Mataram (ANTARA) - Majelis hakim tingkat banding pada Pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat mengubah vonis hukuman Raden Hendra Taurus Sandi dan Ni Wayan Yuniarti, dua terdakwa korupsi pengelolaan anggaran periode 2017 sampai 2019 pada Puskesmas Babakan, Kota Mataram.

"Mengadili, menerima permintaan banding penasihat hukum kedua terdakwa dan penuntut umum dengan mengubah putusan pengadilan tingkat pertama," kata Mochammad Sholeh, ketua majelis hakim tingkat banding saat membacakan putusan kedua terdakwa dalam sidang terbuka melalui siaran langsung di kanal YouTube Pengadilan Tinggi NTB, Mataram, Selasa.

Sholeh menjelaskan bahwa hakim mengubah putusan kedua terdakwa terkait lamanya pidana hukuman untuk Raden Hendra, penerapan uang pengganti kerugian negara kedua terdakwa, dan subsider pidana denda untuk terdakwa dua.

"Dengan ini menjatuhkan pidana hukuman kepada terdakwa satu (Raden Hendra) selama 5 tahun dan denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan," ujarnya.

Turut menjatuhkan pidana hukuman kepada terdakwa dua yakni Ni Wayan Yuniarti selama 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan.

"Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa satu untuk membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp500 juta subsider 2 tahun kurungan," ucap dia.

Turut membebankan terdakwa dua membayar uang pengganti kerugian negara senilai Rp190 juta subsider 1 tahun kurungan.

Hakim menetapkan putusan demikian dengan menyatakan perbuatan terdakwa satu dan dua terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan primer penuntut umum.

Dakwaan tersebut berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

"Menetapkan masa penangkapan dan penahanan kedua terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Turut memerintahkan agar kedua terdakwa tetap dalam tahanan," kata Sholeh.

Terkait adanya penitipan uang senilai Rp1,35 juta dari terdakwa dua kepada jaksa diminta hakim untuk dirampas negara dan diperhitungkan sebagai bagian dari pembayaran uang pengganti kerugian negara yang dibebankan kepada terdakwa dua.

Dalam pertimbangan putusan, hakim menyatakan sepakat dengan laporan hasil pemeriksaan (LHP) perhitungan kerugian keuangan negara (PKKN) BPKP NTB senilai Rp690 juta.


Dari nilai kerugian tersebut, hakim sepakat dengan keterangan ahli dari BPKP NTB bahwa terdakwa satu telah menikmati kerugian negara senilai 70 persen dari Rp690 juta hasil audit, yakni sebesar Rp500 juta.

Sedangkan, untuk terdakwa dua telah menikmati 30 persen dari total kerugian negara dengan nilai Rp190 juta.

Dengan menimbang keterangan ahli tersebut, hakim kemudian menetapkannya sebagai angka yang patut dibebankan kepada kedua terdakwa.

"Jadi, unsur memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain sebesar Rp690 juta yang diterima oleh kedua terdakwa ini didapatkan dari hasil mark-up harga pembelian barang atau pembayaran, pemotongan gaji ASN atau non-ASN atau kontrak kerja honorer," ujarnya.

Pewarta : Dhimas Budi Pratama
Editor : Riza Fahriza
Copyright © ANTARA 2024