Surabaya (ANTARA) - Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho mengapresiasi langkah pemerintah dalam menindak korupsi yang mulai menunjukkan hasil yang positif.
Penemuan uang tunai senilai Rp1 triliun di rumah mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) serta penegasan Prabowo soal hukuman untuk korupsi kasus timah menjadi buktinya nyata kuatnya komitmen pemerintah memerangi korupsi.
Namun demikian pemerintah tidak boleh melupakan mega korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang jauh lebih dahsyat dampaknya, menyengsarakan rakyat hingga kini, dan akan terus membebani hingga tahun 2043.
“Kerugian akibat BLBI mencapai ribuan triliun rupiah. Ini bukan hanya soal angka, tapi soal bunga berbunga yang terus meningkat secara eksponensial. Dampaknya dahsyat, APBN kita tertekan luar biasa,” ujar Hardjuno kepada wartawan di Surabaya, Sabtu (10/1).
Baca juga: Ahli Hukum: Digitalisasi dan AI penting cegah mark up anggaran, budaya anti-korupsi harus diperkuat
Kandidat Doktor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini menyoroti keterlibatan oknum pejabat dalam skandal ini .
Hal ini membuat alasan kasus BLBI terus berlangsung hingga puluhan tahun.
“Tidak mungkin ini bisa bertahan lama tanpa keterlibatan pejabat yang punya kuasa. Satgas BLBI yang dipimpin oleh Mahfud MD waktu itu juga tidak menunjukkan hasil signifikan. Masa dibilang lunas padahal jelas belum lunas?” tegasnya.
Baca juga: Pegiat Anti Korupsi minta KPK usut penyalahgunaan dana CSR
Ia menambahkan bahwa sistem bunga majemuk pada obligasi rekapitalisasi (OR) BLBI menciptakan beban keuangan yang luar biasa.
Dana yang seharusnya dikembalikan oleh debitor malah disubsidi hingga 2043.
“Bukannya melunasi, para debitor ini justru diuntungkan dengan pembagian dividen. Undang-undang kita jelas mengatakan, hanya Presiden bersama DPR yang punya wewenang menghapus utang seperti ini. Jadi, release and discharge itu tidak berlaku,” jelasnya.
Selain BLBI, Hardjuno juga menyoroti utang negara yang terus membengkak. “Utang kita sekarang sudah mencapai Rp8.500 triliun, dan angka ini bisa saja mencapai Rp12.000 triliun jika ada yang ditutupi, termasuk burden sharing dengan Bank Indonesia yang mungkin belum masuk hitungan,” tambahnya.
Baca juga: Perampasan aset, Pakar Hukum: Langkah Revolusioner Pemberantasan Korupsi
Hardjuno menegaskan bahwa jika kasus BLBI ini tidak ditangani dengan tegas, ekonomi Indonesia akan terus terpuruk.
“Indonesia sebenarnya tidak separah ini jika kasus BLBI dibenahi. Pemerintah harus berani melakukan moratorium pembayaran bunga obligasi rekap BLBI dan menagih hak-hak negara dari para debitor,” sarannya.
Dalam pandangannya, skandal BLBI adalah contoh bagaimana kreditor justru menjadi debitor yang membayar kepada debitor. “Ini hanya terjadi di Indonesia. BLBI adalah pelajaran pahit tentang bagaimana hukum dan keadilan ekonomi dipermainkan,” pungkasnya.
Baca juga: Pengamat: Persetujuan RUU Perampasan Aset butuh keberanian politik DPR
Baca juga: Pengamat: Pemerintah harus berani hentikan pembayaran obligasi rekap BLBI
Baca juga: Pengamat Hukum pertanyakan RUU Perampasan Aset tak masuk Prolegnas Prioritas
Baca juga: Pengusulan RUU Perampasan Aset bukti serius lawan korupsi