Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan memastikan akses pengobatan kanker dalam program Jaminan Kesehatan Nasional dengan mengupayakan ketahanan industri farmasi melalui pemantauan logistik dengan sistem digitalisasi.
Direktur Pengelolaan dan Pelayanan Kefarmasian Kemenkes Agusdini Banun Saptaningsih mengatakan di Jakarta, Jumat, bahwa pihaknya selalu berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan serta Komite Formularium Nasional (Fornas) untuk menyediakan pengobatan kanker.
Pada Diskusi "Akses Pengobatan Kanker di JKN; Menciptakan Birokrasi yang Berpihak pada Pemenuhan Hak Pasien" oleh Himpunan Fasyankes Dokter Indonesia (HIFDI) itu, Dini menyebut bahwa rencana kebutuhan obat nasional harus dapat dipenuhi oleh industri domestik.
"Nah dengan adanya sistem digitalisasi yang terkait dengan logistik di Indonesia, jadi kita bisa memonitor jumlah produksinya berapa dan sebagainya sesuai dengan rencana kebutuhan obat," ujarnya.
Dini menyebutkan bahwa industri farmasi kerap mengalami kesulitan dalam pengadaan obat, seperti izin edar yang habis dan bahan baku yang sulit diakses karena konflik global, seperti antara Ukraina dan Russia serta masalah di Timur Tengah.
Oleh karena itu, Dini menilai perlunya ketahanan industri farmasi nasional. Menurutnya, Fornas juga penting dalam pengadaan obat tersebut, karena terintegrasi pada sistem tata kelola obat, serta berperan dalam pemilihan atau seleksi obat yang efektif secara biaya.
Setiap tahunnya, katanya, mereka menyusun rencana kebutuhan obat seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia, kemudian menghitung biaya untuk dapat memberikan industri farmasi dana yang dibutuhkan untuk memproduksi obat-obat tersebut.
Indonesia, ujarnya, berhasil membuat kurang lebih 62 bahan baku obat dan vaksin, sebuah pencapaian yang dinilai dapat mengurangi impor bahan baku.
"Memang tidak bisa menurunkan yang 95 persen, tapi sedikit-sedikit kita akan turun menjadi 75 persen dalam tahap importasi bahan baku obat," katanya.
Dia menjelaskan bahwa penyediaan obat merupakan bagian dari transformasi kesehatan. Mengenai obat, ujarnya, terdapat tiga hal yang perlu dipastikan oleh Pemerintah, seperti ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauannya.
Baca juga: Kemenkes perluas jaringan guna tambah kuota peserta PPDS
Baca juga: Nelayan salah satu kelompok berisiko leptospirosis
Terkait keterjangkauan obat, pihaknya memiliki etalase konsolidasi, di mana tenaga kesehatan di fasyankes dapat membeli obat tanpa menawar harga lagi, karena harganya sudah sama, bahkan lebih rendah, dengan klaim harga obat BPJS.
Dalam kesempatan itu dia menjelaskan bahwa di dalam Fornas, terdapat 33 kelas terapi, dan pengobatan untuk kanker termasuk dalam kelas terapi ke-8, yakni jenis antineoplastik dan imunomodulator, dengan simbol Ca di belakang nama obat.
Direktur Pengelolaan dan Pelayanan Kefarmasian Kemenkes Agusdini Banun Saptaningsih mengatakan di Jakarta, Jumat, bahwa pihaknya selalu berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan serta Komite Formularium Nasional (Fornas) untuk menyediakan pengobatan kanker.
Pada Diskusi "Akses Pengobatan Kanker di JKN; Menciptakan Birokrasi yang Berpihak pada Pemenuhan Hak Pasien" oleh Himpunan Fasyankes Dokter Indonesia (HIFDI) itu, Dini menyebut bahwa rencana kebutuhan obat nasional harus dapat dipenuhi oleh industri domestik.
"Nah dengan adanya sistem digitalisasi yang terkait dengan logistik di Indonesia, jadi kita bisa memonitor jumlah produksinya berapa dan sebagainya sesuai dengan rencana kebutuhan obat," ujarnya.
Dini menyebutkan bahwa industri farmasi kerap mengalami kesulitan dalam pengadaan obat, seperti izin edar yang habis dan bahan baku yang sulit diakses karena konflik global, seperti antara Ukraina dan Russia serta masalah di Timur Tengah.
Oleh karena itu, Dini menilai perlunya ketahanan industri farmasi nasional. Menurutnya, Fornas juga penting dalam pengadaan obat tersebut, karena terintegrasi pada sistem tata kelola obat, serta berperan dalam pemilihan atau seleksi obat yang efektif secara biaya.
Setiap tahunnya, katanya, mereka menyusun rencana kebutuhan obat seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia, kemudian menghitung biaya untuk dapat memberikan industri farmasi dana yang dibutuhkan untuk memproduksi obat-obat tersebut.
Indonesia, ujarnya, berhasil membuat kurang lebih 62 bahan baku obat dan vaksin, sebuah pencapaian yang dinilai dapat mengurangi impor bahan baku.
"Memang tidak bisa menurunkan yang 95 persen, tapi sedikit-sedikit kita akan turun menjadi 75 persen dalam tahap importasi bahan baku obat," katanya.
Dia menjelaskan bahwa penyediaan obat merupakan bagian dari transformasi kesehatan. Mengenai obat, ujarnya, terdapat tiga hal yang perlu dipastikan oleh Pemerintah, seperti ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauannya.
Baca juga: Kemenkes perluas jaringan guna tambah kuota peserta PPDS
Baca juga: Nelayan salah satu kelompok berisiko leptospirosis
Terkait keterjangkauan obat, pihaknya memiliki etalase konsolidasi, di mana tenaga kesehatan di fasyankes dapat membeli obat tanpa menawar harga lagi, karena harganya sudah sama, bahkan lebih rendah, dengan klaim harga obat BPJS.
Dalam kesempatan itu dia menjelaskan bahwa di dalam Fornas, terdapat 33 kelas terapi, dan pengobatan untuk kanker termasuk dalam kelas terapi ke-8, yakni jenis antineoplastik dan imunomodulator, dengan simbol Ca di belakang nama obat.