Mataram (ANTARA) - Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Nusa Tenggara Barat, menerbitkan agenda sidang perdana dari perkara korupsi gratifikasi dan suap mantan Wali Kota Bima Muhammad Lutfi.
"Baru sore ini diterbitkan, sidang perdananya pada tanggal 22 Januari 2023," kata Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram Kelik Trimargo di Mataram, Senin petang.
Penerbitan sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum berbarengan dengan penetapan majelis hakim yang bertugas menyidangkan perkara tersebut.
"Ketua majelis hakimnya, Pak Ketua Pengadilan Negeri Mataram sendiri, Putu Gde Hariadi. Hakim anggota Agung Prasetyo dan dari ad hoc Djoko Soepriyono," ujarnya.
Dengan adanya penetapan agenda sidang dan susunan majelis hakim, Kelik mengaku belum mendapatkan informasi lebih lanjut dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan keberadaan Muhammad Lutfi.
"Belum ada informasi dari KPK, kita tunggu saja nanti pas sidang perdana," ucap dia.
Baca juga: KPK melimpahkan berkas perkara korupsi mantan wali kota Bima
Baca juga: Mantan Wali Kota Bima Muhammad Lutfi pilih minum obat ketimbang pembantaran KPK
Perkara korupsi milik Muhammad Lutfi teregister di Pengadilan Negeri Mataram dengan Nomor: 3/Pid.Sus-TPK/2024/PN Mtr. Perkara tersebut didaftarkan pada hari Senin (15/1).
Dalam laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Mataram, tercatat ada empat jaksa penuntut umum dari KPK yang bertugas menyidangkan perkara Muhammad Lutfi.
Empat jaksa penuntut umum tersebut adalah Asril, Diky Wahyu Ariyanto, Agua Prasetya Raharja, dan Johan Dwi Junianto.
Wali Kota Bima periode 2018—2023 menjalani penahanan KPK pada tanggal 5 Oktober 2023. KPK menahan Muhammad Lutfi setelah berstatus tersangka dalam kasus dugaan korupsi dan TPPU.
Kasus yang menjerat Lutfi berawal pada medio tahun 2019. Saat itu, Lutfi bersama dengan salah seorang anggota keluarga mulai mengondisikan proyek-proyek yang dikerjakan oleh Pemerintah Kota Bima.
Baca juga: Mantan Wali Kota Bima mengajukan penangguhan penahanan ke KPK
Lutfi lantas meminta dokumen berbagai proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bima.
Dengan memanfaatkan jabatannya, Lutfi kemudian memerintahkan beberapa pejabat di Dinas PUPR dan BPBD Bima untuk membuat berbagai proyek yang memiliki nilai anggaran besar dan penyusunannya dilakukan di rumah dinas jabatan Wali Kota Bima.
Nilai proyek di Dinas PUPR dan BPBD Bima pada tahun anggaran 2019—2020 itu mencapai puluhan miliar rupiah.
Lutfi secara sepihak langsung menentukan para kontraktor yang akan dimenangkan dalam lelang proyek-proyek dimaksud.
Proses lelang tetap berjalan, tetapi hanya sebagai formalitas semata dan faktanya pemenang lelang tidak memenuhi kualifikasi persyaratan sebagaimana ketentuan.
Atas pengondisian tersebut, Lutfi menerima setoran uang Rp8,6 miliar dari kontraktor yang dimenangkan.
Salah satu proyek yang terlibat dalam perkara tersebut, antara lain, proyek pelebaran Jalan Nungga Toloweri serta pengadaan listrik dan penerangan jalan umum di Perumahan Oi'Foo.
Teknis penyetoran uang kepada Lutfi melalui transfer rekening bank atas nama orang-orang kepercayaan Lutfi, termasuk anggota keluarganya.
Penyidik KPK juga menemukan dugaan penerimaan gratifikasi dalam bentuk uang oleh Lutfi dari sejumlah pihak. Tim penyidik KPK akan terus melakukan pendalaman lebih lanjut.
Atas perbuatannya, yang bersangkutan dijerat dengan Pasal 12 huruf i dan/atau 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Baru sore ini diterbitkan, sidang perdananya pada tanggal 22 Januari 2023," kata Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram Kelik Trimargo di Mataram, Senin petang.
Penerbitan sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum berbarengan dengan penetapan majelis hakim yang bertugas menyidangkan perkara tersebut.
"Ketua majelis hakimnya, Pak Ketua Pengadilan Negeri Mataram sendiri, Putu Gde Hariadi. Hakim anggota Agung Prasetyo dan dari ad hoc Djoko Soepriyono," ujarnya.
Dengan adanya penetapan agenda sidang dan susunan majelis hakim, Kelik mengaku belum mendapatkan informasi lebih lanjut dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan keberadaan Muhammad Lutfi.
"Belum ada informasi dari KPK, kita tunggu saja nanti pas sidang perdana," ucap dia.
Baca juga: KPK melimpahkan berkas perkara korupsi mantan wali kota Bima
Baca juga: Mantan Wali Kota Bima Muhammad Lutfi pilih minum obat ketimbang pembantaran KPK
Perkara korupsi milik Muhammad Lutfi teregister di Pengadilan Negeri Mataram dengan Nomor: 3/Pid.Sus-TPK/2024/PN Mtr. Perkara tersebut didaftarkan pada hari Senin (15/1).
Dalam laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Mataram, tercatat ada empat jaksa penuntut umum dari KPK yang bertugas menyidangkan perkara Muhammad Lutfi.
Empat jaksa penuntut umum tersebut adalah Asril, Diky Wahyu Ariyanto, Agua Prasetya Raharja, dan Johan Dwi Junianto.
Wali Kota Bima periode 2018—2023 menjalani penahanan KPK pada tanggal 5 Oktober 2023. KPK menahan Muhammad Lutfi setelah berstatus tersangka dalam kasus dugaan korupsi dan TPPU.
Kasus yang menjerat Lutfi berawal pada medio tahun 2019. Saat itu, Lutfi bersama dengan salah seorang anggota keluarga mulai mengondisikan proyek-proyek yang dikerjakan oleh Pemerintah Kota Bima.
Baca juga: Mantan Wali Kota Bima mengajukan penangguhan penahanan ke KPK
Lutfi lantas meminta dokumen berbagai proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bima.
Dengan memanfaatkan jabatannya, Lutfi kemudian memerintahkan beberapa pejabat di Dinas PUPR dan BPBD Bima untuk membuat berbagai proyek yang memiliki nilai anggaran besar dan penyusunannya dilakukan di rumah dinas jabatan Wali Kota Bima.
Nilai proyek di Dinas PUPR dan BPBD Bima pada tahun anggaran 2019—2020 itu mencapai puluhan miliar rupiah.
Lutfi secara sepihak langsung menentukan para kontraktor yang akan dimenangkan dalam lelang proyek-proyek dimaksud.
Proses lelang tetap berjalan, tetapi hanya sebagai formalitas semata dan faktanya pemenang lelang tidak memenuhi kualifikasi persyaratan sebagaimana ketentuan.
Atas pengondisian tersebut, Lutfi menerima setoran uang Rp8,6 miliar dari kontraktor yang dimenangkan.
Salah satu proyek yang terlibat dalam perkara tersebut, antara lain, proyek pelebaran Jalan Nungga Toloweri serta pengadaan listrik dan penerangan jalan umum di Perumahan Oi'Foo.
Teknis penyetoran uang kepada Lutfi melalui transfer rekening bank atas nama orang-orang kepercayaan Lutfi, termasuk anggota keluarganya.
Penyidik KPK juga menemukan dugaan penerimaan gratifikasi dalam bentuk uang oleh Lutfi dari sejumlah pihak. Tim penyidik KPK akan terus melakukan pendalaman lebih lanjut.
Atas perbuatannya, yang bersangkutan dijerat dengan Pasal 12 huruf i dan/atau 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.