Mataram (Antara NTB) - Wakil Ketua DPRD Nusa Tenggara Barat Mori Hanafi meminta aparat penegak hukum mengedepankan upaya persuasif dalam menghadapi dan menangkal isu radikalisme di Bima.
Permintaan itu disampaikan Mori Hanafi di Mataram, Senin, menyusul penangkapan dua terduga teroris oleh Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri, Sabtu (17/6).
"Perlu pendekatan yang lebih persuasif dari semua institusi termasuk aparat penegak hukum dalam menyikapi persoalan radikalisasi di dalam masyarakat kita. Deradikalisasi itu hanya bisa terwujud jika semua pihak termasuk masyarakat yang ada di sekitar kita bersama-sama saling memberikan pemahaman yang baik kepada seseorang yang dianggap cenderung radikal dalam memahami sesuatu," kata Mori Hanafi di Mataram, Senin.
Ia menuturkan, munculnya stempel radikalisme dalam masyarakat bisa jadi karena dipengaruhi oleh faktor ikut-ikutan yakni karena telanjur mengikuti pengajian atau kegiatannya atau pun karena pernah mengirimkan uang untuk keperluan si terduga karena itu kerabatnya lalu kemudian dianggap berpahamkan radikalisme.
"Padahalkan belum tentu juga dia itu berpahamkan radikal sehingga akibat dari terlalu cepat memberikan stempel seperti ini dampaknya adalah munculnya citra negatif pada daerah kita sendiri yang sedang menggalakkan program pariwisata. Karena itu, kami berharap aparat penegak hukum lebih mengedepankan tindakan persuasif dalam menghadapi isu radikalisme di Bima khususnya maupun di NTB pada umumnya. Jangan cepat-cepat mengatakan itu terorisme," kata politisi dari Dapil Kabupaten Bima, Kota Bima, dan Kabupaten Dompu itu.
Menurut Mori, masyarakat Bima memiliki salah satu filosofi hidup, yakni apa yang kerap disebut dengan "Kalembo Ade" yang memiliki makna sangat luas dan mendalam yang harus di jadikan dasar pegangan dalam menjinakkan radikalisasi "ikut-ikutan" itu.
"Artinya kami berharap orang-orang yang keterlibatannya itu hanya ikut-ikutan, jangan langsung dicap sebagai teroris sebab kalau seseorang sudah langsung dicap seperti itu akan menjadi suatu beban psikologis bagi dia dalam menghadapi kehidupan di lingkungannya. Dan ketika dia makin tertekan, justru akan menjadi wabah yang bisa menjangkiti orang lain dan akan membuat kita semua semakin sulit dalam melakukan upaya deradikalisasi," jelas Mori.
Selain itu, aspek lain yang tidak kalah penting dalam menghadapi berkembangnya faham radikalisme adalah bagaimana pemerintah daerah bisa mendorong terwujudnya peluang usaha dan ekonomi bagi masyarakat.
"Kebanyakan orang yang tersangkut dalam faham radikalisme adalah mereka yang tidak memiliki pekerjaan sehingga harus ada dorongan dari pemerintah untuk menciptakan peluang kerja dan usaha bagi mereka karena mewujudkan peluang kerja dan usaha bagi masyarakat ini untuk menghindari munculnya faham radikal.
Nah semestinya hal ini harus terus digalakkan oleh pemerintah provinsi bersama kabupaten/kota sehingga bisa meminimalisir aksi radikalisme untuk tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat," ucapnya.
Namun demikian, meski ada beberapa program yang berkaitan dengan hal itu seperti program menciptakan ratusan ribu wirausaha baru, namun program seperti ini belum dijalankan secara serius. Begitupun dengan program sejuta sapi, pada periode kedua kepemimpinan ini sepertinya sudah tidak terdengar lagi gaungnya.
"Setiap program yang dibuat dan dirancang haruslah sistematis karena program yang telah dijalankan pemerintah provinsi menyangkut hajat hidup orang banyak, lebih-lebih para petani dan masyarakat kecil," tandas Mori Hanafi.
Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror menangkap dua terduga teroris di Bima, NTB, pada Sabtu (17/6).
Keduanya berinisial K dan NH. Mereka merupakan warga Palibelo, Bima, NTB. Selain menangkap dua terduga teroris, Tim Densus 88 juga mengamankan sejumlah barang bukti berupa bom rakitan dan senapan angin. (*)

Pewarta :
Editor :
Copyright © ANTARA 2024