Mataram (ANTARA) - Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat menggandeng Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit kerugian negara dalam perkara dugaan korupsi penyelewengan aset milik pemerintah provinsi yang berada di kawasan wisata Gili Trawangan, Kabupaten Lombok Utara.
Asisten Pidana Khusus Kejati NTB Ely Rahmawati di Mataram, Rabu, menjelaskan bahwa langkah menggandeng BPKP itu merupakan bagian dari upaya penyidik dalam menguatkan alat bukti perkara.
"Jadi, untuk memperkuat alat bukti, salah satunya terkait kerugian negara, kami menggandeng BPKP," kata Ely.
Dia menyatakan bahwa penyidik kini secara intensif berkoordinasi dengan BPKP. Materi penyidikan yang berkaitan dengan kebutuhan audit masih menjadi bahan diskusi dengan BPKP.
"Apa yang jadi kebutuhan audit, itu kami berikan dan masih dalam pembahasan diskusi bersama BPKP," ujarnya.
Dalam pembahasan dengan tim audit pun, jelas dia, ada beberapa hal yang mesti dilakukan pendalaman dari pemeriksaan saksi dan pengumpulan data lapangan.
"Jadi, pemeriksaan masih jalan, tetapi lebih kepada kebutuhan audit. Ada beberapa kebutuhan dan itu masih dicari," ucap dia.
Kepala Kejati NTB dalam perkara ini telah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor: Print-02/N.2/Fd.1/02/2022, tanggal 9 Februari 2022.
Penyidikan ini merupakan tindak lanjut dari laporan masyarakat yang mengarah ke dugaan pungutan liar (pungli) sewa dan jual beli lahan secara ilegal.
Dugaan tersebut berkaitan dengan lahan yang sebelumnya masuk dalam kesepakatan kontrak produksi untuk pemanfaatan hak pengelolaan lahan milik Pemprov NTB dengan PT Gili Trawangan Indah (GTI).
Dari hasil penyelidikan jaksa terungkap bahwa persoalan itu pun muncul pada tahun 1998 sejak PT GTI sebagai perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan kawasan wisata tersebut mengantongi kesepakatan kontrak produksi dari Pemprov NTB untuk lahan seluas 65 hektare.
Sejak itu, terindikasi adanya sejumlah pihak yang dengan sengaja mengambil keuntungan pribadi. Hal tersebut berkaitan dengan sewa lahan secara masif dan ilegal di Trawangan yang merupakan salah satu kawasan wisata andalan NTB.
Untuk kondisi terkini, sudah terdapat bangunan permanen yang sebagian besar menjadi ladang bisnis masyarakat dalam menunjang kehidupan pariwisata di Gili Trawangan.
Pemetaan situasi di atas lahan itu pun telah dilakukan pihak kejaksaan sebelum perkara ini masuk ke bidang pidana khusus, yakni saat Kejati NTB mendapatkan amanah dari pemprov sebagai jaksa pengacara negara dalam penyelamatan dan penerbitan aset di kawasan wisata tersebut.
Upaya penyelamatan aset ini pun menjadi harapan pemerintah untuk mendongkrak pendapatan asli daerah yang berpotensi memberikan keuntungan dengan perkiraan mencapai puluhan miliar per tahun.
Asisten Pidana Khusus Kejati NTB Ely Rahmawati di Mataram, Rabu, menjelaskan bahwa langkah menggandeng BPKP itu merupakan bagian dari upaya penyidik dalam menguatkan alat bukti perkara.
"Jadi, untuk memperkuat alat bukti, salah satunya terkait kerugian negara, kami menggandeng BPKP," kata Ely.
Dia menyatakan bahwa penyidik kini secara intensif berkoordinasi dengan BPKP. Materi penyidikan yang berkaitan dengan kebutuhan audit masih menjadi bahan diskusi dengan BPKP.
"Apa yang jadi kebutuhan audit, itu kami berikan dan masih dalam pembahasan diskusi bersama BPKP," ujarnya.
Dalam pembahasan dengan tim audit pun, jelas dia, ada beberapa hal yang mesti dilakukan pendalaman dari pemeriksaan saksi dan pengumpulan data lapangan.
"Jadi, pemeriksaan masih jalan, tetapi lebih kepada kebutuhan audit. Ada beberapa kebutuhan dan itu masih dicari," ucap dia.
Kepala Kejati NTB dalam perkara ini telah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor: Print-02/N.2/Fd.1/02/2022, tanggal 9 Februari 2022.
Penyidikan ini merupakan tindak lanjut dari laporan masyarakat yang mengarah ke dugaan pungutan liar (pungli) sewa dan jual beli lahan secara ilegal.
Dugaan tersebut berkaitan dengan lahan yang sebelumnya masuk dalam kesepakatan kontrak produksi untuk pemanfaatan hak pengelolaan lahan milik Pemprov NTB dengan PT Gili Trawangan Indah (GTI).
Dari hasil penyelidikan jaksa terungkap bahwa persoalan itu pun muncul pada tahun 1998 sejak PT GTI sebagai perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan kawasan wisata tersebut mengantongi kesepakatan kontrak produksi dari Pemprov NTB untuk lahan seluas 65 hektare.
Sejak itu, terindikasi adanya sejumlah pihak yang dengan sengaja mengambil keuntungan pribadi. Hal tersebut berkaitan dengan sewa lahan secara masif dan ilegal di Trawangan yang merupakan salah satu kawasan wisata andalan NTB.
Untuk kondisi terkini, sudah terdapat bangunan permanen yang sebagian besar menjadi ladang bisnis masyarakat dalam menunjang kehidupan pariwisata di Gili Trawangan.
Pemetaan situasi di atas lahan itu pun telah dilakukan pihak kejaksaan sebelum perkara ini masuk ke bidang pidana khusus, yakni saat Kejati NTB mendapatkan amanah dari pemprov sebagai jaksa pengacara negara dalam penyelamatan dan penerbitan aset di kawasan wisata tersebut.
Upaya penyelamatan aset ini pun menjadi harapan pemerintah untuk mendongkrak pendapatan asli daerah yang berpotensi memberikan keuntungan dengan perkiraan mencapai puluhan miliar per tahun.