Mataram (ANTARA) - Penyidik kejaksaan menelusuri aset berharga milik tersangka kasus dugaan korupsi pemerasan dalam pengadaan barang atau jasa yang berasal dari dana Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumbawa, Nusa Tenggara Barat(NTT) tahun anggaran 2022.
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Sumbawa Indra Zulkarnaen melalui sambungan telepon, Senin, mengungkapkan baru ada satu aset berharga milik tersangka DHB yang berhasil masuk dalam pendataan.
"Iya, sudah ada satu aset, itu di Sumbawa. Jadi, masih harus telusuri semua," kata Indra.
Dalam upaya penelusuran aset berharga milik mantan Direktur RSUD Sumbawa tersebut, dia meyakinkan bahwa pihaknya masih melakukan secara mandiri. Belum ada rencana menggandeng ahli, dalam hal ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Menurut dia, PPATK hanya memiliki keahlian di bidang penelusuran aliran dana. Berbeda dengan kasus tersangka DHB yang mengarah pada dugaan pemerasan dengan modus menarik keuntungan dalam setiap pencairan anggaran proyek.
"Kalau koordinasi dengan PPATK itu 'kan terkait aliran dana. Kalau ini 'kan persoalan fee proyek, tidak langsung masuk ke dia (tersangka DHB), tetapi lewat Zaenuri," ujarnya.
Menurut informasi, Zaenuri merupakan orang kepercayaan tersangka DHB saat masih aktif menjabat sebagai Direktur RSUD Sumbawa.
Indra pun membenarkan hal tersebut. Bahkan, usai melakukan penarikan fee proyek, Zaenuri terungkap menyetorkan fee proyek kepada tersangka DHB. Bukti adanya peran Zaenuri ini turut masuk dalam kelengkapan berkas perkara.
Perihal rencana tersangka akan buka mulut tentang keterlibatan orang lain yang turut menikmati dana BLUD RSUD Sumbawa, Indra mempersilakan karena hal tersebut menjadi hak tersangka.
"Silakan mau buka sendiri atau kami yang akan buka (keterlibatan orang lain). Dia mau tutup atau mau buka yang rugi juga siapa?" ucap dia.
Penyidik dalam kasus ini menetapkan DHB sebagai tersangka dengan menerapkan sangkaan Pasal 12 huruf e juncto Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Pihak kejaksaan menetapkan DHB sebagai tersangka berdasarkan adanya alat bukti yang menguatkan adanya pidana korupsi pemerasan. Salah satunya, terkait kerugian negara hasil hitung mandiri dengan nilai sedikitnya Rp1 miliar.
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Sumbawa Indra Zulkarnaen melalui sambungan telepon, Senin, mengungkapkan baru ada satu aset berharga milik tersangka DHB yang berhasil masuk dalam pendataan.
"Iya, sudah ada satu aset, itu di Sumbawa. Jadi, masih harus telusuri semua," kata Indra.
Dalam upaya penelusuran aset berharga milik mantan Direktur RSUD Sumbawa tersebut, dia meyakinkan bahwa pihaknya masih melakukan secara mandiri. Belum ada rencana menggandeng ahli, dalam hal ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Menurut dia, PPATK hanya memiliki keahlian di bidang penelusuran aliran dana. Berbeda dengan kasus tersangka DHB yang mengarah pada dugaan pemerasan dengan modus menarik keuntungan dalam setiap pencairan anggaran proyek.
"Kalau koordinasi dengan PPATK itu 'kan terkait aliran dana. Kalau ini 'kan persoalan fee proyek, tidak langsung masuk ke dia (tersangka DHB), tetapi lewat Zaenuri," ujarnya.
Menurut informasi, Zaenuri merupakan orang kepercayaan tersangka DHB saat masih aktif menjabat sebagai Direktur RSUD Sumbawa.
Indra pun membenarkan hal tersebut. Bahkan, usai melakukan penarikan fee proyek, Zaenuri terungkap menyetorkan fee proyek kepada tersangka DHB. Bukti adanya peran Zaenuri ini turut masuk dalam kelengkapan berkas perkara.
Perihal rencana tersangka akan buka mulut tentang keterlibatan orang lain yang turut menikmati dana BLUD RSUD Sumbawa, Indra mempersilakan karena hal tersebut menjadi hak tersangka.
"Silakan mau buka sendiri atau kami yang akan buka (keterlibatan orang lain). Dia mau tutup atau mau buka yang rugi juga siapa?" ucap dia.
Penyidik dalam kasus ini menetapkan DHB sebagai tersangka dengan menerapkan sangkaan Pasal 12 huruf e juncto Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Pihak kejaksaan menetapkan DHB sebagai tersangka berdasarkan adanya alat bukti yang menguatkan adanya pidana korupsi pemerasan. Salah satunya, terkait kerugian negara hasil hitung mandiri dengan nilai sedikitnya Rp1 miliar.