Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendukung penurunan prevalensi stunting nasional untuk menjaga kualitas sumber daya manusia (SDM) di masa depan. Dukungan dilakukan melalui penandatanganan kesepahaman bersama antara Apindo dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tentang Pelaksanaan Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan, dan Keluarga Berencana dan Percepatan Penurunan Stunting di Jakarta, Rabu.
“Terdapat korelasi antara stunting dan investasi, khususnya investasi di sektor kesehatan dan gizi. Stunting dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak yang dapat berdampak pada produktivitas dan kualitas sumber daya manusia di masa depan,” kata Wakil Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani dalam keterangan di Jakarta, Rabu.
Shinta menyebut investasi di sektor kesehatan dan gizi, seperti pemberian makanan bergizi dan penyediaan akses terhadap pelayanan kesehatan, dapat membantu mencegah dan mengurangi angka stunting. Investasi dalam sektor kesehatan dan gizi juga dapat memberikan dampak positif terhadap perekonomian.
“Anak-anak yang terhindar dari stunting cenderung lebih sehat, memiliki kemampuan belajar yang lebih baik, dan lebih produktif di masa depan. Hal ini dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan dapat memacu pertumbuhan ekonomi di masa depan,” imbuhnya.
Sementara itu, pengusaha senior sekaligus Wakil Ketua Umum Apindo Suryadi Sasmita mengatakan stunting di Indonesia berpotensi menjadi bencana demografi karena dampaknya yang luas dan jangka panjang terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, kesehatan masyarakat, dan ekonomi nasional.
Ia menyebut beberapa alasan mengapa stunting dapat dianggap sebagai bencana demografi di Indonesia karena stunting dapat berdampak jangka panjang terhadap kesehatan dan kecerdasan anak, yang dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk belajar, bekerja, dan menciptakan kehidupan yang produktif di masa depan.
“Hal ini berpotensi merusak potensi manusia sebagai sumber daya yang penting bagi perkembangan ekonomi dan sosial suatu negara,” kata Suryadi. Di sisi lain, biaya untuk mengatasi stunting dan penyakit yang terkait dengannya dapat sangat tinggi, dan akan menjadi beban ekonomi bagi keluarga dan masyarakat.
“Hal ini dapat mengurangi aksesibilitas dan ketersediaan sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti makanan dan perawatan kesehatan,” ujarnya.
Stunting juga cenderung terjadi lebih sering pada keluarga yang kurang mampu atau hidup dalam kondisi sosial ekonomi yang rendah, sehingga dapat meningkatkan ketimpangan dan ketidaksetaraan sosial di masyarakat sehingga dapat berdampak pada kestabilan sosial dan ekonomi secara keseluruhan.
Baca juga: Wagub NTB targetkan angka stunting jadi 14 persen
Baca juga: Wapres Ma'ruf bantu penanganan stunting di Sulbar
Pemerintah Indonesia telah menetapkan stunting sebagai isu prioritas nasional. Komitmen itu terwujud dalam masuknya stunting ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dengan target penurunan dari kondisi 27,6 persen pada 2019 menjadi 14 persen pada 2024.
“Terdapat korelasi antara stunting dan investasi, khususnya investasi di sektor kesehatan dan gizi. Stunting dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak yang dapat berdampak pada produktivitas dan kualitas sumber daya manusia di masa depan,” kata Wakil Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani dalam keterangan di Jakarta, Rabu.
Shinta menyebut investasi di sektor kesehatan dan gizi, seperti pemberian makanan bergizi dan penyediaan akses terhadap pelayanan kesehatan, dapat membantu mencegah dan mengurangi angka stunting. Investasi dalam sektor kesehatan dan gizi juga dapat memberikan dampak positif terhadap perekonomian.
“Anak-anak yang terhindar dari stunting cenderung lebih sehat, memiliki kemampuan belajar yang lebih baik, dan lebih produktif di masa depan. Hal ini dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan dapat memacu pertumbuhan ekonomi di masa depan,” imbuhnya.
Sementara itu, pengusaha senior sekaligus Wakil Ketua Umum Apindo Suryadi Sasmita mengatakan stunting di Indonesia berpotensi menjadi bencana demografi karena dampaknya yang luas dan jangka panjang terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, kesehatan masyarakat, dan ekonomi nasional.
Ia menyebut beberapa alasan mengapa stunting dapat dianggap sebagai bencana demografi di Indonesia karena stunting dapat berdampak jangka panjang terhadap kesehatan dan kecerdasan anak, yang dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk belajar, bekerja, dan menciptakan kehidupan yang produktif di masa depan.
“Hal ini berpotensi merusak potensi manusia sebagai sumber daya yang penting bagi perkembangan ekonomi dan sosial suatu negara,” kata Suryadi. Di sisi lain, biaya untuk mengatasi stunting dan penyakit yang terkait dengannya dapat sangat tinggi, dan akan menjadi beban ekonomi bagi keluarga dan masyarakat.
“Hal ini dapat mengurangi aksesibilitas dan ketersediaan sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti makanan dan perawatan kesehatan,” ujarnya.
Stunting juga cenderung terjadi lebih sering pada keluarga yang kurang mampu atau hidup dalam kondisi sosial ekonomi yang rendah, sehingga dapat meningkatkan ketimpangan dan ketidaksetaraan sosial di masyarakat sehingga dapat berdampak pada kestabilan sosial dan ekonomi secara keseluruhan.
Baca juga: Wagub NTB targetkan angka stunting jadi 14 persen
Baca juga: Wapres Ma'ruf bantu penanganan stunting di Sulbar
Pemerintah Indonesia telah menetapkan stunting sebagai isu prioritas nasional. Komitmen itu terwujud dalam masuknya stunting ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dengan target penurunan dari kondisi 27,6 persen pada 2019 menjadi 14 persen pada 2024.