Kecintaan yang pekat pada Bali, melatari Akiko Matsubara, wanita asal Tokyo, Jepang, meninggalkan kampung halamannya, dan kini membaktikan hidup di sebuah pedesaan di lereng tenggara Gunung Agung, demi menciptakan motif-motif baru pada sehelai kain songket.

Keindahan motif dan gradasi warna pada kain songket, sesungguhnya telah memikat hati Akiko sejak pertama kali melihatnya. Wanita ini pertama kali melihat, sekaligus langsung memakai kain songket pada hari pernikahannya, tepatnya pada 23 Agustus 2000.

"Saya menikah dengan suami, I Nyoman Rai, yang berasal dari Banjar Tebola, Sidemen, Karangasem, Bali. Walau setelah menikah sempat tinggal di Tebola, dan merasakan ketertarikan yang kuat pada songket, tapi waktu itu saya masih belum bisa beradaptasi lingkungan dengan baik, sehingga bersama dengan suami memutuskan tinggal di Denpasar," ujarnya, dengan pengucapan bahasa Indonesia yang fasih.

Begitu tinggal di Denpasar, Akiko bekerja di biro perjalanan atau `travel agent` untuk memandu wisatawan asing yang ingin melihat-lihat keindahan Pulau Bali, sedang Rai bekerja pada pamannya yang memiliki usaha menyewakan alat-alat renang di Pantai Sanur.

Setiap ada odalan (perayaan yang diadakan setiap tahun di dalam pura), Akiko dan Rai pulang ke Tebola, yang terletak di lereng Gunung Agung. Sesekali, Akiko menyempatkan diri mempelajari cara membuat kain songket pada mertuanya. Begitu menguasai pembuatan songket menggunakan alat tenun tradisional, kecintaan Akiko pada kain itu terus bertumbuh.

"Setelah memantapkan diri dan hubungan batin saya kian erat pada kain songket, akhirnya saya dan suami memutuskan meninggalkan Denpasar, dan sepenuhnya tinggal di Tebola, Sidemen," ucap Akiko.


                      Motif Bintang

Pada awalnya, sesuai pakem di Sidemen, Akiko mengikuti kebiasaan membuat songket dengan motif-motif tradisional yang sudah ada sejak turun-temurun. Selanjutnya, terdorong keinginan memajukan dan lebih memikat minat pencinta songket, Akiko sengaja memesan kepada ibu-ibu di Tebola untuk membuat motif baru sesuai arahannya.

Sayangnya, pesanan Akiko itu tidak mendapat respon. Ibu-ibu berdalih tidak pernah membuat motif seperti itu, sehingga tidak bisa melakukannya.

"Ibu-ibu menolak ketika saya memesan motif baru, dengan berbagai alasan. Ada yang bilang tidak bisa, ada juga yang mengatakan tidak pernah melihat motif selain yang dikerjakan selama ini. Akhirnya, saya membuat sendiri songket dengan motif baru itu, dan ternyata berhasil," ucapnya.

Keberhasilan ini membuat ibu-ibu lain menjadi tergugah dan akhirnya bersedia ketika Akiko kembali mengajukan pemesanan kain songket dengan motif baru.

"Motif baru itu, ada yang berbentuk bintang dengan ukuran beraneka macam. Dengan motif baru ini, kain songket menjadi lebih atraktif dan indah, tidak begitu-begitu saja ," kata wanita berusia 45 tahun ini.

Kemunculan motif baru kain songket di Tebola, ternyata berhasil menyita perhatian sejumlah pencinta kain tradisional dari berbagai wilayah di Bali. Motif-motif yang mengusung unsur kebaruan dengan pakem berbeda, justru membangkitkan minat beberapa pencinta kain untuk mengoleksinya. Lama-kelamaan, pemesan kain songket dengan motif baru merembet ke kota-kota lain di Indonesia, bahkan juga berhasil menarik perhatian warga Jepang dan wisatawan asing lain untuk membelinya langsung di Tebola.

Harga kain songket, disesuaikan dengan bahan dan kerumitan motif. Kain songket menggunakan bahan `cotton` dijual dengan kisaran harga Rp1 juta-Rp1,2 juta. Kalau menggunakan bahan sutra dengan pewarnaan alami yang dicelup sendiri, kain songket ini dijual dengan harga Rp5 juta.

Belakangan, Akiko tidak hanya berkreasi dengan kain songket, melainkan telah mengembangkan karya dengan menciptakan ikat, agar konsumen lebih memiliki keleluasaan pilihan jika ingin membelinya.

"Harapan saya, mudah-mudahan  nanti saya diberi kemampuan dan kesempatan untuk mendirikan museum songket di Sidemen. Biar ukuran kecil, tapi museum itu ditujukan untuk menyimpan karya-karya terbaik dari generasi pembuat songket dengan alat tenun tradisional, untuk sekaligus sebagai catatan sejarah bagi generasi mendatang di Sidemen," ucapnya, penuh pengharapan.


                         Palm Reading

Akiko menyatakan, kedatangannya ke Bali sebenarnya memiliki latar belakang kisah tersendiri. Kisah itu bermula, sejak remaja dia sangat suka belajar tari Bali. Salah seorang guru tarinya kemudian menyarankan agar Akiko datang langsung ke Bali, supaya lebih menjiwai proses pembelajaran. Saran itu dituruti Akiko, yang kemudian memutuskan datang dan berlibur ke Pantai Sanur pada tahun 1998. Di pantai inilah, hati Akiko kemudian tertambat pada Rai, dan dua tahun berselang keduanya meresmikan hubungan sebagai pasangan suami istri.

"Setelah menetap di sini, saya benar-benar mencintai Bali, sehingga berkeinginan kuat melestarikan songket. Namun, meski sibuk berkutat dengan songket, ada satu kebiasaan unik saya sejak kecil yang tidak pernah saya lupakan meski kini tinggal di Bali, yakni palm reading," ucapnya.

Palm reading adalah konsultasi mengenai keberuntungan, jodoh, kesehatan dan lainnya, melalui garis tangan seseorang. Ilmu palm reading berasal dari Tiongkok dan India. Akiko memiliki minat terhadap palm reading sejak usia delapan tahun, setelah mempelajari dari buku-buku dan mengasah diri pada orang-orang yang mempunyai kemampuan tersebut di Jepang.

Setelah tinggal di Bali, Akiko tetap mengembangkan kemampuannya itu, dan ternyata belakangan menarik minat warga setempat untuk meminta dibacakan garis tangannya, supaya mengetahui keberuntungan, karir, karma, jodoh, atau permasalahan spiritual.

"Pada tahun 2010, sesudah kemampuan saya di bidang palm reading diulas media massa, nama saya menjadi dikenal orang sebagai pembaca garis tangan. Hampir setiap hari ada saja yang datang untuk dibacakan garis tangannya. Sekarang ini, orang yang menemui saya komposisinya adalah 80 persen orang Jepang, serta 20 persen orang Bali dan `bule` yang ingin mengetahui nasibnya ke depan melalui palm reading," kata Akiko.

*) Tri Vivi Suryani penulis buku dan artikel


Pewarta : Tri Vivi Suryani*
Editor : Yanes
Copyright © ANTARA 2024