Mataram (ANTARA) - Tepatnya di bawah kaki Gunung Rinjani atau di Desa Sembalun Bumbung, Lombok Timur. Rumah kecil dekat mushala itu menjadi saksi bisu perjalanannya. Ruangannya adalah gabungan antara studio lukis, tempat tidur, dan ruang tamu.
Di sudut ruangan tersebut, terdapat meja kayu tua, terletak di dekat jendela kaca, permukaannya dipenuhi coretan dan beberapa kuas berbagai ukuran. Dengan beberapa hiasan karya yang tertempel di dinding, dan aroma cat yang menguar, di sanalah ia melukis imajinasinya.
Panggilan singkatnya, Bayf, bagi warga desa itu, sudah tidak asing dengan nama itu. Padahal nama sebenarnya adalah Rudini. Sebutan alias Bayf itu sudah kadung tersemat pada lelaki berusia 31 tahun yang kini terukir sebagai nama penanya di bawah kanvas.
Masa kecilnya adalah sepenggal kisah pahit yang diwarnai oleh kilatan petir rasa sakit, mendung gelapnya depresi, dan angin berdesir kehilangan yang menghempaskan hatinya ke jurang kelam. Di jalan yang bernama kehidupan itu, puncak kepedihan tiba saat sang ibu, dipanggil oleh waktu. Dunianya pun merayap ke dalam kegelapan yang lebih dalam.
Tak heran saat melihat karya lukisnya, seakan menjadi perwujudan dari emosi yang bergelora di dalam dirinya. Setiap warna yang dipilih terasa seperti lapisan rasa sakit yang mengisi kanvasnya dengan kegelapan dan terang. Setiap sapuan kuasnya adalah ekspresi dalam bahasa diam yang menggambarkan pertempuran yang tak kunjung usai.
Apakah dia jebolan sarjana seni? Jawabannya "Tidak". Bahkan hanya sampai di ambang pintu SMA yang tak pernah ia lewati. Lantas darimana ia belajar melukis?, Sejak kapan?, dan Siapa inspirasi terbesarnya?.
"Saya tidak pernah mendapatkan pelajaran seni formal, namun sejak dulu saya memang sudah memiliki hasrat dan keinginan yang kuat untuk melukis," katanya.
Latihan demi latihan adalah nyanyian yang selalu dia senandungkan setiap hari. Tiap titik, coretan, dan praktik bagai batu loncatan menuju kemahiran yang lebih tinggi. Tak ada istirahat dalam perjalanan ini, maka dari itu hasrat dan cinta pada seni adalah sumber energinya untuk terus mengasah diri.
Kemudian yang tersisa dari ingatan masa kanak-kanaknya adalah tangan mungil seorang anak SD yang memegang pensil tengah menggambar tokoh dalam cerita "Journey to The West" atau di Indonesia familiar dengan judul serial Kera sakti "Sun Go Kong".
Siapa yang tahu jatuh bangunnya. Proses panjang menggapai impian tak semulus kanvas putih. Masa muda yang mestinya digunakan untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya, ia menggunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Ia pernah merantau ke Bali, di sana ia mencari peruntungan sebagai kuli bangunan, pernah menjadi tukang sapu, dan pelayan di salah satu bar di sana. Pekerjaan apapun yang bisa menghasilkan pundi-pundi uang tak sempat membuat hatinya malu.
Namun seperti sebuah jiwa yang saling mencari satu sama lain, antara kuas dan kanvas, Rudini dan seni, tidak bisa dipisahkan. Jauh di lubuk hati terdalam keinginan menjadi seniman lukis tak pernah padam.
Ibarat sebuah ungkapan "Lakukan sepenuh hati atau tidak sama sekali". Pergulatan panjang memilih jalan hidup yang akan dijalani membawanya ke kesepakatan untuk pulang ke kampung halaman. Pulang untuk merajut kembali mimpi yang hampir putus. Pulang untuk memberi kabar pada dunia bahwa ia akan menjadi pelukis hebat.
Jangan salah karya lukisannya itu sudah tembus ke mancanegara seperti Jerman dan Australia. "Harga lukisan yang dibeli oleh peminat dari Jerman dan Australia itu di kisaran antara Rp3,5 juta sampai Rp4 juta per lukisan," katanya.
Proses melukis
Pertama-tama ia memulai dengan fokus yang mendalam, merenungkan konsep, atau ide di balik lukisannya, mencoba memahami pesan yang ingin ia sampaikan, baru setelah itu mengambil kuas dan siap melukis.
Dengan tangan yang penuh perasaan, ia memegang kuas, dan menggerakkan jari-jemarinya turun naik, berulang-ulang, hingga sesuai dengan apa yang diinginkan. Sentuhan kuasnya mengalir dengan lancar di atas kanvas.
Sedikit demi sedikit sebuah garis, titik, lengkungan, perlahan tercipta, itu adalah objek awal yang membangun dasar lukisannya. Ia dengan teliti memperhatikan bagian kecil pada objek yang digambar, baginya saat itulah ia merasa arus kreativitasnya mengalir deras.
Sesekali ia berhenti untuk menggeliat, mengatur posisi tulang punggungnya, atau sekedar meregangkan persendian yang sudah mulai pegal, karena untuk membuat satu lukisan, membutuhkan waktu berjam-jam bahkan sampai berhari-hari.
Saat lukisan selesai, ia akan melihat karya itu dengan bangga, kanvas yang tadinya kosong menjelma sesuatu yang indah dan bermakna. Baginya proses melukis adalah perjalanan spiritual yang mendalam, di mana dia menyampaikan pikiran, perasaan, dan ide-idenya kepada dunia melalui apa yang diciptakannya.
“Saya merasa bebas saat melukis, semua beban, luka, atau penderitaan kadang tidak terasa saat saya menggoreskan kuas di kanvas. Mungkin itu yang dinamakan panggilan jiwa,” katanya.
Sampai sekarang sudah ada puluhan karya yang berhasil dibuat. Peminatnya datang dari berbagai kalangan, mulai dari pemuda, pejabat, hingga kolektor pernah membeli lukisannya. Bila hari berkunjung ke salah satu tempat nongkrong di Sembalun, akan ditemui terpampang pada dinding kedai-kedai di sana.
Pada suatu kesempatan ketika ia sedang melakukan pameran di salah satu hotel di Pulau Lombok. Lukisannya berhasil memikat perhatian banyak pengunjung, baik itu lokal maupun mancanegara. Suatu kehormatan baginya mendapat apresiasi untuk karya seninya.
Dalam salah satu lukisan yang berjudul "Kebebasan Materil" seorang pemuda tampa sehelai benang ditubuhnya mengepalkan tangan seakan menyatakan bahwa ia tidak membutuhkannya. Sorot matanya menunjukkan kemarahan.
Tergurat pada garis-garis di dahinya, rasa kesal yang teramat dalam kepada keadaan dunia saat ini. Keadaan di mana semua orang berlomba memperkaya diri dengan pakaian mewah dan aksesoris mahal penuh dengan ambisi mengejar keinginan yang takkan ada habisnya.
Di sudut ruangan tersebut, terdapat meja kayu tua, terletak di dekat jendela kaca, permukaannya dipenuhi coretan dan beberapa kuas berbagai ukuran. Dengan beberapa hiasan karya yang tertempel di dinding, dan aroma cat yang menguar, di sanalah ia melukis imajinasinya.
Panggilan singkatnya, Bayf, bagi warga desa itu, sudah tidak asing dengan nama itu. Padahal nama sebenarnya adalah Rudini. Sebutan alias Bayf itu sudah kadung tersemat pada lelaki berusia 31 tahun yang kini terukir sebagai nama penanya di bawah kanvas.
Masa kecilnya adalah sepenggal kisah pahit yang diwarnai oleh kilatan petir rasa sakit, mendung gelapnya depresi, dan angin berdesir kehilangan yang menghempaskan hatinya ke jurang kelam. Di jalan yang bernama kehidupan itu, puncak kepedihan tiba saat sang ibu, dipanggil oleh waktu. Dunianya pun merayap ke dalam kegelapan yang lebih dalam.
Tak heran saat melihat karya lukisnya, seakan menjadi perwujudan dari emosi yang bergelora di dalam dirinya. Setiap warna yang dipilih terasa seperti lapisan rasa sakit yang mengisi kanvasnya dengan kegelapan dan terang. Setiap sapuan kuasnya adalah ekspresi dalam bahasa diam yang menggambarkan pertempuran yang tak kunjung usai.
Apakah dia jebolan sarjana seni? Jawabannya "Tidak". Bahkan hanya sampai di ambang pintu SMA yang tak pernah ia lewati. Lantas darimana ia belajar melukis?, Sejak kapan?, dan Siapa inspirasi terbesarnya?.
"Saya tidak pernah mendapatkan pelajaran seni formal, namun sejak dulu saya memang sudah memiliki hasrat dan keinginan yang kuat untuk melukis," katanya.
Latihan demi latihan adalah nyanyian yang selalu dia senandungkan setiap hari. Tiap titik, coretan, dan praktik bagai batu loncatan menuju kemahiran yang lebih tinggi. Tak ada istirahat dalam perjalanan ini, maka dari itu hasrat dan cinta pada seni adalah sumber energinya untuk terus mengasah diri.
Kemudian yang tersisa dari ingatan masa kanak-kanaknya adalah tangan mungil seorang anak SD yang memegang pensil tengah menggambar tokoh dalam cerita "Journey to The West" atau di Indonesia familiar dengan judul serial Kera sakti "Sun Go Kong".
Siapa yang tahu jatuh bangunnya. Proses panjang menggapai impian tak semulus kanvas putih. Masa muda yang mestinya digunakan untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya, ia menggunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Ia pernah merantau ke Bali, di sana ia mencari peruntungan sebagai kuli bangunan, pernah menjadi tukang sapu, dan pelayan di salah satu bar di sana. Pekerjaan apapun yang bisa menghasilkan pundi-pundi uang tak sempat membuat hatinya malu.
Namun seperti sebuah jiwa yang saling mencari satu sama lain, antara kuas dan kanvas, Rudini dan seni, tidak bisa dipisahkan. Jauh di lubuk hati terdalam keinginan menjadi seniman lukis tak pernah padam.
Ibarat sebuah ungkapan "Lakukan sepenuh hati atau tidak sama sekali". Pergulatan panjang memilih jalan hidup yang akan dijalani membawanya ke kesepakatan untuk pulang ke kampung halaman. Pulang untuk merajut kembali mimpi yang hampir putus. Pulang untuk memberi kabar pada dunia bahwa ia akan menjadi pelukis hebat.
Jangan salah karya lukisannya itu sudah tembus ke mancanegara seperti Jerman dan Australia. "Harga lukisan yang dibeli oleh peminat dari Jerman dan Australia itu di kisaran antara Rp3,5 juta sampai Rp4 juta per lukisan," katanya.
Proses melukis
Pertama-tama ia memulai dengan fokus yang mendalam, merenungkan konsep, atau ide di balik lukisannya, mencoba memahami pesan yang ingin ia sampaikan, baru setelah itu mengambil kuas dan siap melukis.
Dengan tangan yang penuh perasaan, ia memegang kuas, dan menggerakkan jari-jemarinya turun naik, berulang-ulang, hingga sesuai dengan apa yang diinginkan. Sentuhan kuasnya mengalir dengan lancar di atas kanvas.
Sedikit demi sedikit sebuah garis, titik, lengkungan, perlahan tercipta, itu adalah objek awal yang membangun dasar lukisannya. Ia dengan teliti memperhatikan bagian kecil pada objek yang digambar, baginya saat itulah ia merasa arus kreativitasnya mengalir deras.
Sesekali ia berhenti untuk menggeliat, mengatur posisi tulang punggungnya, atau sekedar meregangkan persendian yang sudah mulai pegal, karena untuk membuat satu lukisan, membutuhkan waktu berjam-jam bahkan sampai berhari-hari.
Saat lukisan selesai, ia akan melihat karya itu dengan bangga, kanvas yang tadinya kosong menjelma sesuatu yang indah dan bermakna. Baginya proses melukis adalah perjalanan spiritual yang mendalam, di mana dia menyampaikan pikiran, perasaan, dan ide-idenya kepada dunia melalui apa yang diciptakannya.
“Saya merasa bebas saat melukis, semua beban, luka, atau penderitaan kadang tidak terasa saat saya menggoreskan kuas di kanvas. Mungkin itu yang dinamakan panggilan jiwa,” katanya.
Sampai sekarang sudah ada puluhan karya yang berhasil dibuat. Peminatnya datang dari berbagai kalangan, mulai dari pemuda, pejabat, hingga kolektor pernah membeli lukisannya. Bila hari berkunjung ke salah satu tempat nongkrong di Sembalun, akan ditemui terpampang pada dinding kedai-kedai di sana.
Pada suatu kesempatan ketika ia sedang melakukan pameran di salah satu hotel di Pulau Lombok. Lukisannya berhasil memikat perhatian banyak pengunjung, baik itu lokal maupun mancanegara. Suatu kehormatan baginya mendapat apresiasi untuk karya seninya.
Dalam salah satu lukisan yang berjudul "Kebebasan Materil" seorang pemuda tampa sehelai benang ditubuhnya mengepalkan tangan seakan menyatakan bahwa ia tidak membutuhkannya. Sorot matanya menunjukkan kemarahan.
Tergurat pada garis-garis di dahinya, rasa kesal yang teramat dalam kepada keadaan dunia saat ini. Keadaan di mana semua orang berlomba memperkaya diri dengan pakaian mewah dan aksesoris mahal penuh dengan ambisi mengejar keinginan yang takkan ada habisnya.