Jakarta (ANTARA) - Direktur Yayasan Kesehatan Perempuan Nanda Dwinta meminta agar akses ke pelayanan aborsi tidak mempersulit perempuan dan korban kekerasan seksual.
"Memastikan akses ke pelayanan aborsi tidak mempersulit perempuan dan korban kekerasan seksual atau berpusat pada perempuan/korban," kata Nanda Dwinta dalam zoom meeting bertajuk "PP 28/2024 Apa Benar Mempromosikan Seks Bebas?", di Jakarta, Rabu (4/9) malam.
Pihaknya juga meminta pemerintah untuk segera menerbitkan aturan turunan, baik dari Undang-undang Kesehatan dan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang berprinsip hak asasi manusia (HAM), setara, inklusif, tidak stigma, dan tidak diskriminatif.
Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) meminta agar kebutuhan perempuan/korban disediakan dan dipenuhi ketika mereka memutuskan mengakses layanan aborsi ataupun meneruskan kehamilannya. Adanya keterlibatan pendamping korban juga dipandang penting untuk menguatkan layanan kesehatan reproduksi.
"Pelibatan masyarakat sipil, pendamping korban agar pandangan dan pengalaman mereka dapat dijadikan penguatan pelayanan kesehatan reproduksi," kata Nanda Dwinta.
Selain itu, pihaknya juga mendorong layanan terpadu dan terintegrasi antara Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), Kepolisian, pemberi layanan kesehatan, dan Lembaga Pengada Layanan Berbasis Masyarakat (LPLBM). Upaya ini penting karena menurut Nanda Dwinta, jaminan akses aborsi aman dalam UU Kesehatan dan KUHP masih problematis.
Baca juga: Kejati Bali sebut berkas perkara dokter aborsi ilegal lengkap
Baca juga: Pasangan kekasih tersangka kasus aborsi menikah di Polresta Mataram
"Dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, menyebut bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi kecuali dengan kriteria yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan dalam KUHP. Sementara di KUHP, menyebutkan setiap perempuan yang melakukan aborsi dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun," katanya.
Ketentuan ini tidak berlaku jika perempuan merupakan korban perkosaan atau kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi 14 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis.
"Memastikan akses ke pelayanan aborsi tidak mempersulit perempuan dan korban kekerasan seksual atau berpusat pada perempuan/korban," kata Nanda Dwinta dalam zoom meeting bertajuk "PP 28/2024 Apa Benar Mempromosikan Seks Bebas?", di Jakarta, Rabu (4/9) malam.
Pihaknya juga meminta pemerintah untuk segera menerbitkan aturan turunan, baik dari Undang-undang Kesehatan dan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang berprinsip hak asasi manusia (HAM), setara, inklusif, tidak stigma, dan tidak diskriminatif.
Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) meminta agar kebutuhan perempuan/korban disediakan dan dipenuhi ketika mereka memutuskan mengakses layanan aborsi ataupun meneruskan kehamilannya. Adanya keterlibatan pendamping korban juga dipandang penting untuk menguatkan layanan kesehatan reproduksi.
"Pelibatan masyarakat sipil, pendamping korban agar pandangan dan pengalaman mereka dapat dijadikan penguatan pelayanan kesehatan reproduksi," kata Nanda Dwinta.
Selain itu, pihaknya juga mendorong layanan terpadu dan terintegrasi antara Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), Kepolisian, pemberi layanan kesehatan, dan Lembaga Pengada Layanan Berbasis Masyarakat (LPLBM). Upaya ini penting karena menurut Nanda Dwinta, jaminan akses aborsi aman dalam UU Kesehatan dan KUHP masih problematis.
Baca juga: Kejati Bali sebut berkas perkara dokter aborsi ilegal lengkap
Baca juga: Pasangan kekasih tersangka kasus aborsi menikah di Polresta Mataram
"Dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, menyebut bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi kecuali dengan kriteria yang diperbolehkan sesuai dengan ketentuan dalam KUHP. Sementara di KUHP, menyebutkan setiap perempuan yang melakukan aborsi dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun," katanya.
Ketentuan ini tidak berlaku jika perempuan merupakan korban perkosaan atau kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan yang umur kehamilannya tidak melebihi 14 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis.