Jenewa (ANTARA) - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyambut baik disepakatinya gencatan senjata di Sudan, dan mendesak pihak-pihak yang berkonflik untuk sepenuhnya menghormati gencatan senjata tersebut.
"Pertumpahan darah yang kita lihat selama 10 hari terakhir di Sudan memilukan," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Ghebreyesus dalam pengarahan pers pada Rabu (26/4).
Menurut dia, kekerasan yang berlangsung selama pertempuran antara tentara Sudan dan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di Khartoum dan sekitarnya, sangat merugikan sektor kesehatan.
Pada Senin (24/4), kedua pihak menyepakati gencatan senjata selama tiga hari untuk menghentikan kekerasan yang meningkat di negara Afrika Timur itu.
Tedros memperkirakan lebih banyak kematian akan disebabkan oleh wabah, kurangnya akses ke makanan dan air, serta gangguan terhadap layanan kesehatan penting, termasuk imunisasi.
"WHO memperkirakan bahwa seperempat nyawa yang hilang sejauh ini seharusnya bisa diselamatkan dengan adanya akses ke pengendalian pendarahan dasar... tetapi paramedis, perawat, dan dokter tidak bisa mengakses warga sipil yang terluka, begitu pun sebaliknya, warga sipil tidak bisa mengakses layanan kesehatan," ujar Tedros.
Di Ibu Kota Khartoum, kata dia, tercatat 61 persen fasilitas kesehatan tutup dan hanya 16 persen yang bisa beroperasi normal.
Dia menyebut banyak pasien penderita penyakit kronis seperti ginjal, diabetes, dan kanker tidak bisa mengakses fasilitas kesehatan atau mendapatkan obat yang mereka butuhkan.
Selain itu, diperkirakan 24.000 perempuan akan melahirkan dalam beberapa pekan ke depan tanpa akses ke layanan ibu hamil dan melahirkan.
Tedros pun mengungkapkan bahwa 50.000 anak sangat berisiko karena program gizi ditangguhkan.
Pemadaman listrik membuat beberapa stok darah yang tersisa di Bank Darah Pusat terancam tidak dapat digunakan.
WHO mencatat delapan kematian akibat 16 serangan terhadap sektor kesehatan di Sudan.
Saat menyampaikan keprihatinannya atas laboratorium kesehatan masyarakat yang diduduki oleh salah satu pihak dalam konflik di Sudan, Tedros memperingatkan bahwa mereka yang menguasai laboratorium tersebut bisa secara tidak sengaja terpapar patogen yang tersimpan di dalamnya.
Sementara tentang staf WHO di Sudan, dia mengatakan bahwa mereka telah dipindahkan ke lokasi yang aman, tetapi badan kesehatan PBB itu berencana melanjutkan operasinya sebaik mungkin.
Sedikitnya 459 korban tewas dan 4.072 terluka akibat konflik bersenjata selama berminggu-minggu di Khartoum, kata perwakilan WHO dari Sudan pada Selasa (25/4).
Konflik tersebut dipicu ketidaksepakatan antara militer dan kelompok paramiliter atas reformasi keamanan militer Sudan.
Baca juga: Sekjen PBB serukan upaya perbarui arsitektur keuangan global
"Pertumpahan darah yang kita lihat selama 10 hari terakhir di Sudan memilukan," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Ghebreyesus dalam pengarahan pers pada Rabu (26/4).
Menurut dia, kekerasan yang berlangsung selama pertempuran antara tentara Sudan dan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di Khartoum dan sekitarnya, sangat merugikan sektor kesehatan.
Pada Senin (24/4), kedua pihak menyepakati gencatan senjata selama tiga hari untuk menghentikan kekerasan yang meningkat di negara Afrika Timur itu.
Tedros memperkirakan lebih banyak kematian akan disebabkan oleh wabah, kurangnya akses ke makanan dan air, serta gangguan terhadap layanan kesehatan penting, termasuk imunisasi.
"WHO memperkirakan bahwa seperempat nyawa yang hilang sejauh ini seharusnya bisa diselamatkan dengan adanya akses ke pengendalian pendarahan dasar... tetapi paramedis, perawat, dan dokter tidak bisa mengakses warga sipil yang terluka, begitu pun sebaliknya, warga sipil tidak bisa mengakses layanan kesehatan," ujar Tedros.
Di Ibu Kota Khartoum, kata dia, tercatat 61 persen fasilitas kesehatan tutup dan hanya 16 persen yang bisa beroperasi normal.
Dia menyebut banyak pasien penderita penyakit kronis seperti ginjal, diabetes, dan kanker tidak bisa mengakses fasilitas kesehatan atau mendapatkan obat yang mereka butuhkan.
Selain itu, diperkirakan 24.000 perempuan akan melahirkan dalam beberapa pekan ke depan tanpa akses ke layanan ibu hamil dan melahirkan.
Tedros pun mengungkapkan bahwa 50.000 anak sangat berisiko karena program gizi ditangguhkan.
Pemadaman listrik membuat beberapa stok darah yang tersisa di Bank Darah Pusat terancam tidak dapat digunakan.
WHO mencatat delapan kematian akibat 16 serangan terhadap sektor kesehatan di Sudan.
Saat menyampaikan keprihatinannya atas laboratorium kesehatan masyarakat yang diduduki oleh salah satu pihak dalam konflik di Sudan, Tedros memperingatkan bahwa mereka yang menguasai laboratorium tersebut bisa secara tidak sengaja terpapar patogen yang tersimpan di dalamnya.
Sementara tentang staf WHO di Sudan, dia mengatakan bahwa mereka telah dipindahkan ke lokasi yang aman, tetapi badan kesehatan PBB itu berencana melanjutkan operasinya sebaik mungkin.
Sedikitnya 459 korban tewas dan 4.072 terluka akibat konflik bersenjata selama berminggu-minggu di Khartoum, kata perwakilan WHO dari Sudan pada Selasa (25/4).
Konflik tersebut dipicu ketidaksepakatan antara militer dan kelompok paramiliter atas reformasi keamanan militer Sudan.
Baca juga: Sekjen PBB serukan upaya perbarui arsitektur keuangan global
Baca juga: PBB sebut seperempat umat manusia tinggal di daerah konflik
Reformasi mengharapkan partisipasi penuh RSF dalam militer, yang menjadi salah satu isu utama dalam negosiasi oleh pihak internasional dan regional untuk transisi ke pemerintahan sipil demokratis di Sudan.
Sumber: Anadolu
Reformasi mengharapkan partisipasi penuh RSF dalam militer, yang menjadi salah satu isu utama dalam negosiasi oleh pihak internasional dan regional untuk transisi ke pemerintahan sipil demokratis di Sudan.
Sumber: Anadolu