Jakarta (Antara NTB) - Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan menghidupkan lokalisasi berarti mendukung praktik perbudakan.
Menurutnya, motif ekonomi bukan menjadi alasan utama dari persoalan prostitusi, melainkan di sana terdapat tuntutan gaya hidup (life style) yang harus dipenuhi dari keinginan bukan kebutuhan hidupnya.
"Prostitusi bukan masalah ekonomi semata. Tapi terkait gaya hidup yang memaksa sesorang untuk memenuhi keinginan bukan kebutuhan hidupnya," kata Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pada Rakornas Penanganan WTS dan Gepeng di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan perlu membuka nawa cita pada butir ke delapan dan sembilan, yaitu revolusi karakter dan restorasi sosial. Melalui revolusi karakter diajak pada perubahan fundamental, sehingga kesejahteraan bisa tercipta dengan baik di tengah-tengah masyarakat.
"Bentuk sederhana dari aplikatif di atas, bisa melalui dengan saling membantu, saling menolong, tulus saling mendoakan, serta saling siturahmi antara satu dengan yang lainnya," ujarnya.
Dalam prostitusi, kata dia, terdapat kumpulan berbagai masalah. Misalnya, terjadinya perbudakan, eksploitasi seksual, eksploirasi ekonomi, perdagangan manusia serta berbagai tindak kejahatan lainnya.
"Prostitusi merupakan kejahatan yang mesti didekati dari berbagai sisi. Namun, ada upaya dari pihak tidak bertanggung jawab agar prostitusi itu dianggap tidak kriminal, tentu saja hal ini berbahaya," ucap Khofifah.
Kementerian Sosial (Kemenos) meminta agar dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tekait Rancangan Undang-Undang (RUU) dimasukan tentang kekerasan dan kejahatan seksual.
"Jika ada pihak yang berkeinginan untuk membuat lokalisasi prostitusi, berarti langkah mundur dan mendukung perbudakan, tindak kriminalitas, serta perdagangan manusia," katanya.
Melalui rakornas yang digelar hari ini, diharapkan bisa memetakan masalah dan mencari solusi terbaik untuk mengatasinya. Termasuk, dalam penanganan WTS maupun terhadap gelandangan pengemis (gepeng). "Harus diakui, selama ini ada kesan saling lempar tanggung jawab antara satu daerah dengan daerah lainnya dalam penanganan WTS maupun gepeng," ujarnya.
Rakornas akan membahas selain pemetaan, juga strategi-strategi yang dilakukan pemerintah daerah (pemda), sekaligus masing-masing intervensi pemda melalui APBD, kehadiran panti, dan rumah sakit.
Dengan pemetaan semakin jelas, tentu akan diketahui berapa banyak panti, rumah sakit yang menangani psikotik, dukungan APBD dan private sector, berapa eks WTS yang telah dibina, serta berapa lokalisasi yang bisa ditutup.
"Pemetaan berbagai persoalan, menjadikan strategi, anggaran dan metode semakin semakin jelas dan bisa dilakukan penanganannya denga tepat," kata Khofifah.
Terkait wilayah tertentu bebas gepeng yang ditargetkan sekian lama dan dengan metode tertentu. Kemensos tidak berangan-angan dan manargetkan tanpa didasari data, peta masalah serta anggaran.
"Saya tidak bisa berandai-andai, suatu daerah bebas gepeng tahun sekian. Tapi peta masalah seperti apa dan datanya bagaimana untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi," ujarnya.
Terkait prostitusi yang merambah melalui dunia maya. Peran lingkungan Rukun Tetangga (RT) bisa menjadi daya rekat untuk mengontrol warga, sekaligus menghadirkan sanksi sosial agar bisa lebih efektif.
"Dibutuhkan pendidikan karakter, termasuk bagi para siswa di sekolah. Jangan sampai bisnis membawa dampak negatif terhadap karakter bangsa, silakan bisnis tapi tidak usah mengganggu karakter anak bangsa," kata Khofifah meminta.
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial, dibutuhkan payung hukum jelas. Dalam UU No. 74 dan PP No 80 dengan Keppres tahun 1983, regulasi masih besifat sentralistik dan saat ini Kemensos menyiapkan draft untuk menjadi Perpes.
UU pokok kesejahteraan sosial secara eksplisit diatur dalam PP 1980 dan Kepres 1983. Tapi UU tersebut tidak belaku dan diganti UU tahun 2009 yang tidak spesifik mengatur WTS dan gepeng.
"Kemensos berkoordinasi dengan Kemdagri, gepeng dan pemulung bisa didata dengan finger print dan mendapatkan NIK dan bisa mendapatkan perlindungan sosial dan anak-anak mereka bisa bersekolah, " ujarnya. (*)
Menurutnya, motif ekonomi bukan menjadi alasan utama dari persoalan prostitusi, melainkan di sana terdapat tuntutan gaya hidup (life style) yang harus dipenuhi dari keinginan bukan kebutuhan hidupnya.
"Prostitusi bukan masalah ekonomi semata. Tapi terkait gaya hidup yang memaksa sesorang untuk memenuhi keinginan bukan kebutuhan hidupnya," kata Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa pada Rakornas Penanganan WTS dan Gepeng di Jakarta, Jumat.
Ia mengatakan perlu membuka nawa cita pada butir ke delapan dan sembilan, yaitu revolusi karakter dan restorasi sosial. Melalui revolusi karakter diajak pada perubahan fundamental, sehingga kesejahteraan bisa tercipta dengan baik di tengah-tengah masyarakat.
"Bentuk sederhana dari aplikatif di atas, bisa melalui dengan saling membantu, saling menolong, tulus saling mendoakan, serta saling siturahmi antara satu dengan yang lainnya," ujarnya.
Dalam prostitusi, kata dia, terdapat kumpulan berbagai masalah. Misalnya, terjadinya perbudakan, eksploitasi seksual, eksploirasi ekonomi, perdagangan manusia serta berbagai tindak kejahatan lainnya.
"Prostitusi merupakan kejahatan yang mesti didekati dari berbagai sisi. Namun, ada upaya dari pihak tidak bertanggung jawab agar prostitusi itu dianggap tidak kriminal, tentu saja hal ini berbahaya," ucap Khofifah.
Kementerian Sosial (Kemenos) meminta agar dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tekait Rancangan Undang-Undang (RUU) dimasukan tentang kekerasan dan kejahatan seksual.
"Jika ada pihak yang berkeinginan untuk membuat lokalisasi prostitusi, berarti langkah mundur dan mendukung perbudakan, tindak kriminalitas, serta perdagangan manusia," katanya.
Melalui rakornas yang digelar hari ini, diharapkan bisa memetakan masalah dan mencari solusi terbaik untuk mengatasinya. Termasuk, dalam penanganan WTS maupun terhadap gelandangan pengemis (gepeng). "Harus diakui, selama ini ada kesan saling lempar tanggung jawab antara satu daerah dengan daerah lainnya dalam penanganan WTS maupun gepeng," ujarnya.
Rakornas akan membahas selain pemetaan, juga strategi-strategi yang dilakukan pemerintah daerah (pemda), sekaligus masing-masing intervensi pemda melalui APBD, kehadiran panti, dan rumah sakit.
Dengan pemetaan semakin jelas, tentu akan diketahui berapa banyak panti, rumah sakit yang menangani psikotik, dukungan APBD dan private sector, berapa eks WTS yang telah dibina, serta berapa lokalisasi yang bisa ditutup.
"Pemetaan berbagai persoalan, menjadikan strategi, anggaran dan metode semakin semakin jelas dan bisa dilakukan penanganannya denga tepat," kata Khofifah.
Terkait wilayah tertentu bebas gepeng yang ditargetkan sekian lama dan dengan metode tertentu. Kemensos tidak berangan-angan dan manargetkan tanpa didasari data, peta masalah serta anggaran.
"Saya tidak bisa berandai-andai, suatu daerah bebas gepeng tahun sekian. Tapi peta masalah seperti apa dan datanya bagaimana untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi," ujarnya.
Terkait prostitusi yang merambah melalui dunia maya. Peran lingkungan Rukun Tetangga (RT) bisa menjadi daya rekat untuk mengontrol warga, sekaligus menghadirkan sanksi sosial agar bisa lebih efektif.
"Dibutuhkan pendidikan karakter, termasuk bagi para siswa di sekolah. Jangan sampai bisnis membawa dampak negatif terhadap karakter bangsa, silakan bisnis tapi tidak usah mengganggu karakter anak bangsa," kata Khofifah meminta.
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial, dibutuhkan payung hukum jelas. Dalam UU No. 74 dan PP No 80 dengan Keppres tahun 1983, regulasi masih besifat sentralistik dan saat ini Kemensos menyiapkan draft untuk menjadi Perpes.
UU pokok kesejahteraan sosial secara eksplisit diatur dalam PP 1980 dan Kepres 1983. Tapi UU tersebut tidak belaku dan diganti UU tahun 2009 yang tidak spesifik mengatur WTS dan gepeng.
"Kemensos berkoordinasi dengan Kemdagri, gepeng dan pemulung bisa didata dengan finger print dan mendapatkan NIK dan bisa mendapatkan perlindungan sosial dan anak-anak mereka bisa bersekolah, " ujarnya. (*)