Jakarta (ANTARA) - Jaksa Ahli Madya Jampidum Kejaksaan Agung Erni Mustikasari mengatakan aparat penegak hukum perlu memiliki sensitivitas dalam menegakkan hukum perkara-perkara kekerasan dalam rumah tangga.
"Sensitivitas diperlukan, hukum bukan pekerjaan rutin ya, atau disamakan dengan business as usual, sehingga semua seharusnya menggunakan hati, logika, kecerdasan. Harus bisa membingkai kasus per kasus, tidak bisa hanya karena ingin pekerjaannya cepat selesai," kata Erni Mustikasari dalam acara bertajuk "Apa Masalah Krusial Dalam Penerapan UU PKDRT dan UU TPKS?", di Jakarta, Rabu.
Menurut Erni Mustikasari, ada banyak aspek yang perlu digali oleh penegak hukum dalam menyidangkan perkara. Riwayat kekerasan menurut Erni, tetap dapat menjadi pertimbangan yang bisa meringankan pelaku.
Pihaknya mencontohkan dalam kasus seorang istri di Solo, Jawa Tengah, yang memotong kemaluan suaminya. Ada riwayat kekerasan di masa lalu yang melatarbelakangi terjadinya kasus itu.
"Dalam kasus itu, si istri untuk memperjuangkan cintanya kepada suaminya, dia sudah mengorbankan jiwa raga-nya, pindah agama, sementara sang suami tidak pernah berubah. Berkencan dengan perempuan lain, si istri mendapat perlakuan tidak baik dari keluarga suaminya," kata Erni Mustikasari.
Dia mengatakan cerita yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana itu dapat menjadi pertimbangan penilaian bagi penegak hukum untuk memutuskan kasusnya. Pihaknya menambahkan hal ini merupakan aliran pemidanaan yang neoklasik.
Baca juga: Pendeta Flo memberi perhatian kesetaraan gender dalam keluarga
Baca juga: Kasus KDRT terbanyak dilaporkan Komnas Perempuan
Aliran pemidanaan tersebut, kata Erni Mustikasari, mendorong banyaknya kebijakan peradilan yang didasarkan pada keadaan-keadaan obyektif dalam menilai suatu perkara. "Jadi bukan seperti dulu lagi, pakai kacamata kuda, pasal A hukumannya segini, pasal B hukumannya segini," katanya.
"Sensitivitas diperlukan, hukum bukan pekerjaan rutin ya, atau disamakan dengan business as usual, sehingga semua seharusnya menggunakan hati, logika, kecerdasan. Harus bisa membingkai kasus per kasus, tidak bisa hanya karena ingin pekerjaannya cepat selesai," kata Erni Mustikasari dalam acara bertajuk "Apa Masalah Krusial Dalam Penerapan UU PKDRT dan UU TPKS?", di Jakarta, Rabu.
Menurut Erni Mustikasari, ada banyak aspek yang perlu digali oleh penegak hukum dalam menyidangkan perkara. Riwayat kekerasan menurut Erni, tetap dapat menjadi pertimbangan yang bisa meringankan pelaku.
Pihaknya mencontohkan dalam kasus seorang istri di Solo, Jawa Tengah, yang memotong kemaluan suaminya. Ada riwayat kekerasan di masa lalu yang melatarbelakangi terjadinya kasus itu.
"Dalam kasus itu, si istri untuk memperjuangkan cintanya kepada suaminya, dia sudah mengorbankan jiwa raga-nya, pindah agama, sementara sang suami tidak pernah berubah. Berkencan dengan perempuan lain, si istri mendapat perlakuan tidak baik dari keluarga suaminya," kata Erni Mustikasari.
Dia mengatakan cerita yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana itu dapat menjadi pertimbangan penilaian bagi penegak hukum untuk memutuskan kasusnya. Pihaknya menambahkan hal ini merupakan aliran pemidanaan yang neoklasik.
Baca juga: Pendeta Flo memberi perhatian kesetaraan gender dalam keluarga
Baca juga: Kasus KDRT terbanyak dilaporkan Komnas Perempuan
Aliran pemidanaan tersebut, kata Erni Mustikasari, mendorong banyaknya kebijakan peradilan yang didasarkan pada keadaan-keadaan obyektif dalam menilai suatu perkara. "Jadi bukan seperti dulu lagi, pakai kacamata kuda, pasal A hukumannya segini, pasal B hukumannya segini," katanya.