Jakarta (ANTARA) - Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin menyatakan keputusan menghapus mandatory spending dalam Undang-undang Kesehatan didasari atas fakta bahwa manfaat kesehatan tidak ditentukan oleh besaran nominal uang yang dikeluarkan.
"Besarnya spending (pengeluaran) tidak menentukan kualitas dari outcome (manfaat). Tidak ada data yang membuktikan semakin besar spending, derajat kesehatannya makin baik," kata Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin usai menghadiri Rapat Paripurna RUU Kesehatan di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa.
Budi mengatakan, pengeluaran kesehatan didorong oleh kebutuhan untuk hidup sehat, dengan harapan usia hidup seseorang lebih panjang. Atas alasan itu, kata Budi, maka besaran nominal pengeluaran kesehatan di suatu negara didasari atas angka rata-rata usia hidup masyarakatnya.
Budi telah mempelajari pengeluaran individu masyarakat di dunia untuk membiayai kesehatannya, salah satunya Amerika Serikat sebagai negara dengan pengeluaran dana kesehatan terbesar, senilai 12.000 Dollar AS perkapita dengan angka rata-rata usia hidup 80 tahun. Angka harapan hidup yang sama selama 80 tahun juga dimiliki rakyat Kuba, tapi dengan pengeluaran dana kesehatan perkapita yang lebih sedikit dari AS, senilai 1.900 Dollar AS, kata Budi.
Demikian juga dengan Jepang, dengan angka harapan hidup yang termasuk tinggi, rata-rata berusia 80 tahun dengan pengeluaran dana kesehatan 4.800 dollar AS perkapita. Masyarakat Korea Selatan rata-rata berusia hidup 80 tahun dengan pengeluaran 3.600 dollar AS perkapita, Singapura rata-rata 84 tahun dengan pengeluaran 2.600 dollar AS perkapita.
Selain itu, ada kecenderungan transaksi layanan kesehatan yang melibatkan masyarakat dengan pemberi jasa tidak dibuka secara transparan. "Keadaan itu membuktikan bahwa sistem kesehatan di seluruh negara ini bukan perkataan saya, saya quote dari seorang ahli, itu sangat tidak transparan," katanya.
Budi mencontohkan, adanya perbedaan tarif jasa layanan sunat di fasilitas kesehatan puskesmas dan rumah sakit vertikal. "Orang misalnya disunat di puskesmas, biayanya berapa. Dia sudah ke RSUD berapa kali?, kami enggak tahu. Dia disunat di RS vertikalnya Kemenkes RI berapa kali?, kami enggak bisa jawab," katanya.
Menurut Budi, kebijakan terbaru pengganti mandatory spending harus didasari atas manfaat yang mereka terima, bukan bergantung pada besaran nominal uang yang dikeluarkan. "Bapak Presiden Joko Widodo juga sempat berbicara beberapa kali, uangnya (mandatory spending) dipakai buat apa?. Saya mengalami sebagai menteri, banyak betul uang yang dipakainya kemudian enggak jelas," katanya.
Baca juga: Lombok Tengah berkolaborasi dengan Baznas untuk menurunkan stunting
Baca juga: Health insurance JKN becomes model for other Asian countries
Budi mengatakan pemerintah sepakat mengganti kebijakan mandatory spending sebagai pengeluaran negara yang diatur oleh undang-undang dengan penganggaran berbasis kinerja yang mengacu program kesehatan nasional dalam rencana induk bidang kesehatan. Rencana induk bidang kesehatan itu dapat menjadi pedoman jelas bagi Pemerintah Pusat dan daerah dalam mengalokasikan kebutuhan anggaran program kesehatan bagi masyarakatnya.
"Besarnya spending (pengeluaran) tidak menentukan kualitas dari outcome (manfaat). Tidak ada data yang membuktikan semakin besar spending, derajat kesehatannya makin baik," kata Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin usai menghadiri Rapat Paripurna RUU Kesehatan di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa.
Budi mengatakan, pengeluaran kesehatan didorong oleh kebutuhan untuk hidup sehat, dengan harapan usia hidup seseorang lebih panjang. Atas alasan itu, kata Budi, maka besaran nominal pengeluaran kesehatan di suatu negara didasari atas angka rata-rata usia hidup masyarakatnya.
Budi telah mempelajari pengeluaran individu masyarakat di dunia untuk membiayai kesehatannya, salah satunya Amerika Serikat sebagai negara dengan pengeluaran dana kesehatan terbesar, senilai 12.000 Dollar AS perkapita dengan angka rata-rata usia hidup 80 tahun. Angka harapan hidup yang sama selama 80 tahun juga dimiliki rakyat Kuba, tapi dengan pengeluaran dana kesehatan perkapita yang lebih sedikit dari AS, senilai 1.900 Dollar AS, kata Budi.
Demikian juga dengan Jepang, dengan angka harapan hidup yang termasuk tinggi, rata-rata berusia 80 tahun dengan pengeluaran dana kesehatan 4.800 dollar AS perkapita. Masyarakat Korea Selatan rata-rata berusia hidup 80 tahun dengan pengeluaran 3.600 dollar AS perkapita, Singapura rata-rata 84 tahun dengan pengeluaran 2.600 dollar AS perkapita.
Selain itu, ada kecenderungan transaksi layanan kesehatan yang melibatkan masyarakat dengan pemberi jasa tidak dibuka secara transparan. "Keadaan itu membuktikan bahwa sistem kesehatan di seluruh negara ini bukan perkataan saya, saya quote dari seorang ahli, itu sangat tidak transparan," katanya.
Budi mencontohkan, adanya perbedaan tarif jasa layanan sunat di fasilitas kesehatan puskesmas dan rumah sakit vertikal. "Orang misalnya disunat di puskesmas, biayanya berapa. Dia sudah ke RSUD berapa kali?, kami enggak tahu. Dia disunat di RS vertikalnya Kemenkes RI berapa kali?, kami enggak bisa jawab," katanya.
Menurut Budi, kebijakan terbaru pengganti mandatory spending harus didasari atas manfaat yang mereka terima, bukan bergantung pada besaran nominal uang yang dikeluarkan. "Bapak Presiden Joko Widodo juga sempat berbicara beberapa kali, uangnya (mandatory spending) dipakai buat apa?. Saya mengalami sebagai menteri, banyak betul uang yang dipakainya kemudian enggak jelas," katanya.
Baca juga: Lombok Tengah berkolaborasi dengan Baznas untuk menurunkan stunting
Baca juga: Health insurance JKN becomes model for other Asian countries
Budi mengatakan pemerintah sepakat mengganti kebijakan mandatory spending sebagai pengeluaran negara yang diatur oleh undang-undang dengan penganggaran berbasis kinerja yang mengacu program kesehatan nasional dalam rencana induk bidang kesehatan. Rencana induk bidang kesehatan itu dapat menjadi pedoman jelas bagi Pemerintah Pusat dan daerah dalam mengalokasikan kebutuhan anggaran program kesehatan bagi masyarakatnya.