Mataram (ANTARA) - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggali keterangan saksi kasus dugaan korupsi proyek pembangunan gedung Tempat Evakuasi Sementara (TES) atau shelter tsunami di kawasan Pelabuhan Bangsal, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat.
"Saat ini penyidikan sedang pendalaman saksi-saksi," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto menyampaikan perkembangan penyidikan kasus tersebut melalui pesan singkat yang diterima di Mataram, Rabu.
Perihal daftar saksi yang masuk dalam agenda pendalaman keterangan, dia mengaku belum mendapatkan informasi dari penyidik.
"Belum ada informasi dari penyidik," ujarnya.
Baca juga: KPK mengungkap turun kualitas "shelter" tsunami akibat korupsi
Untuk pemeriksaan objek perkara yang berada di Kabupaten Lombok Utara, Tessa mengatakan bahwa pihaknya sudah melaksanakan hal itu di medio Agustus 2023.
"Sudah pernah cek lokasi pada bulan Agustus 2023," ucap dia.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu sebelumnya mengungkapkan adanya temuan penurunan kualitas bangunan pada proyek tersebut.
Pernyataan itu disampaikan berdasarkan hasil turun ke lokasi bersama pakar konstruksi.
Baca juga: KPK mulai penyidikan korupsi pembangunan "Shelter" Tsunami di NTB
Dalam penanganan, KPK telah menetapkan dua tersangka. Meskipun belum menyebut identitas lengkap keduanya, Asep mengungkapkan bahwa tersangka merupakan penyelenggara negara dan pelaksana proyek dari kalangan BUMN.
Kerugian keuangan negara yang muncul dari penyidikan ini mencapai Rp19 miliar. Angka kerugian itu diumumkan KPK bersama dengan adanya penetapan tersangka.
Pekerjaan proyek pembangunan shelter tsunami di Lombok Utara ini berada di bawah Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan (PBL) NTB pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Proyek dikerjakan pada bulan Agustus 2014 oleh PT Waskita Karya dengan anggaran Rp21 miliar yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Proyek gedung dengan perencanaan dapat menampung 3.000 orang tersebut terungkap sempat masuk ke Polda NTB sampai tahap penyelidikan pada tahun 2015.
Pada tahapan tersebut, kepolisian juga melakukan pengecekan bersama ahli konstruksi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Dari hasil penyelidikan, Polda NTB pada tahun 2016 melakukan gelar perkara dan menyatakan tidak melanjutkan proses hukum dari dugaan korupsi yang muncul dalam pekerjaan proyek tersebut.
Selanjutnya, pada bulan Juli 2017, tercatat PUPR menyerahkan hasil pekerjaan gedung evakuasi sementara itu ke Pemerintah Kabupaten Lombok Utara.
Sekitar 1 tahun usai penyerahan pekerjaan, terjadi bencana gempa bumi di Pulau Lombok. Gedung tersebut turut terkena dampak kerusakan yang cukup parah.
"Saat ini penyidikan sedang pendalaman saksi-saksi," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto menyampaikan perkembangan penyidikan kasus tersebut melalui pesan singkat yang diterima di Mataram, Rabu.
Perihal daftar saksi yang masuk dalam agenda pendalaman keterangan, dia mengaku belum mendapatkan informasi dari penyidik.
"Belum ada informasi dari penyidik," ujarnya.
Baca juga: KPK mengungkap turun kualitas "shelter" tsunami akibat korupsi
Untuk pemeriksaan objek perkara yang berada di Kabupaten Lombok Utara, Tessa mengatakan bahwa pihaknya sudah melaksanakan hal itu di medio Agustus 2023.
"Sudah pernah cek lokasi pada bulan Agustus 2023," ucap dia.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu sebelumnya mengungkapkan adanya temuan penurunan kualitas bangunan pada proyek tersebut.
Pernyataan itu disampaikan berdasarkan hasil turun ke lokasi bersama pakar konstruksi.
Baca juga: KPK mulai penyidikan korupsi pembangunan "Shelter" Tsunami di NTB
Dalam penanganan, KPK telah menetapkan dua tersangka. Meskipun belum menyebut identitas lengkap keduanya, Asep mengungkapkan bahwa tersangka merupakan penyelenggara negara dan pelaksana proyek dari kalangan BUMN.
Kerugian keuangan negara yang muncul dari penyidikan ini mencapai Rp19 miliar. Angka kerugian itu diumumkan KPK bersama dengan adanya penetapan tersangka.
Pekerjaan proyek pembangunan shelter tsunami di Lombok Utara ini berada di bawah Satuan Kerja Penataan Bangunan dan Lingkungan (PBL) NTB pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Proyek dikerjakan pada bulan Agustus 2014 oleh PT Waskita Karya dengan anggaran Rp21 miliar yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Proyek gedung dengan perencanaan dapat menampung 3.000 orang tersebut terungkap sempat masuk ke Polda NTB sampai tahap penyelidikan pada tahun 2015.
Pada tahapan tersebut, kepolisian juga melakukan pengecekan bersama ahli konstruksi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Dari hasil penyelidikan, Polda NTB pada tahun 2016 melakukan gelar perkara dan menyatakan tidak melanjutkan proses hukum dari dugaan korupsi yang muncul dalam pekerjaan proyek tersebut.
Selanjutnya, pada bulan Juli 2017, tercatat PUPR menyerahkan hasil pekerjaan gedung evakuasi sementara itu ke Pemerintah Kabupaten Lombok Utara.
Sekitar 1 tahun usai penyerahan pekerjaan, terjadi bencana gempa bumi di Pulau Lombok. Gedung tersebut turut terkena dampak kerusakan yang cukup parah.