Mataram (Antaranews NTB) - Buruh perempuan di Nusa Tenggara Barat yang tergabung dalam Solidaritas Perempuan (SP) Mataram menuntut pemerintah memberikan pengakuan dan pemenuhan hak serta perlindungan menyeluruh.
"SP Mataram menemukan fakta pelanggaran yang terus terjadi terhadap hak-hak buruh perempuan, buruh migran perempuan dan buruh tani perempuan," kata Ketua Badan Eksekutif SP Mataram, Eli Sukemi, di Mataram, Rabu.
Tuntutan tersebut disampaikan kepada Pemerintah Provinsi NTB, dan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat, dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional 2018, yang dirayakan pada 1 Mei.
SP Perempuan Mataram merupakan salah satu organisasi yang memperjuangkan hak-hak dan keadilan bagi buruh perempuan, buruh migran dan buruh tani.
Eli mengatakan ketidakadilan pada buruh migran masih sering terjadi pada setiap fase, pra pemberangkatan, pemberangkatan, penempatan sampai pemulangan.
Pada 2017-2018, SP Mataram menangani sedikitnya lima kasus buruh migran perempuan, yakni buruh migran perempuan yang menjadi saksi kunci pembunuhan teman kerja.
Selain itu, kasus pemalsuan dokumen, penipuan, "overstay", gaji tidak dibayar oleh majikan, dan perdagangan manusia.
"Dari lima kasus tersebut, tiga di antaranya terselesaikan dengan terpenuhi hak-hak buruh migran dan satu orang pekerja buruh migran bisa di pulangkan, serta dua kasus belum selesai dan sedang ditangani," ujar Eli.
Pihaknya juga menemukan fakta persoalan buruh tani perempuan yang semakin terhimpit ekonominya akibat alih fungsi lahan. Hilangnya lahan garapan menyebabkan sebagian buruh tani perempuan bermigrasi ke luar negeri sebagai asisten rumah tangga.
"Sejak 2004 hingga 2017, telah ada tujuh perumahan di bangun di lahan pertanian pangan, khususnya di Kabupaten Lombok Barat. Berkurangnya lahan pertanian tersebut juga menjadi penyebab buruh tani perempuan menanggung biaya hidup keluarga, bahkan berutang," ujarnya.
SP Mataram juga memanfatkan momen Hari Buruh Internasional untuk mendesak pemerintah mencabut Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah.
Selain itu, mendorong dilakukannya revisi terhadap Peraturan Daerah NTB Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. (*)
"SP Mataram menemukan fakta pelanggaran yang terus terjadi terhadap hak-hak buruh perempuan, buruh migran perempuan dan buruh tani perempuan," kata Ketua Badan Eksekutif SP Mataram, Eli Sukemi, di Mataram, Rabu.
Tuntutan tersebut disampaikan kepada Pemerintah Provinsi NTB, dan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat, dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional 2018, yang dirayakan pada 1 Mei.
SP Perempuan Mataram merupakan salah satu organisasi yang memperjuangkan hak-hak dan keadilan bagi buruh perempuan, buruh migran dan buruh tani.
Eli mengatakan ketidakadilan pada buruh migran masih sering terjadi pada setiap fase, pra pemberangkatan, pemberangkatan, penempatan sampai pemulangan.
Pada 2017-2018, SP Mataram menangani sedikitnya lima kasus buruh migran perempuan, yakni buruh migran perempuan yang menjadi saksi kunci pembunuhan teman kerja.
Selain itu, kasus pemalsuan dokumen, penipuan, "overstay", gaji tidak dibayar oleh majikan, dan perdagangan manusia.
"Dari lima kasus tersebut, tiga di antaranya terselesaikan dengan terpenuhi hak-hak buruh migran dan satu orang pekerja buruh migran bisa di pulangkan, serta dua kasus belum selesai dan sedang ditangani," ujar Eli.
Pihaknya juga menemukan fakta persoalan buruh tani perempuan yang semakin terhimpit ekonominya akibat alih fungsi lahan. Hilangnya lahan garapan menyebabkan sebagian buruh tani perempuan bermigrasi ke luar negeri sebagai asisten rumah tangga.
"Sejak 2004 hingga 2017, telah ada tujuh perumahan di bangun di lahan pertanian pangan, khususnya di Kabupaten Lombok Barat. Berkurangnya lahan pertanian tersebut juga menjadi penyebab buruh tani perempuan menanggung biaya hidup keluarga, bahkan berutang," ujarnya.
SP Mataram juga memanfatkan momen Hari Buruh Internasional untuk mendesak pemerintah mencabut Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah.
Selain itu, mendorong dilakukannya revisi terhadap Peraturan Daerah NTB Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. (*)