Praya, Lombok Tengah (ANTARA) - Larangan ekspor Benih Bening Lobster (BBL) membuat nelayan di berbagai daerah terjepit. Mereka tak bisa melakukan budidaya karena keterbatasan alat, namun juga tak bisa menangkap BBL atau benur karena terbentur aturan.
Salah satu nelayan, Ismail (38), mengaku pernah digerebek oleh aparat karena menangkap BBL. Mirisnya, saat itu anak dan istrinya yang dibawa ke kantor polisi, karena ia sedang tidak ada di rumah.
"Sekitar 4 tahun yang lalu pernah digerebek di rumah. Saya nggak di rumah, yang dibawa istri dan anak saya. Dibawa sama BB-nya (barang bukti) sedikit," kata Ismail di Pantai Bumbang, Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Sabtu (12/8).
Ismail menyampaikan hal ini dalam acara silaturahmi bersama Pegiat Budidaya Lobster Nusantara (PBLN). Hadir dalam acara ini Wakil Ketua PBLN Syaifullah, Sekretaris PBLN Miea Kusuma, perwakilan PBLN NTB Ma'ruf, Kepala Desa Mertak Muhammad Syahnan, dan ratusan nelayan dari Desa Mertak.
Ismail menyebut, istri dan anaknya sempat tertahan di kantor polisi selama seharian. Mereka bisa bebas setelah Ismail menyerahkan bukti izin budidaya yang memang telah dikantonginya.
"Bisa pulangnya karena kan kita pakai izin budidaya," kata bapak tiga anak ini.
Ismail bercerita, keluarganya pernah hidup sejahtera sekitar tahun 2012-2015 saat penangkapan BBL dilegalkan. Bahkan harga BBL saat itu bisa mencapai Rp 50 ribu per ekor.
"Harga tertinggi pernah Rp50 ribu per ekor. Kita pernah hidup sejahtera. Orang di Praya (Lombok Praya) punya toko, kita bisa belanja, (uangnya) hasil dari lobster," tutur warga asal Desa Mertak ini.
Saat ini, harga BBL hanya berkisar Rp 1-2 ribu per ekor. Itu pun, jumlah yang bisa terjual sangat sedikit karena keramba untuk budidaya hanya ada di Lombok Timur (Lotim) dan jumlahnya sangat terbatas.
"Kadang sebulan, 2 bulan, kalau buka keramba di Lotim, baru kita bisa buka ke sana. Itu pun kalau masih ada stok. Kalau tidak ada keramba, kita berhenti," keluhnya.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Penggiat Budidaya Lobster Nusantara (PBLN ) Syaifullah mengaku akan menyampaikan keluhan tersebut ke DPR.
"Harapan kita ke depan terlepas itu budidaya ataupun ekspor, yang penting legal. Kalau legal kan enak," tuturnya.
Dia kembali menjelaskan, jumlah BBL di perairan Indonesia mencapai 278,3 miliar ekor per tahun, dan NTB salah satu wilayah yang jumlahnya paling banyak.
"Apakah berkurang yang ada di laut? Nggak. Tidak akan berkurang. 278,3 miliar BBL di laut itu tidak kita ambil akan dimakan predator, apa salahnya diambil," katanya.
Salah satu nelayan, Ismail (38), mengaku pernah digerebek oleh aparat karena menangkap BBL. Mirisnya, saat itu anak dan istrinya yang dibawa ke kantor polisi, karena ia sedang tidak ada di rumah.
"Sekitar 4 tahun yang lalu pernah digerebek di rumah. Saya nggak di rumah, yang dibawa istri dan anak saya. Dibawa sama BB-nya (barang bukti) sedikit," kata Ismail di Pantai Bumbang, Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Sabtu (12/8).
Ismail menyampaikan hal ini dalam acara silaturahmi bersama Pegiat Budidaya Lobster Nusantara (PBLN). Hadir dalam acara ini Wakil Ketua PBLN Syaifullah, Sekretaris PBLN Miea Kusuma, perwakilan PBLN NTB Ma'ruf, Kepala Desa Mertak Muhammad Syahnan, dan ratusan nelayan dari Desa Mertak.
Ismail menyebut, istri dan anaknya sempat tertahan di kantor polisi selama seharian. Mereka bisa bebas setelah Ismail menyerahkan bukti izin budidaya yang memang telah dikantonginya.
"Bisa pulangnya karena kan kita pakai izin budidaya," kata bapak tiga anak ini.
Ismail bercerita, keluarganya pernah hidup sejahtera sekitar tahun 2012-2015 saat penangkapan BBL dilegalkan. Bahkan harga BBL saat itu bisa mencapai Rp 50 ribu per ekor.
"Harga tertinggi pernah Rp50 ribu per ekor. Kita pernah hidup sejahtera. Orang di Praya (Lombok Praya) punya toko, kita bisa belanja, (uangnya) hasil dari lobster," tutur warga asal Desa Mertak ini.
Saat ini, harga BBL hanya berkisar Rp 1-2 ribu per ekor. Itu pun, jumlah yang bisa terjual sangat sedikit karena keramba untuk budidaya hanya ada di Lombok Timur (Lotim) dan jumlahnya sangat terbatas.
"Kadang sebulan, 2 bulan, kalau buka keramba di Lotim, baru kita bisa buka ke sana. Itu pun kalau masih ada stok. Kalau tidak ada keramba, kita berhenti," keluhnya.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Penggiat Budidaya Lobster Nusantara (PBLN ) Syaifullah mengaku akan menyampaikan keluhan tersebut ke DPR.
"Harapan kita ke depan terlepas itu budidaya ataupun ekspor, yang penting legal. Kalau legal kan enak," tuturnya.
Dia kembali menjelaskan, jumlah BBL di perairan Indonesia mencapai 278,3 miliar ekor per tahun, dan NTB salah satu wilayah yang jumlahnya paling banyak.
"Apakah berkurang yang ada di laut? Nggak. Tidak akan berkurang. 278,3 miliar BBL di laut itu tidak kita ambil akan dimakan predator, apa salahnya diambil," katanya.