Mataram (ANTARA) -
Pada pemilu 2024, angka partisipasi pemilih di NTB mencapai 84 persen. Angka ini lebih tinggi dari pemilu 2019 yang hanya 82 persen. Peningkatan partisipasi pemilih ini tidak hanya pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota. Tapi juga pilpres, DPD dan DPR RI. Tingginya partisipasi ini tidak terlepas dari tingginya peran pemilih pemula tersebut.
Mengutip buku Pedoman Pendidikan Pemilih milik KPU, pemilih pemula merupakan masyarakat yang memasuki usia memilih dan menggunakan hak pilihnya untuk pertama kali. Kelompok ini terdiri dari masyarakat yang memenuhi syarat dalam memilih.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 pada Bab IV pasal 19 ayat 1 dan 2 serta pasal 20 menjelaskan pemilih pemula adalah warga Indonesia yang ketika hari pemungutan suara sudah genap berusia 17 tahun atau sudah/pernah menikah. Kisaran usia pemilih pemula yakni 17-21 tahun. Rata-rata kelompok ini baru menyelesaikan masa studi SMA atau sedang duduk di bangku perkuliahan.
Pemilih pemula bertambah
Komisioner KPU NTB Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Parmas dan SDM, Agus Hilman mengakui meski KPU NTB belum menetapkan DPT untuk pilkada serentak, namun diperkirakan angka pemilih pemilih pemula bertambah mencapai 60 persen dari pemilu 14 Pebruari lalu.
Perkiraan ini didasari data hasil pencocokan dan penelitian (coklit) yang dilakukan KPU NTB bersama KPU di 10 kabupaten/kota pada 24 Juni hingga 24 Juli 2024. Dari total 3.949.655 orang Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) yang diserahkan Kemendagri. Hasil coklit yang diperoleh menunjukkan jumlah potensi pemilih di NTB menjadi 4.005.876 orang atau bertambah 56.221 orang. Rinciannya laki-laki 1.934.025 orang dan perempuan 2.015.630 orang.
Penambahan pemilih pemula ini datang dari pemilih milenial dan gen Z yang usianya sudah mencapai 17 tahun di mana pada pemilu lalu secara syarat usia belum masuk. Melihat potensi pemilih pemula ini, mereka memegang peranan utama dalam arus keterpilihan peserta pilkada 2024.
Pemilih pemula yang terdiri atas pelajar dan mahasiswa ini seringkali memunculkan kejutan dan menjanjikan kemenangan karena secara kuantitas jumlahnya banyak. Meski KPU NTB sendiri belum menetapkan daftar pemilih sementara (DPS) dan DPT, namun penambahan jumlah potensi pemula di pilkada ini tidak akan meleset.
Siswi memasukkan surat suara saat mengikuti rangkaian simulasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di Gedung KPU, Jakarta, Kamis (23/2/2023). (ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha). (1)
Karakteristik pemilih pemula
Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Dr Ihsan Hamid melihat penambahan jumlah pemilih pemula di NTB, tidak lepas disuplai anak yang baru berusia 17 tahun dan sudah menikah atau disebut gen Z. Merujuk hasil coklit KPU ada 4.005.876 orang, maka dirinya memperkirakan jumlah pemilih pemulanya 2,4 juta orang. Artinya, suara pemilih pemula yang besar ini suka atau tidak suka sangat menentukan kemenangan, karena jumlah mereka yang lebih banyak dari pada pemilih tua.
Pemilih pemula ini adalah pemilih yang rasional, unik, melek teknologi, tidak mudah untuk didikte dan didekati partai politik maupun peserta pemilu. Karakter mereka cenderung mengikuti perkembangan tren, budaya yang santai, bebas, informal, dan lebih suka mencari kesenangan. Meski demikian, tidak semua pemilih pemula paham terhadap pemilu, seperti anak-anak di kampung/desa, karena keterbatasan tidak bisa baca tulis, dan tidak tahu dinamika politik yang terjadi atau disebut pemilih non rasional.
Namun apapun itu mau di kampung atau di kota, dia (pemilih pemula) memiliki kecenderungan/minat di banding pemilih tua. Artinya yang bisa dibaca adalah eksistensi jumlah mereka ini banyak. Kalau ini mampu digarap dengan baik maka tentu akan sangat efektif.
Untuk memenangkan pilkada dengan membidik pemilih pemula ini maka yang perlu dilakukan adalah harus dipahami alam berpikirnya, cara bertindak-nya, kecenderungan dan hobinya. Tugas ini tentu menjadi satu tantangan tersendiri bagi KPU selaku penyelenggara dalam meningkatkan partisipasi pemilih.
Karena KPU pada kapasitas sebagai penyelenggara harus mengajak pemilih pemula ini supaya tidak apatis, sehingga mereka harus mensosialisasikan setiap tahapan terutama pencoblosan sehingga partisipasi pemilih pemula itu tinggi.
Namun harus juga lihat kecenderungan mereka apa, apakah menyukai permainan seperti mobile legends, basket atau berbau teknologi sukanya maka gunakan sosialisasi itu menggunakan instrumen teknologi. Artinya penyelenggara harus melihat alam berpikir dan kecenderungan pemilih pemula tersebut.
Selanjutnya keberadaan pemilih pemula ini harus ditahu berada di mana, contoh kalau mengundang dalam kegiatan anak muda, seperti di sekolah, kampus, pada segmen ini dimana mereka ada. Jadi dari sisi darat mereka ada di mana maka buatlah acara disana. Karena tidak mungkin mereka berada di pasar, kalau di mal buat kegiatan disana, begitu juga kalau di kampus. Ada kegiatan budaya sosialisasikan disana berdasarakan posisi atau sebaran mereka di mana.
Kalau di udara kecenderungannya apa yang dilihat, pegang medsos dan rata memahami teknologi, disitulah dibidik sosialisasi. Saya kira itu yang perlu dilakukan oleh penyelenggara (KPU).
Cara dan strategi
Bagaimana dengan peserta pemilu (cakada) ini tentu akan menjadi garapan yang menjanjikan. Oleh karena itu siapa yang mampu mengambil hati pemilih pemula ini maka besar peluang akan menjadi pemenang. Artinya bagaimana membuat cara dan strategi untuk mengambil hati pemilih pemula ini.
Misalnya tidak jauh-jauh d udara dia suka apa, bidik konten-konten itu. Peserta harus paham apa yang mereka sukai maka perankan diri apa yang mereka sukai. Contoh berhasil itu diperankan oleh presiden terpilih Prabowo Subianto, dia paham betul apa yang di inginkan 50 persen anak muda dari 190 juta DPT pemilih Indonesia di pemilu lalu.
Di buatlah goyang gemoy untuk menggaet pemula yang diiringi musik-nya enak di dengar, memanjakan telinga, dan manjakan mata, makanya Prabowo nggak ngomong perubahan, tapi ngomong gemoy aja bukan bikin debat ideologi yang dianggap terlalu tinggi dengan usia dan pikiran mereka.
Artinya sentuhlah mereka dengan yang ringan-ringan tapi menggembirakan dibanding yang berat-berat tapi menyusahkan. Itu ciri anak muda saat ini sehingga dengan jumlah mereka itu harus dipahami keinginan dan kemauan-nya. Prinsipnya pemilih pemula perlu pendekatan.
Bicara posisi di NTB saat ini tidak jauh berbeda dengan pemilu lalu. Meski saat ini mereka banyak terkonsentrasi di kota karena ditunjang lembaga pendidikan banyak di kota, namun keberadaan mereka juga banyak pondok pesantren (ponpes) yang ada di desa-desa maka cara menggarap mereka itu tergantung posisinya di mana.
Kalau di darat ada di SMA, maka di ponpes jangan ajak goyang tapi di datangi dengarkan musik salawat yang lagi populer misalnya sehingga bisa diterima. Jadi pada prinsipnya pandai-pandai baca hati, pikiran dan baca fesyen-nya itu menjadi kata kunci ketika menggarap pemilih pemula.
Artinya kalau mau garap pemula perhatikan instrumen yang dipakai ketika itu dilakukan maka peluang besar untuk memenangkan pertarungan di pilkada sangat tinggi baik penyelenggara atau peserta pemilu (cakada).
Oleh karena itu patut untuk ditunggu peran pemilih pemula ini agar tidak empati dan mau datang ke TPS dalam menyalurkan hak pilih mereka di pilkada serentak 2024, sehingga berlangsung, umum, bebas (Luber) dan jujur dan adil (Jurdil).
Kelompok pemilih pemula dianggap punya potensi mempengaruhi hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, baik dalam pemilihan presiden maupun pemilihan anggota legislatif. Termasuk, dalam pilkada serentak yang akan berlangsung pada 27 Nopember 2024.
Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dari data Komisi Pemilihan Umum (KPU) NTB pada Pemilu 14 Pebruari 2024, menunjukkan segmen pemilih pemula baik milenial dan Gen Z mencapai angka 2,1 juta orang atau sekitar 54,04 persen dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 yang mencapai 3.918.291 orang.Pada pemilu 2024, angka partisipasi pemilih di NTB mencapai 84 persen. Angka ini lebih tinggi dari pemilu 2019 yang hanya 82 persen. Peningkatan partisipasi pemilih ini tidak hanya pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota. Tapi juga pilpres, DPD dan DPR RI. Tingginya partisipasi ini tidak terlepas dari tingginya peran pemilih pemula tersebut.
Mengutip buku Pedoman Pendidikan Pemilih milik KPU, pemilih pemula merupakan masyarakat yang memasuki usia memilih dan menggunakan hak pilihnya untuk pertama kali. Kelompok ini terdiri dari masyarakat yang memenuhi syarat dalam memilih.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 pada Bab IV pasal 19 ayat 1 dan 2 serta pasal 20 menjelaskan pemilih pemula adalah warga Indonesia yang ketika hari pemungutan suara sudah genap berusia 17 tahun atau sudah/pernah menikah. Kisaran usia pemilih pemula yakni 17-21 tahun. Rata-rata kelompok ini baru menyelesaikan masa studi SMA atau sedang duduk di bangku perkuliahan.
Pemilih pemula bertambah
Komisioner KPU NTB Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Parmas dan SDM, Agus Hilman mengakui meski KPU NTB belum menetapkan DPT untuk pilkada serentak, namun diperkirakan angka pemilih pemilih pemula bertambah mencapai 60 persen dari pemilu 14 Pebruari lalu.
Perkiraan ini didasari data hasil pencocokan dan penelitian (coklit) yang dilakukan KPU NTB bersama KPU di 10 kabupaten/kota pada 24 Juni hingga 24 Juli 2024. Dari total 3.949.655 orang Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) yang diserahkan Kemendagri. Hasil coklit yang diperoleh menunjukkan jumlah potensi pemilih di NTB menjadi 4.005.876 orang atau bertambah 56.221 orang. Rinciannya laki-laki 1.934.025 orang dan perempuan 2.015.630 orang.
Penambahan pemilih pemula ini datang dari pemilih milenial dan gen Z yang usianya sudah mencapai 17 tahun di mana pada pemilu lalu secara syarat usia belum masuk. Melihat potensi pemilih pemula ini, mereka memegang peranan utama dalam arus keterpilihan peserta pilkada 2024.
Pemilih pemula yang terdiri atas pelajar dan mahasiswa ini seringkali memunculkan kejutan dan menjanjikan kemenangan karena secara kuantitas jumlahnya banyak. Meski KPU NTB sendiri belum menetapkan daftar pemilih sementara (DPS) dan DPT, namun penambahan jumlah potensi pemula di pilkada ini tidak akan meleset.
Karakteristik pemilih pemula
Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Dr Ihsan Hamid melihat penambahan jumlah pemilih pemula di NTB, tidak lepas disuplai anak yang baru berusia 17 tahun dan sudah menikah atau disebut gen Z. Merujuk hasil coklit KPU ada 4.005.876 orang, maka dirinya memperkirakan jumlah pemilih pemulanya 2,4 juta orang. Artinya, suara pemilih pemula yang besar ini suka atau tidak suka sangat menentukan kemenangan, karena jumlah mereka yang lebih banyak dari pada pemilih tua.
Pemilih pemula ini adalah pemilih yang rasional, unik, melek teknologi, tidak mudah untuk didikte dan didekati partai politik maupun peserta pemilu. Karakter mereka cenderung mengikuti perkembangan tren, budaya yang santai, bebas, informal, dan lebih suka mencari kesenangan. Meski demikian, tidak semua pemilih pemula paham terhadap pemilu, seperti anak-anak di kampung/desa, karena keterbatasan tidak bisa baca tulis, dan tidak tahu dinamika politik yang terjadi atau disebut pemilih non rasional.
Namun apapun itu mau di kampung atau di kota, dia (pemilih pemula) memiliki kecenderungan/minat di banding pemilih tua. Artinya yang bisa dibaca adalah eksistensi jumlah mereka ini banyak. Kalau ini mampu digarap dengan baik maka tentu akan sangat efektif.
Untuk memenangkan pilkada dengan membidik pemilih pemula ini maka yang perlu dilakukan adalah harus dipahami alam berpikirnya, cara bertindak-nya, kecenderungan dan hobinya. Tugas ini tentu menjadi satu tantangan tersendiri bagi KPU selaku penyelenggara dalam meningkatkan partisipasi pemilih.
Karena KPU pada kapasitas sebagai penyelenggara harus mengajak pemilih pemula ini supaya tidak apatis, sehingga mereka harus mensosialisasikan setiap tahapan terutama pencoblosan sehingga partisipasi pemilih pemula itu tinggi.
Namun harus juga lihat kecenderungan mereka apa, apakah menyukai permainan seperti mobile legends, basket atau berbau teknologi sukanya maka gunakan sosialisasi itu menggunakan instrumen teknologi. Artinya penyelenggara harus melihat alam berpikir dan kecenderungan pemilih pemula tersebut.
Selanjutnya keberadaan pemilih pemula ini harus ditahu berada di mana, contoh kalau mengundang dalam kegiatan anak muda, seperti di sekolah, kampus, pada segmen ini dimana mereka ada. Jadi dari sisi darat mereka ada di mana maka buatlah acara disana. Karena tidak mungkin mereka berada di pasar, kalau di mal buat kegiatan disana, begitu juga kalau di kampus. Ada kegiatan budaya sosialisasikan disana berdasarakan posisi atau sebaran mereka di mana.
Kalau di udara kecenderungannya apa yang dilihat, pegang medsos dan rata memahami teknologi, disitulah dibidik sosialisasi. Saya kira itu yang perlu dilakukan oleh penyelenggara (KPU).
Cara dan strategi
Bagaimana dengan peserta pemilu (cakada) ini tentu akan menjadi garapan yang menjanjikan. Oleh karena itu siapa yang mampu mengambil hati pemilih pemula ini maka besar peluang akan menjadi pemenang. Artinya bagaimana membuat cara dan strategi untuk mengambil hati pemilih pemula ini.
Misalnya tidak jauh-jauh d udara dia suka apa, bidik konten-konten itu. Peserta harus paham apa yang mereka sukai maka perankan diri apa yang mereka sukai. Contoh berhasil itu diperankan oleh presiden terpilih Prabowo Subianto, dia paham betul apa yang di inginkan 50 persen anak muda dari 190 juta DPT pemilih Indonesia di pemilu lalu.
Di buatlah goyang gemoy untuk menggaet pemula yang diiringi musik-nya enak di dengar, memanjakan telinga, dan manjakan mata, makanya Prabowo nggak ngomong perubahan, tapi ngomong gemoy aja bukan bikin debat ideologi yang dianggap terlalu tinggi dengan usia dan pikiran mereka.
Artinya sentuhlah mereka dengan yang ringan-ringan tapi menggembirakan dibanding yang berat-berat tapi menyusahkan. Itu ciri anak muda saat ini sehingga dengan jumlah mereka itu harus dipahami keinginan dan kemauan-nya. Prinsipnya pemilih pemula perlu pendekatan.
Bicara posisi di NTB saat ini tidak jauh berbeda dengan pemilu lalu. Meski saat ini mereka banyak terkonsentrasi di kota karena ditunjang lembaga pendidikan banyak di kota, namun keberadaan mereka juga banyak pondok pesantren (ponpes) yang ada di desa-desa maka cara menggarap mereka itu tergantung posisinya di mana.
Kalau di darat ada di SMA, maka di ponpes jangan ajak goyang tapi di datangi dengarkan musik salawat yang lagi populer misalnya sehingga bisa diterima. Jadi pada prinsipnya pandai-pandai baca hati, pikiran dan baca fesyen-nya itu menjadi kata kunci ketika menggarap pemilih pemula.
Artinya kalau mau garap pemula perhatikan instrumen yang dipakai ketika itu dilakukan maka peluang besar untuk memenangkan pertarungan di pilkada sangat tinggi baik penyelenggara atau peserta pemilu (cakada).
Oleh karena itu patut untuk ditunggu peran pemilih pemula ini agar tidak empati dan mau datang ke TPS dalam menyalurkan hak pilih mereka di pilkada serentak 2024, sehingga berlangsung, umum, bebas (Luber) dan jujur dan adil (Jurdil).