Mataram (ANTARA) - Penyidik Direktorat Polisi Perairan dan Udara (Ditpolairud) Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) menetapkan 11 orang nelayan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pengeboman ikan di kawasan perairan Pulau Kelapa dan Teluk Rano yang berada di Kabupaten Bima.
"Dari rangkaian penyelidikan yang kami lakukan, 11 nelayan ini kami tetapkan sebagai tersangka dengan merujuk pada aturan undang-undang darurat dan undang-undang perikanan. Untuk proses hukum,sekarang masih dalam proses pemberkasan," kata Direktur Polisi Perairan dan Udara (Dirpolairud) Polda NTB Kombes Pol. Kobul Syahrin Ritonga di Mataram, Kamis.
Aturan pidana yang menetapkan 11 nelayan sebagai tersangka tersebut berkaitan dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan/atau Pasal 84 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU No. 45/2009 tentang Perikanan.
"Kalau di undang-undang darurat, ancaman hukumannya, hukuman mati atau penjara seumur hidup. Kalau undang-undang perikanan dapat dipidana selama enam tahun penjara dan denda paling banyak Rp1,2 miliar," ujarnya.
Adapun 11 nelayan yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pengeboman ikan ini berinisial HE, MU, TA, SU, NAS, SO, FA, AF, JU, JN, dan SY. "Mereka ini semua warga Bima yang keseharian-nya sebagai nelayan," ucap dia.
Lebih lanjut, Kobul mengatakan bahwa pihaknya menangani kasus ini berdasarkan hasil temuan tim patroli perairan pada momentum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang berlangsung pada pertengahan Mei 2023 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sebagai wilayah penyangga keamanan KTT ASEAN, Polda NTB mengerahkan personel polairud untuk menggiatkan patroli perairan di kawasan yang berbatasan langsung dengan Provinsi NTT.
"Jadi, pada momentum pengamanan KTT ASEAN itu tim patroli melihat ada tiga kapal nelayan yang beraktivitas melakukan penangkapan ikan di dekat Pulau Kelapa," ujarnya.
Sebagai bentuk pencegahan terhadap hal-hal yang dapat mengganggu kelancaran KTT ASEAN, tim patroli polairud menyambangi ketiga kapal tersebut dan menemukan peralatan yang berkaitan dengan aktivitas pengeboman ikan.
"Saat didekati, ternyata didapatkan puluhan botol berisi bubuk mesiu yang patut kami duga menjadi sarana untuk mengebom ikan di laut," kata dia.
Kobul pun meyakinkan bahwa saat pemeriksaan, pihaknya menemukan peralatan bom ikan itu pada ketiga kapal nelayan yang berisi 11 tersangka.
"Selain ada alat bom ikan, ada juga diamankan ikan hasil pengeboman dan detonator untuk memicu bahan peledak mesiu dan alat tangkap ikan lainnya," ujar Kobul.
Kabid Humas Polda NTB Kombes Arman Asmara Syarifuddin turut menyampaikan bahwa pihak kepolisian dalam persoalan ini tidak hanya berperan dalam proses penindakan. Melainkan, turut menggalakkan upaya pencegahan dengan memberikan penyuluhan oleh tim patroli polairud.
"Jadi, upaya-upaya pencegahan yang dapat merusak biota laut ini tetap kami laksanakan agar tidak ada lagi nelayan yang melakukan aksi pengeboman ikan," ujar Arman.
Dia pun berharap kasus ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi masyarakat, khususnya kepada para nelayan untuk lebih peduli terhadap keberlangsungan biota laut.
"Apalagi nelayan, mereka yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut. Karena itu, penting untuk kita semua menjaga kondisi laut kita agar tetap baik," ucapnya.
"Dari rangkaian penyelidikan yang kami lakukan, 11 nelayan ini kami tetapkan sebagai tersangka dengan merujuk pada aturan undang-undang darurat dan undang-undang perikanan. Untuk proses hukum,sekarang masih dalam proses pemberkasan," kata Direktur Polisi Perairan dan Udara (Dirpolairud) Polda NTB Kombes Pol. Kobul Syahrin Ritonga di Mataram, Kamis.
Aturan pidana yang menetapkan 11 nelayan sebagai tersangka tersebut berkaitan dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan/atau Pasal 84 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU No. 45/2009 tentang Perikanan.
"Kalau di undang-undang darurat, ancaman hukumannya, hukuman mati atau penjara seumur hidup. Kalau undang-undang perikanan dapat dipidana selama enam tahun penjara dan denda paling banyak Rp1,2 miliar," ujarnya.
Adapun 11 nelayan yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pengeboman ikan ini berinisial HE, MU, TA, SU, NAS, SO, FA, AF, JU, JN, dan SY. "Mereka ini semua warga Bima yang keseharian-nya sebagai nelayan," ucap dia.
Lebih lanjut, Kobul mengatakan bahwa pihaknya menangani kasus ini berdasarkan hasil temuan tim patroli perairan pada momentum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang berlangsung pada pertengahan Mei 2023 di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sebagai wilayah penyangga keamanan KTT ASEAN, Polda NTB mengerahkan personel polairud untuk menggiatkan patroli perairan di kawasan yang berbatasan langsung dengan Provinsi NTT.
"Jadi, pada momentum pengamanan KTT ASEAN itu tim patroli melihat ada tiga kapal nelayan yang beraktivitas melakukan penangkapan ikan di dekat Pulau Kelapa," ujarnya.
Sebagai bentuk pencegahan terhadap hal-hal yang dapat mengganggu kelancaran KTT ASEAN, tim patroli polairud menyambangi ketiga kapal tersebut dan menemukan peralatan yang berkaitan dengan aktivitas pengeboman ikan.
"Saat didekati, ternyata didapatkan puluhan botol berisi bubuk mesiu yang patut kami duga menjadi sarana untuk mengebom ikan di laut," kata dia.
Kobul pun meyakinkan bahwa saat pemeriksaan, pihaknya menemukan peralatan bom ikan itu pada ketiga kapal nelayan yang berisi 11 tersangka.
"Selain ada alat bom ikan, ada juga diamankan ikan hasil pengeboman dan detonator untuk memicu bahan peledak mesiu dan alat tangkap ikan lainnya," ujar Kobul.
Kabid Humas Polda NTB Kombes Arman Asmara Syarifuddin turut menyampaikan bahwa pihak kepolisian dalam persoalan ini tidak hanya berperan dalam proses penindakan. Melainkan, turut menggalakkan upaya pencegahan dengan memberikan penyuluhan oleh tim patroli polairud.
"Jadi, upaya-upaya pencegahan yang dapat merusak biota laut ini tetap kami laksanakan agar tidak ada lagi nelayan yang melakukan aksi pengeboman ikan," ujar Arman.
Dia pun berharap kasus ini dapat menjadi bahan pembelajaran bagi masyarakat, khususnya kepada para nelayan untuk lebih peduli terhadap keberlangsungan biota laut.
"Apalagi nelayan, mereka yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut. Karena itu, penting untuk kita semua menjaga kondisi laut kita agar tetap baik," ucapnya.