Surabaya (ANTARA) - Sampai saat ini, penyakit kardiovaskular masih menjadi problematika kesehatan utama baik di negara maju maupun negara berkembang. Morbiditas dan mortalitas tinggi menjadi tolok ukur kasar betapa besarnya masalah ini.
National Hospital Heart Center Surabaya bersama Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) cabang Surabaya menggelar symposium terkait heart failure. Dalam symposium tersebut, National Hospital melibatkan multidisiplin ilmu. Bukan hanya dari dokter spesialis jantung yang dihadirkan, namun ada juga dokter spesialis penyakit dalam yang focus terhadap metabolic hingga ginjal.
Simposium tersebut menjadi bentuk upaya peningkatan kewaspadaan terhadap penyakit tidak menular heart failure dari National Hospital. Komite Mutu National Hospital dr. Agus Harjono B., M.Kes mengatakan, symposium heart failure bersama Perki Surabaya penting untuk dilakukan untuk meningkatkan awareness terhadap permasalahn gagal jantung.
“Melalui National Hospital Heart Center di Surabaya, kami menghadirkan pelayanan dengan performa maksimal. Seperti USG Doppler, CT Cardiac, hingga skrining Calcium Score bisa dilakukan pasien untuk menjaga kesehatan jantung,” tuturnya kepada awakmedia.
Faktor risiko perilaku paling penting dari penyakit jantung adalah pola makan yang tidak sehat, aktivitas fisik yangkurang, merokok dan penggunaan alkohol yang berbahaya. Efek dari faktor risiko perilaku dapat muncul pada individu sebagai peningkatan tekanan darah, peningkatan glukosa darah, peningkatan lemak darah, dan kelebihan berat badan dan obesitas.
Faktor-faktor risiko menengah ini dapat diukur di fasilitas perawatan primer dan menunjukkan peningkatan risiko terkena serangan jantung, stroke, gagal jantung dan komplikasi lainnya di kemudian hari.
Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, kardiovaskular termasuk salah satu bidang yang mengalami perkembangan tersebut baik dari sisi terapeutik maupun intervensi. Aspek preventif dan rehabilitatif juga harus diperhatikan untuk penanganan penyakit kardiovaskular yang komprehensif demi menghasilkan luaran yang lebih baik serta dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) Cabang Surabaya dr. Jordan Bakhriansyah SpJP menuturkan, berbicara heart failure tidak bisa diselesaikan oleh satu bidang keilmuan saja. Yakni, dokter spesialis jantung. “Ada metabolic, ada dari ginjal, dan ada teman-teman tenaga kesehatan lainnya,” tuturnya.
Dia menyebutkan, tren heart failure beberapa tahun ke belakang cenderung meningkat. Menurutnya, ada beberapa factor yang menyebabkan hal itu terjadi. Seperti, saat ini kemudahan untuk mendeteksi heart failure lebih mudah dan bisa gampang dilakukan, hingga awareness di masyarakat lebih baik lagi.
“Dari segi usia, saya yang paling muda baru saja kehilangan satu pasien yang masih usia 32 tahun. Masih muda, young man,” ungkap dr Jordan di National Hospital Surabaya.
Dokter yang dihadirkan di symposium National Hospital Heart Center bersama Perki Surabaya dan didukung AstraZeneca tersebut yakni dr I Gede Parama Gandi Semita SpJP, dr Hermawan Susanto SpPD-KEMD, dan dr Yuswanto Setyawan SpPD-KGH. Simposium ber-SKP tersebut diikuti juga oleh puluhan dokter.
National Hospital Heart Center Surabaya bersama Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) cabang Surabaya menggelar symposium terkait heart failure. Dalam symposium tersebut, National Hospital melibatkan multidisiplin ilmu. Bukan hanya dari dokter spesialis jantung yang dihadirkan, namun ada juga dokter spesialis penyakit dalam yang focus terhadap metabolic hingga ginjal.
Simposium tersebut menjadi bentuk upaya peningkatan kewaspadaan terhadap penyakit tidak menular heart failure dari National Hospital. Komite Mutu National Hospital dr. Agus Harjono B., M.Kes mengatakan, symposium heart failure bersama Perki Surabaya penting untuk dilakukan untuk meningkatkan awareness terhadap permasalahn gagal jantung.
“Melalui National Hospital Heart Center di Surabaya, kami menghadirkan pelayanan dengan performa maksimal. Seperti USG Doppler, CT Cardiac, hingga skrining Calcium Score bisa dilakukan pasien untuk menjaga kesehatan jantung,” tuturnya kepada awakmedia.
Faktor risiko perilaku paling penting dari penyakit jantung adalah pola makan yang tidak sehat, aktivitas fisik yangkurang, merokok dan penggunaan alkohol yang berbahaya. Efek dari faktor risiko perilaku dapat muncul pada individu sebagai peningkatan tekanan darah, peningkatan glukosa darah, peningkatan lemak darah, dan kelebihan berat badan dan obesitas.
Faktor-faktor risiko menengah ini dapat diukur di fasilitas perawatan primer dan menunjukkan peningkatan risiko terkena serangan jantung, stroke, gagal jantung dan komplikasi lainnya di kemudian hari.
Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, kardiovaskular termasuk salah satu bidang yang mengalami perkembangan tersebut baik dari sisi terapeutik maupun intervensi. Aspek preventif dan rehabilitatif juga harus diperhatikan untuk penanganan penyakit kardiovaskular yang komprehensif demi menghasilkan luaran yang lebih baik serta dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) Cabang Surabaya dr. Jordan Bakhriansyah SpJP menuturkan, berbicara heart failure tidak bisa diselesaikan oleh satu bidang keilmuan saja. Yakni, dokter spesialis jantung. “Ada metabolic, ada dari ginjal, dan ada teman-teman tenaga kesehatan lainnya,” tuturnya.
Dia menyebutkan, tren heart failure beberapa tahun ke belakang cenderung meningkat. Menurutnya, ada beberapa factor yang menyebabkan hal itu terjadi. Seperti, saat ini kemudahan untuk mendeteksi heart failure lebih mudah dan bisa gampang dilakukan, hingga awareness di masyarakat lebih baik lagi.
“Dari segi usia, saya yang paling muda baru saja kehilangan satu pasien yang masih usia 32 tahun. Masih muda, young man,” ungkap dr Jordan di National Hospital Surabaya.
Dokter yang dihadirkan di symposium National Hospital Heart Center bersama Perki Surabaya dan didukung AstraZeneca tersebut yakni dr I Gede Parama Gandi Semita SpJP, dr Hermawan Susanto SpPD-KEMD, dan dr Yuswanto Setyawan SpPD-KGH. Simposium ber-SKP tersebut diikuti juga oleh puluhan dokter.