Mataram (Antara NTB) - Ombudsman Perwakilan Nusa Tenggara Barat temukan indikasi pungutan liar dalam proses pengurusan sertifikat tanah melalui prona yang dilakukan aprat kelurahan di Kota Mataram.
"Dari hasil investigasi kami selama lima bulan pada tiga kelurahan di Kota Mataram, kami temukan adanya indikasi pungutan liar dalam pembuatan sertifikat prona tahun 2015-2016," kata Asisten Bidang Laporan Ombudsman RI Perwakilan NTB Sahabudin di Mataram, Rabu.
Sahabudin yang ditemui usai melaporkan hasil investigasi tersebut ke pada Penjabat Wali Kota Mataram mengatakan, dari hasil investigasi yang dilakukan sejak September hingga awal 2016 yang saat ini sedang berproses, masyarakat sasaran program prona membayar prona bervariasi.
"Ada yang membayar Rp500 ribu, Rp1 juta hingga Rp1,5 juta," sebutnya.
Padahal, kata dia, berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 4 tahun 2015, menyebutkan penerbitan prona bagi masyarakat menengah dan miskin diberikan gratis untuk pengurusan di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Karena itu, semua biaya penerbitan prona di BPN sudah ditanggung oleh APBN melalui DIPA BPN masing-masing daerah," ujarnya.
Tetapi, lanjutnya, pemohon atau sasaran prona harus melengkapi berbagai syarat yang ditentukan dengan menggunakan biaya sendiri.
Syarat tersebut antara lain, matrai, alas hak berupa surat atau dokumen jual beli/surat ahli waris, dan patok tanah.
"Dalam hal ini, mestinya aparat kelurahan membantu atau memfasilitasi masyarakat miskin dalam pengurusan alas hak, tetapi kalaupun ada biaya harus yang rasional tidak terlalu berlebihan," katanya.
Terkait dengan itu, dalam pertemuannya dengan Penjabat Wali Kota Mataram tersebut Ombudsman NTB memberikan rekomendasi agar pemerintah kota segera menindaklanjuti temuan Ombudsman tersebut.
"Seperti apa tindaklanjutnya itu sangat tergantung dari kepala daerah, kami sifatnya pengawasan dan memberikan rekomendasi," sebutnya.
Namun, lanjut Sahabudin, Ombudsman dalam hal ini ingin agar pemerintah kota meminta aparatnya mengembalikan pungutan penerbitan prona yang tidak sesuai, agar masyarakat miskin tidak dirugikan.
"Apalagi praktek ini termasuk indikasi tindak pidana," katanya menutup. (*)
"Dari hasil investigasi kami selama lima bulan pada tiga kelurahan di Kota Mataram, kami temukan adanya indikasi pungutan liar dalam pembuatan sertifikat prona tahun 2015-2016," kata Asisten Bidang Laporan Ombudsman RI Perwakilan NTB Sahabudin di Mataram, Rabu.
Sahabudin yang ditemui usai melaporkan hasil investigasi tersebut ke pada Penjabat Wali Kota Mataram mengatakan, dari hasil investigasi yang dilakukan sejak September hingga awal 2016 yang saat ini sedang berproses, masyarakat sasaran program prona membayar prona bervariasi.
"Ada yang membayar Rp500 ribu, Rp1 juta hingga Rp1,5 juta," sebutnya.
Padahal, kata dia, berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 4 tahun 2015, menyebutkan penerbitan prona bagi masyarakat menengah dan miskin diberikan gratis untuk pengurusan di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Karena itu, semua biaya penerbitan prona di BPN sudah ditanggung oleh APBN melalui DIPA BPN masing-masing daerah," ujarnya.
Tetapi, lanjutnya, pemohon atau sasaran prona harus melengkapi berbagai syarat yang ditentukan dengan menggunakan biaya sendiri.
Syarat tersebut antara lain, matrai, alas hak berupa surat atau dokumen jual beli/surat ahli waris, dan patok tanah.
"Dalam hal ini, mestinya aparat kelurahan membantu atau memfasilitasi masyarakat miskin dalam pengurusan alas hak, tetapi kalaupun ada biaya harus yang rasional tidak terlalu berlebihan," katanya.
Terkait dengan itu, dalam pertemuannya dengan Penjabat Wali Kota Mataram tersebut Ombudsman NTB memberikan rekomendasi agar pemerintah kota segera menindaklanjuti temuan Ombudsman tersebut.
"Seperti apa tindaklanjutnya itu sangat tergantung dari kepala daerah, kami sifatnya pengawasan dan memberikan rekomendasi," sebutnya.
Namun, lanjut Sahabudin, Ombudsman dalam hal ini ingin agar pemerintah kota meminta aparatnya mengembalikan pungutan penerbitan prona yang tidak sesuai, agar masyarakat miskin tidak dirugikan.
"Apalagi praktek ini termasuk indikasi tindak pidana," katanya menutup. (*)