Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) Deka Kurniawan menyatakan bahwa gejala autisme memiliki perbedaan dengan hiperaktif baik secara definisi maupun penjelasan berbagai sumber dan ahli.
Menurut Deka menyambut Hari Peduli Autisme Sedunia yang diperingati setiap 2 April, masyarakat perlu memahami perbedaan tersebut. Ia menjelaskan autisme adalah gangguan perkembangan terpasif yang ditandai dengan gangguan dalam berinteraksi, berkomunikasi, berperilaku, dan berinteraksi sosial.
"Kalau dikaitkan dengan hiperaktif, ada gejala-gejala hiperaktif memang dalam beberapa kasus anak-anak yang menyandang autis, tetapi tidak selalu anak-anak autis itu hiperaktif," kata Deka saat dihubungi di Jakarta, Senin (1/4) malam.
Ia menjelaskan, dalam nomenklatur yang terkait dengan Undang-Undang Disabilitas nomor 8 tahun 2016, autisme merupakan salah satu dari ragam disabilitas, meski memang tidak disebutkan secara spesifik seperti yang ada di undang-undang dari empat ragam disabilitas.
Empat ragam disabilitas tersebut yakni disabilitas fisik, sensorik (netra maupun tuli), disabilitas intelektual dan disabilitas mental.
"Autisme tidak secara spesifik dimasukkan ke dalam salah satu ragam disabilitas fisik, tetapi para keluarga yang memiliki anak-anak dengan autisme ini memasukkan mereka ke dalam disabilitas perkembangan," ucapnya.
Mengacu kepada nomenklatur internal Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas atau UNCRPD, anak autis atau orang-orang yang dengan gangguan autisme merupakan bagian dari penyandang disabilitas yang memiliki hak yang sama dengan yang non-disabilitas.
"Perbedan dengan hiperaktif, anak-anak autis itu bisa sangat hipoaktif, atau sangat diam," kata dia.
"Kalau hiperaktif itu terkait dengan gangguan di dalam otak, dan itu membuat dia tidak bisa fokus, enggak bisa perhatian dalam satu hal dalam jangka waktu lama," ujar Deka menambahkan.
Sebaliknya, lanjut dia, autisme adalah gangguan saraf dan otak yang membuat seseorang tidak bisa peka, tidak bisa memahami lingkungannya, dan kesulitan memahami komunikasi.
"Jadi kadang-kadang antara autis dengan hiperaktif ini bisa ada kemiripan, hanya penyebabnya berbeda, kalau ada anak autis yang dia menunjukkan gejala hiperaktif, itu pendorongnya adalah karena memang dia tidak peka dengan sesuatu," paparnya.
Baca juga: Pemkot Bima tingkatkan literasi keuangan bagi penyandang disabilitas
Baca juga: Pendidikan inklusi modal awal penghapusan stigma disabilitas
Sebaliknya, gangguan hiperaktif atau biasa dikenal dengan attention deficit hiperaktif disorder (ADHD), penyebabnya yakni akibat struktur perkembangan otak seseorang tidak bisa fokus terhadap sesuatu, dan tidak bisa memberikan perhatian yang terlalu lama terhadap sesuatu.
Menurut Deka menyambut Hari Peduli Autisme Sedunia yang diperingati setiap 2 April, masyarakat perlu memahami perbedaan tersebut. Ia menjelaskan autisme adalah gangguan perkembangan terpasif yang ditandai dengan gangguan dalam berinteraksi, berkomunikasi, berperilaku, dan berinteraksi sosial.
"Kalau dikaitkan dengan hiperaktif, ada gejala-gejala hiperaktif memang dalam beberapa kasus anak-anak yang menyandang autis, tetapi tidak selalu anak-anak autis itu hiperaktif," kata Deka saat dihubungi di Jakarta, Senin (1/4) malam.
Ia menjelaskan, dalam nomenklatur yang terkait dengan Undang-Undang Disabilitas nomor 8 tahun 2016, autisme merupakan salah satu dari ragam disabilitas, meski memang tidak disebutkan secara spesifik seperti yang ada di undang-undang dari empat ragam disabilitas.
Empat ragam disabilitas tersebut yakni disabilitas fisik, sensorik (netra maupun tuli), disabilitas intelektual dan disabilitas mental.
"Autisme tidak secara spesifik dimasukkan ke dalam salah satu ragam disabilitas fisik, tetapi para keluarga yang memiliki anak-anak dengan autisme ini memasukkan mereka ke dalam disabilitas perkembangan," ucapnya.
Mengacu kepada nomenklatur internal Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas atau UNCRPD, anak autis atau orang-orang yang dengan gangguan autisme merupakan bagian dari penyandang disabilitas yang memiliki hak yang sama dengan yang non-disabilitas.
"Perbedan dengan hiperaktif, anak-anak autis itu bisa sangat hipoaktif, atau sangat diam," kata dia.
"Kalau hiperaktif itu terkait dengan gangguan di dalam otak, dan itu membuat dia tidak bisa fokus, enggak bisa perhatian dalam satu hal dalam jangka waktu lama," ujar Deka menambahkan.
Sebaliknya, lanjut dia, autisme adalah gangguan saraf dan otak yang membuat seseorang tidak bisa peka, tidak bisa memahami lingkungannya, dan kesulitan memahami komunikasi.
"Jadi kadang-kadang antara autis dengan hiperaktif ini bisa ada kemiripan, hanya penyebabnya berbeda, kalau ada anak autis yang dia menunjukkan gejala hiperaktif, itu pendorongnya adalah karena memang dia tidak peka dengan sesuatu," paparnya.
Baca juga: Pemkot Bima tingkatkan literasi keuangan bagi penyandang disabilitas
Baca juga: Pendidikan inklusi modal awal penghapusan stigma disabilitas
Sebaliknya, gangguan hiperaktif atau biasa dikenal dengan attention deficit hiperaktif disorder (ADHD), penyebabnya yakni akibat struktur perkembangan otak seseorang tidak bisa fokus terhadap sesuatu, dan tidak bisa memberikan perhatian yang terlalu lama terhadap sesuatu.