Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memandang UU tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan cenderung meneguhkan perspektif pembakuan peran domestik perempuan.
"UU ini hanya menyebutkan hak atas pendidikan, pengembangan wawasan pengetahuan, dan keterampilan tentang perawatan pengasuhan, pemberian makan, dan tumbuh kembang anak sebagai hak ibu, dan tidak menjadi hak ayah," kata Anggota Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah, dalam keterangan, di Jakarta, Selasa.
Alimatul Qibtiyah menambahkan bahwa contoh lain dari kecenderungan pembakuan peran domestik ini juga tampak pada penambahan hak cuti pengasuhan anak yang lebih besar bagi perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
UU KIA mengatur cuti perempuan pekerja karena hamil dan melahirkan hingga enam bulan, dari tiga bulan yang diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan. Sementara cuti untuk suami/ayah dari dua hari menjadi mungkin ditambah tiga hari atau sesuai kesepakatan.
Kemudian cuti perempuan dilengkapi dengan skema penggajian, cuti bagi laki-laki menyisakan pertanyaan skema penggajiannya, karena dalam aturan UU Ketenagakerjaan hanya disebutkan dua hari.
"Perlu ada reorientasi dalam pelaksanaan UU KIA ini agar pelibatan aktif ayah untuk mendorong kesetaraan gender dalam peran orang tua betul-betul terwujud," ujar Alimatul Qibtiyah.
Namun demikian, Komnas Perempuan berpendapat bahwa penambahan hak cuti hamil dan melahirkan bagi perempuan pekerja adalah bagian dari upaya perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesi terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi perempuan.
Baca juga: Komnas sebut urgensi penguatan pelayanan perempuan dan anak
Baca juga: Tak ada keadilan restoratif bagi pelaku TPKS
Hal ini sejalan dengan Pasal 10 ayat (2) Kovenan Ekosob yang menyebutkan perlindungan khusus harus diberikan kepada para ibu selama jangka waktu yang wajar sebelum dan sesudah melahirkan.
Selama jangka waktu itu, para ibu yang bekerja harus diberikan cuti dengan gaji atau cuti dengan jaminan sosial yang memadai.
"Namun UU KIA belum memuat langkah afirmasi lain yang juga dibutuhkan, tentang edukasi bagi perempuan pekerja agar dapat kembali bekerja tanpa harus ketinggalan kariernya," kata Anggota Komnas Perempuan Satyawanti Mashudi.
"UU ini hanya menyebutkan hak atas pendidikan, pengembangan wawasan pengetahuan, dan keterampilan tentang perawatan pengasuhan, pemberian makan, dan tumbuh kembang anak sebagai hak ibu, dan tidak menjadi hak ayah," kata Anggota Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah, dalam keterangan, di Jakarta, Selasa.
Alimatul Qibtiyah menambahkan bahwa contoh lain dari kecenderungan pembakuan peran domestik ini juga tampak pada penambahan hak cuti pengasuhan anak yang lebih besar bagi perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
UU KIA mengatur cuti perempuan pekerja karena hamil dan melahirkan hingga enam bulan, dari tiga bulan yang diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan. Sementara cuti untuk suami/ayah dari dua hari menjadi mungkin ditambah tiga hari atau sesuai kesepakatan.
Kemudian cuti perempuan dilengkapi dengan skema penggajian, cuti bagi laki-laki menyisakan pertanyaan skema penggajiannya, karena dalam aturan UU Ketenagakerjaan hanya disebutkan dua hari.
"Perlu ada reorientasi dalam pelaksanaan UU KIA ini agar pelibatan aktif ayah untuk mendorong kesetaraan gender dalam peran orang tua betul-betul terwujud," ujar Alimatul Qibtiyah.
Namun demikian, Komnas Perempuan berpendapat bahwa penambahan hak cuti hamil dan melahirkan bagi perempuan pekerja adalah bagian dari upaya perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesi terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi perempuan.
Baca juga: Komnas sebut urgensi penguatan pelayanan perempuan dan anak
Baca juga: Tak ada keadilan restoratif bagi pelaku TPKS
Hal ini sejalan dengan Pasal 10 ayat (2) Kovenan Ekosob yang menyebutkan perlindungan khusus harus diberikan kepada para ibu selama jangka waktu yang wajar sebelum dan sesudah melahirkan.
Selama jangka waktu itu, para ibu yang bekerja harus diberikan cuti dengan gaji atau cuti dengan jaminan sosial yang memadai.
"Namun UU KIA belum memuat langkah afirmasi lain yang juga dibutuhkan, tentang edukasi bagi perempuan pekerja agar dapat kembali bekerja tanpa harus ketinggalan kariernya," kata Anggota Komnas Perempuan Satyawanti Mashudi.