Jakarta (ANTARA) - Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai ketersediaan transportasi umum di Jakarta sudah setara dengan kota-kota besar di dunia, terutama sejak layanan TransJakarta diluncurkan 20 tahun silam.
"2004 itu menurut saya jadi awal kebangkitan transportasi di Jakarta, dimulai dari TransJakarta. Meski pro-kontranya cukup tinggi, tapi setelah 20 tahun, sekarang sudah tampak hasilnya," kata Djoko di Jakarta, Minggu.
Djoko dalam Talkshow: Digitalisasi dan Integrasi Transportasi Jakarta: Nyaman, Cepat, dan Harga Terjangkau yang digelar dalam rangkaian Jakreatifest 2024 menyebutkan, TransJakarta telah melingkupi 88,2 persen nilai Jakarta dari sisi pelayanan.
"Misalnya saja, dari satu pusat perbelanjaan, masyarakat bisa menemukan satu halte bus dengan jarak tidak sampai 500 meter dari lokasi mal," katanya.
Baca juga: Transportasi publik menjadi solusi atasi pencemaran udara di Jakarta
Kendati cakupannya luas, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) itu menyebutkan masyarakat yang beralih ke transportasi umum masih sangat rendah.
"Orang kita beralihnya agak susah, jadi walaupun sudah meng-'cover' 88,2 persen, bahkan ada Mikrotrans sampai ke kampung-kampung dan gratis, yang beralih baru hanya 10 persen," imbuhnya.
Djoko mengatakan, selain ketersediaan layanan bus TransJakarta, Jakarta juga memiliki layanan MRT dan LRT serta kereta rel listrik dan LRT dari kawasan penyangga. Selain itu, ada pula layanan bus JR Connexion hingga Mikrotrans untuk melayani masyarakat dari kawasan permukiman.
"Kalau dibanding dengan kota dunia lainnya sudah sama karena 'coverage'-nya (cakupannya) sudah cukup bagus," ujarnya.
Namun, menurut Djoko, masalah krusial yang dihadapi Jakarta serta kota-kota lain di Indonesia adalah sepeda motor.
Baca juga: Forum ITS sediakan pendanaan sistem transportasi cerdas
Ia menilai keberadaan sepeda motor membuat masyarakat Indonesia menjadi malas berjalan kaki. Padahal, pemerintah kerap melakukan revitalisasi trotoar untuk pejalan kaki.
Di sisi lain, keberadaan sepeda motor juga dinilainya telah menyedot subsidi energi. "Pemerintah pusat perlu mengendalikan motor, karena subsidi BBM kita Rp150 triliun itu 84 persennya untuk sepeda motor," katanya.
Djoko juga menyebutkan hingga saat ini pemerintah belum tegas untuk mengendalikan sepeda motor dan mendukung penggunaan angkutan umum.
Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta menyebutkan sebanyak 997.669 kendaraan bermotor dari Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) masuk ke Jakarta setiap harinya, sebanyak 77,2 persen di antaranya merupakan kendaraan roda dua.
Selain berimbas pada kemacetan, kendaraan bermotor pribadi juga memberi dampak polusi dan pencemaran udara.
Baca juga: Menhub sebut IKN menjadi kota pionir transportasi cerdas
Baca juga: ITS Asia Pasifik peluang gaik investor transportasi cerdas
"2004 itu menurut saya jadi awal kebangkitan transportasi di Jakarta, dimulai dari TransJakarta. Meski pro-kontranya cukup tinggi, tapi setelah 20 tahun, sekarang sudah tampak hasilnya," kata Djoko di Jakarta, Minggu.
Djoko dalam Talkshow: Digitalisasi dan Integrasi Transportasi Jakarta: Nyaman, Cepat, dan Harga Terjangkau yang digelar dalam rangkaian Jakreatifest 2024 menyebutkan, TransJakarta telah melingkupi 88,2 persen nilai Jakarta dari sisi pelayanan.
"Misalnya saja, dari satu pusat perbelanjaan, masyarakat bisa menemukan satu halte bus dengan jarak tidak sampai 500 meter dari lokasi mal," katanya.
Baca juga: Transportasi publik menjadi solusi atasi pencemaran udara di Jakarta
Kendati cakupannya luas, Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) itu menyebutkan masyarakat yang beralih ke transportasi umum masih sangat rendah.
"Orang kita beralihnya agak susah, jadi walaupun sudah meng-'cover' 88,2 persen, bahkan ada Mikrotrans sampai ke kampung-kampung dan gratis, yang beralih baru hanya 10 persen," imbuhnya.
Djoko mengatakan, selain ketersediaan layanan bus TransJakarta, Jakarta juga memiliki layanan MRT dan LRT serta kereta rel listrik dan LRT dari kawasan penyangga. Selain itu, ada pula layanan bus JR Connexion hingga Mikrotrans untuk melayani masyarakat dari kawasan permukiman.
"Kalau dibanding dengan kota dunia lainnya sudah sama karena 'coverage'-nya (cakupannya) sudah cukup bagus," ujarnya.
Namun, menurut Djoko, masalah krusial yang dihadapi Jakarta serta kota-kota lain di Indonesia adalah sepeda motor.
Baca juga: Forum ITS sediakan pendanaan sistem transportasi cerdas
Ia menilai keberadaan sepeda motor membuat masyarakat Indonesia menjadi malas berjalan kaki. Padahal, pemerintah kerap melakukan revitalisasi trotoar untuk pejalan kaki.
Di sisi lain, keberadaan sepeda motor juga dinilainya telah menyedot subsidi energi. "Pemerintah pusat perlu mengendalikan motor, karena subsidi BBM kita Rp150 triliun itu 84 persennya untuk sepeda motor," katanya.
Djoko juga menyebutkan hingga saat ini pemerintah belum tegas untuk mengendalikan sepeda motor dan mendukung penggunaan angkutan umum.
Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta menyebutkan sebanyak 997.669 kendaraan bermotor dari Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) masuk ke Jakarta setiap harinya, sebanyak 77,2 persen di antaranya merupakan kendaraan roda dua.
Selain berimbas pada kemacetan, kendaraan bermotor pribadi juga memberi dampak polusi dan pencemaran udara.
Baca juga: Menhub sebut IKN menjadi kota pionir transportasi cerdas
Baca juga: ITS Asia Pasifik peluang gaik investor transportasi cerdas