk Prolegnas Prioritas

Kandidat doktor Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga ini menjelaskan pemerintah harus berani mengambil langkah progresif untuk menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI. Ia menilai bahwa alokasi anggaran ini sudah tidak sesuai dengan prinsip keadilan fiskal.

"Dana sebesar itu lebih baik dialihkan untuk subsidi energi atau program lain yang lebih langsung menyentuh kebutuhan masyarakat," ujarnya.

Hardjuno menjelaskan, jika pemerintah menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI, maka anggaran sebesar Rp50-70 triliun per tahun bisa digunakan untuk menutup sebagian defisit APBN tanpa harus menaikkan PPn atau mengurangi subsidi energi.

"Langkah ini tidak hanya akan meringankan beban APBN, tetapi juga memberikan kelegaan bagi rakyat yang sudah terbebani oleh kenaikan harga-harga dan inflasi. Naik PPn dapat Rp 100 triliunan tapi harga-harga melambung tinggi daya beli makin tergerus, bandingkan dengan moratorium pembayaran bunga rekap BLBI," katanya.

Baca juga: Pengusulan RUU Perampasan Aset bukti serius lawan korupsi

Hardjuno mengakui bahwa keputusan untuk menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI memerlukan keberanian politik yang besar.
Pasalnya, kebijakan ini bisa menimbulkan resistensi dari pihak-pihak yang selama ini diuntungkan oleh pembayaran obligasi rekap.

“Namun, jika pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat, ini adalah langkah yang harus diambil. BLBI adalah masa lalu yang sudah selesai, dan beban yang ditimbulkan tidak seharusnya terus menjadi warisan untuk generasi mendatang," ujar Hardjuno.

Baca juga: Pengamat: IKN langkah besar dalam sejarah Indonesia

Ia juga mengingatkan bahwa subsidi energi adalah kebutuhan mendasar bagi rakyat kecil, dan pengurangan subsidi hanya akan memperlebar ketimpangan sosial.

“Jangan sampai pemerintah memilih jalan mudah dengan membebani rakyat melalui kenaikan PPn dan pengurangan subsidi energi, sementara beban berat BLBI tetap dibiarkan,” tandasnya.
Jika pemerintah berani menghentikan pembayaran obligasi rekap BLBI, Hardjuno optimis bahwa langkah ini akan memberikan ruang fiskal yang lebih besar untuk program pembangunan yang pro-rakyat.

"Keputusan ini bukan hanya soal angka, tetapi juga soal keberpihakan pemerintah. Apakah ingin mengutamakan kepentingan rakyat, atau terus tunduk pada warisan kebijakan yang sudah tidak relevan?,” ujarnya dengan nada tanya.

Baca juga: Kandidat doktor Unair: Pentingnya peran pemerintah lindungi pekerja Sritex
Baca juga: Pengamat: Kabinet Prabowo-Gibran miliki kompetensi keahlian mumpuni
Baca juga: Pegiat Anti Korupsi minta KPK usut penyalahgunaan dana CSR
Baca juga: Pengamat Hukum DPR 2024-2029 segera setujui RUU Perampasan Aset
Baca juga: Hardjuno Wiwoho: Petugas perbatasan musti dapat penghargaan Negara