Jakarta (ANTARA) - Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan Prima Yosephine menyebut bahwa komunikasi dan edukasi penting agar publik lebih memahami tentang imunisasi dan mau memberikan imunisasi bagi anaknya.
Prima menyebut bahwa berdasarkan survei bersama UNICEF dan Nielsen pada 2023, hampir 38 persen dari orang tua yang menolak memberikan vaksin pada anaknya mengungkapkan mereka takut pada imunisasi ganda. Sementara itu, dia menambahkan, 12 persen tidak membawa anaknya untuk imunisasi karena takut efek samping, seperti demam.
"Kalau kita lebih dalam menanyakan, mereka itu sebetulnya nggak maunya bukan karena sudah punya pengalaman buruk, enggak. Cuma karena denger-denger aja beritanya, dan mengkhayal," katanya dalam konferensi pers Pekan Imunisasi Sedunia yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan di Jakarta, Senin.
Menurutnya, kekhawatiran seperti itu dapat dijawab melalui komunikasi dan edukasi terhadap masyarakat, agar mereka paham. Sebagai contoh, dia menyebut bahwa selama anak tumbuh, dari mulai lahir hingga duduk di kelas 6, ada berbagai jenis vaksin yang harus diberikan, dan bisa dalam satu periode tertentu mengambil vaksin ganda. Hal tersebut agar imunisasi mereka berjalan secara ideal sesuai jadwalnya.
"Itu memang nggak bisa kita hindarkan, dan itu sudah terjadi di banyak negara. Itu cukup aman, tidak membuat menjadi KIPI (kejadian ikut pascaimunisasi) jadi nambah," kata dia menjelaskan.
Dalam kesempatan itu, dia menyebutkan bahwa sejumlah tantangan dalam komunikasi tersebut adalah sejumlah hoaks yang beredar, contohnya imunisasi sebagai cara memusnahkan suatu generasi, atau vaksin HPV yang dapat membuat mandul.
"Lalu hoaks yang bilang, 'gak usah imunisasi. Dikasih makan bergizi aja, kasih ASI aja, itu cukup untuk membuat anak kita terhindar dari penyakit', itu juga. Jadi memang kadang-kadang nggak langsung hoaksnya tentang imunisasi, ya, tapi menyampaikan hal lain yang bisa menggantikan imunisasi," katanya.
Oleh karena itu, ujarnya, Kementerian Kesehatan terus berupaya untuk meningkatkan imunisasi, seperti dengan memberikan edukasi tentang imunisasi melalui pendekatan sosio-kultural, pemberdayaan masyarakat dan keluarga, serta melibatkan pihak lain dalam upayanya, termasuk media, dalam proses edukasi.
Baca juga: Sumbawa Barat dinyatakan bebas dari penyakit kulit menular
Baca juga: ASEAN EOC momen penguatan kolaborasi regional
Selain itu, kata Prima, upaya mereka antara lain memastikan suplai vaksin, menyelenggarakan imunisasi tambahan masal, meningkatkan kualitas tenaga kesehatan, serta melakukan imunisasi kejar bagi yang belum dapat.
"Tidak ada kata terlambat untuk imunisasi. Jadi kalau begitu orang tua tahu, sadar, segera datang ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat, untuk ditanyakan imunisasi apa yang masih bisa dikejar. Pasti ada," kata Prima menambahkan.*
Prima menyebut bahwa berdasarkan survei bersama UNICEF dan Nielsen pada 2023, hampir 38 persen dari orang tua yang menolak memberikan vaksin pada anaknya mengungkapkan mereka takut pada imunisasi ganda. Sementara itu, dia menambahkan, 12 persen tidak membawa anaknya untuk imunisasi karena takut efek samping, seperti demam.
"Kalau kita lebih dalam menanyakan, mereka itu sebetulnya nggak maunya bukan karena sudah punya pengalaman buruk, enggak. Cuma karena denger-denger aja beritanya, dan mengkhayal," katanya dalam konferensi pers Pekan Imunisasi Sedunia yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan di Jakarta, Senin.
Menurutnya, kekhawatiran seperti itu dapat dijawab melalui komunikasi dan edukasi terhadap masyarakat, agar mereka paham. Sebagai contoh, dia menyebut bahwa selama anak tumbuh, dari mulai lahir hingga duduk di kelas 6, ada berbagai jenis vaksin yang harus diberikan, dan bisa dalam satu periode tertentu mengambil vaksin ganda. Hal tersebut agar imunisasi mereka berjalan secara ideal sesuai jadwalnya.
"Itu memang nggak bisa kita hindarkan, dan itu sudah terjadi di banyak negara. Itu cukup aman, tidak membuat menjadi KIPI (kejadian ikut pascaimunisasi) jadi nambah," kata dia menjelaskan.
Dalam kesempatan itu, dia menyebutkan bahwa sejumlah tantangan dalam komunikasi tersebut adalah sejumlah hoaks yang beredar, contohnya imunisasi sebagai cara memusnahkan suatu generasi, atau vaksin HPV yang dapat membuat mandul.
"Lalu hoaks yang bilang, 'gak usah imunisasi. Dikasih makan bergizi aja, kasih ASI aja, itu cukup untuk membuat anak kita terhindar dari penyakit', itu juga. Jadi memang kadang-kadang nggak langsung hoaksnya tentang imunisasi, ya, tapi menyampaikan hal lain yang bisa menggantikan imunisasi," katanya.
Oleh karena itu, ujarnya, Kementerian Kesehatan terus berupaya untuk meningkatkan imunisasi, seperti dengan memberikan edukasi tentang imunisasi melalui pendekatan sosio-kultural, pemberdayaan masyarakat dan keluarga, serta melibatkan pihak lain dalam upayanya, termasuk media, dalam proses edukasi.
Baca juga: Sumbawa Barat dinyatakan bebas dari penyakit kulit menular
Baca juga: ASEAN EOC momen penguatan kolaborasi regional
Selain itu, kata Prima, upaya mereka antara lain memastikan suplai vaksin, menyelenggarakan imunisasi tambahan masal, meningkatkan kualitas tenaga kesehatan, serta melakukan imunisasi kejar bagi yang belum dapat.
"Tidak ada kata terlambat untuk imunisasi. Jadi kalau begitu orang tua tahu, sadar, segera datang ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat, untuk ditanyakan imunisasi apa yang masih bisa dikejar. Pasti ada," kata Prima menambahkan.*