Jakarta (ANTARA) - Pengamat hukum dan pegiat antikorupsi Hardjuno Wiwoho mempertanyakan alasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset yang tidak masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Pasalnya, kata dia, RUU Perampasan Aset merupakan instrumen penting untuk mengembalikan kerugian negara akibat korupsi dan tindak kejahatan ekonomi lainnya.
"Tanpa adanya regulasi ini, aset-aset yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat akan terus terhenti di tangan para pelaku kejahatan,” ungkap Hardjuno dalam keterangan di Jakarta, Jumat.
Dia menilai keputusan untuk tidak memprioritaskan RUU Perampasan Aset sangat melemahkan komitmen pemberantasan korupsi.
Padahal, kata dia, regulasi tersebut dapat mempercepat proses pengembalian aset negara yang dikorupsi.
"RUU ini penting untuk memastikan keadilan. Hasil korupsi harus dikembalikan ke rakyat, bukan justru dibiarkan menjadi aset pribadi yang dinikmati segelintir orang," ujarnya.
Dirinya pun menyoroti langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memasukkan RUU Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty ke dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025.
Hardjuno berpendapat keputusan itu janggal, karena RUU tersebut secara mendadak masuk dalam daftar panjang usulan Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Baca juga: Tom Lembong hadiri secara daring sidang gugatan praperadilan di PN Jaksel
"Langkah ini menuai pertanyaan mengapa kebijakan yang berpotensi membebaskan pelanggar pajak dari tanggung jawab masa lalu menjadi prioritas, sementara RUU Perampasan Aset, yang memiliki dampak besar dalam pemberantasan korupsi, justru diabaikan?" tutur Hardjuno.
Maka dari itu, dirinya menilai keputusan tersebut sebagai bentuk ketidakseriusan DPR dalam memberantas korupsi.
Tak hanya soal RUU Pengampunan Pajak, Hardjuno turut mengkritik kontroversial dalam uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam agenda itu, salah satu calon pimpinan KPK, yang pada akhirnya terpilih, secara terbuka menyatakan keinginannya untuk menghapuskan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Ironisnya, kata dia, pernyataan tersebut justru mendapat tepuk tangan dari para anggota DPR. Padahal, OTT telah menjadi metode yang efektif dalam menangkap para pelaku korupsi.
"OTT adalah salah satu bukti nyata keseriusan lembaga penegak hukum, termasuk KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian, dalam memberantas korupsi," ucapnya melanjutkan.
Baca juga: Sesuai aturan penyidik bisa jemput Sahbirin Noor
Hardjuno mencontohkan, OTT Kejaksaan Agung terhadap seorang mantan hakim Mahkamah Agung (MA) dengan barang bukti suap sebesar Rp1 triliun, yang menunjukkan bahwa OTT tidak hanya efektif, tetapi juga menjadi pesan moral bahwa hukum bisa menyentuh siapa saja.
Rapat Paripurna DPR RI Ke-8 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024–2025 menyetujui 176 RUU masuk Prolegnas Tahun 2025–2029 dan 41 RUU masuk Prolegnas Prioritas 2025 di Jakarta, Selasa (19/11).
Kendati demikian, RUU Perampasan Aset hanya masuk daftar Prolegnas Tahun 2025–2029, bukan Prolegnas Prioritas 2025.