Komoditas beras dan rokok jadi penyumbang kemiskinan di NTB

id komoditas penyumbang kemiskinan,rokok penyebab kemiskinan,penduduk miskin,kebiasaan jarang sarapan,nusa tenggara barat

Komoditas beras dan rokok jadi penyumbang kemiskinan di NTB

Ilustrasi - Warga mengangkut drum di kawasan permukiman semipermanen Muara Angke, Jakarta. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/am

Mataram (ANTARA) - Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Nusa Tenggara Barat menaruh atensi serius terhadap komoditas beras dan rokok yang menjadi penyumbang terbesar angka kemiskinan di wilayah tersebut.

"Beras dan rokok menjadi penyumbang kemiskinan. Itu menjadi atensi kami ke depan," kata Kepala Bidang Perekonomian dan Sumber Daya Alam Bappeda NTB Iskandar Zulkarnain di Mataram, Senin.

Iskandar menjelaskan, beras merupakan kebutuhan pokok, namun pengukuran kemiskinan juga dilihat dari segi konsumsi. Jumlah kebutuhan kalori per hari sebanyak 2.200 kalori, kalau kurang dari itu dianggap miskin.

"Masyarakat kita tidak terbiasa sarapan, sehingga nilai kalori mereka kurang, dan itu dianggap miskin dan menjadi atensi serius kita," ujarnya.

Baca juga: Pengentasan kemiskinan penduduk desa di NTB melalui transformasi ekonomi

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan persentase penduduk miskin di Nusa Tenggara Barat pada September 2024 sebesar 11,91 persen. Angka ini menurun satu persen dibanding angka Maret 2024 yang 12,91 persen.

Total penduduk miskin per September 2024 ada sebanyak 658,60 ribu orang atau menurun sekitar 50,41 ribu orang terhadap Maret 2024.

Di perkotaan, lima komoditas penyumbang kemiskinan terbesar adalah beras sebanyak 26,22 persen, rokok kretek filter 7,47 persen, telur ayam ras 4,48 persen, daging ayam ras 4,16 persen, dan daging sapi 3,75 persen.

Baca juga: Angka kemiskinan di NTB turun 1 persen

Lebih jauh ia menyebut lima komoditas penyumbang kemiskinan terbesar di perdesaan adalah beras 30,10 persen, rokok kretek filter 8,04 persen, telur ayam ras 3,52 persen, roti 3 persen, dan tongkol/tuna/cakalang 2,77 persen.

Iskandar menuturkan kebiasaan masyarakat yang jarang sarapan pagi membuat kebutuhan kalori mereka menjadi kurang, sehingga dianggap miskin. Padahal, penduduk desa punya banyak aset usaha seperti peternakan sapi.

"Di Lombok Utara, masyarakat tidak terbiasa sarapan sehingga kalori mereka kurang kalau diukur, tapi sebenarnya mereka tidak miskin punya sapi 16 ekor. Mereka tidak terbiasa sarapan, bukan berarti mereka kekurangan beras," ucapnya.

Lebih lanjut dia menyampaikan rokok punya pengaruh besar dalam indeks kemiskinan karena menghisap tembakau merupakan kebiasaan masyarakat. Meski harga rokok terus naik, namun itu tidak mempengaruhi keinginan masyarakat untuk berhenti merokok.

Bappeda NTB menegaskan bakal berkoordinasi dengan organisasi perangkat daerah di kabupaten/kota, termasuk organisasi nirlaba yang bergerak dalam bidang sosial dan lingkungan untuk mengatasi kebiasaan merokok yang dilakukan oleh masyarakat di Nusa Tenggara Barat.

Baca juga: Pengentasan kemiskinan ekstrem di NTB dipercepat